Kamis, 23 Desember 2010

Natal: On The Way Home


Terdengar sayup sayup lagu natal berkumandang. Memecah keheningan sore yang sepi. Hanya ada satu dua frater yang masih tinggal di komunitasku Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta. Begitulah suasana yang selalu terjadi setiap kali natal tiba. Perayaan Natal selalu bertepatan dengan libur akhir semester yang lumayan cukup panjang. Sebagian besar dari para frater dan romo menggunakan waktu libur semester dan natal untuk membantu asistensi natal di paroki-paroki atau juga menghabiskan waktu libur bersama keluarga di rumahnya. Para frater maupun romo yang masih tinggal di Seminari biasanya bertugas untuk menjaga rumah kami agar tidak kosong. Dan pada saat-saat seperti itu, suasana seminari berubah sepi. Sungguh amat terasa kesepian itu ketika saat makan. Kursi-kursi di refter banyak yang kosong.
                Beberapa kali perayaan natal aku rayakan di seminari tinggi, di tengah suasana sepi. Perayaan Natal di Kapel Seminari Tinggi pun tampak begitu sederhana. Hanya ada beberapa frater, staf dan juga umat dari sekitar seminari. Ketika Misa Natal usai, kami melanjutkan dengan makan bersama. Seluruh umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi Natal pun diundang untuk makan malam yang telah disediakan oleh suster. Suasana sederhana namun akrab amat terasa dalam perayaan Ekaristi maupun makan bersama itu. Dan setelah semuanya usai, seminari Tinggi kembali sepi. Bahkan amat sepi.
                Kesederhanaan dan keheningan saat Natal di Seminari Tinggi ini sungguh amat mengesan bagiku. Merayakan Natal nan sederhana dan hening ini selalu menjadi saat dimana aku diajak kembali untuk mensyukuri hidup dan panggilanku. Keakraban yang hangat dan tulus  di antara para frater, romo, suster serta  umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi pun menjadi warna indah yang semakin membuatku merasa ‘ditemani’ dalam peziarahan hidup ini. Dan ketika para frater maupun romo yang bertugas asistensi telah kembali ke seminari, kami saling mengungkapkan kegembiraan dan syukur kami dengan saling berbagi kenang-kenangan. Tentu bukan masalah penerusan tradisi pesta natalnya yang ingin kami lestarikan, namun persaudaraan, persahabatan, syukur atas hidup, iman, kasih, dan panggilan untuk saling berbagi satu sama lainlah yang ingin kami rayakan. Dalam kenyataan itu, aku sendiri merasa bahwa Yesus sungguh lahir kembali di komunitas kami, terlebih lagi, Ia telah lahir di hati kami.
                Di saat-saat seperti itu, aku sering membayangkan betapa meluapnya perasaan gembira dan syukur dari Bunda Maria dan Bapa Yosef ketika bayi mungil Yesus terlahir ke dunia. Tangisan-Nya yang memecah keheningan malam nan cerah berbintang  telah menjadi fajar baru bagi kebahagiaan seluruh alam semesta. Di dalam tangisan itu berkumandang madah pengharapan, kasih, ketulusan, semangat berbagi dan penyertaan-Nya dalam setiap langkah perjuangan manusia. Ia hadir seperti bintang yang senantiasa menjaga dan menyertai para Raja dari Timur yang bergegas hendak menyembah Sang Kebenaran. Kelahiran-Nya tidak disertai dengan gegap gempita dan sorak sorai nan meriah, namun dengan keheningan dan kesederhanaan yang amat menyejukkan hati. Dan kelahiran itu telah menyatukan sekian banyak jiwa untuk selalu berjalan bersama menuju Sang Terang, yang tampak dalam kasih serta persaudaraan di antara sekian banyak manusia, termasuk di antara saudara-saudari kami sekomunitas.
                Natal selalu menjadi moment yang indah bagi kami semua untuk kembali bertumbuh dalam kasih, persaudaraan, cinta dan ketekunan dalam menjalani panggilan. Sebab Natal selalu bertepatan dengan hari-hari libur akhir semester, selain juga merupakan libur akhir tahun. Setelah Natal, agenda yang dilakukan oleh para frater adalah retret tahunan. Pengalaman Natal menjadi bagian dari usaha untuk terus menerus bertumbuh dalam kasih dan kebenaran. Dan pada kesempatan retret itu, kami diajak untuk kembali menegaskan langkah pilihan panggilan kami. Retret itu menjadi semacam simpul hidup atas perjalanan panggilan pada tahun-tahun sebelumnya, dan sebagai kompas untuk perjalanan di tahun berikutnya. Dan perayaan Natal mengawali seluruh proses tersebut.
                Di komunitas seminari tinggi, amat jarang kami merayakan Natal secara bersama-sama seluruh anggota komunitas. Perayaan Natal yang kami adakan secara bersama-sama biasanya terjadi setelah tanggal 25 Desember. Saat tanggal 25 Desember itu, sebagian besar dari para frater dan romo menjalani perutusan asistensi Misa Natal di paroki-paroki atau stasi-stasi. Dan pada saat itulah kami pun belajar apa artinya diutus. Sebagaimana Yesus Kristus yang terlahir ke dunia pun diutus oleh Bapa, kami belajar juga apa artinya diutus untuk membantu pelayanan para pastor paroki dalam perayaan iman umat bersama dalam Perayaan Natal. Bahkan bagi para frater yang masih harus tinggal di seminari saat Natal pun, itu termasuk bagian dari perutusan. Para frater yang masih tinggal di seminari ini biasanya membantu dalam perayaan Natal di komunitas, selain juga mengerjakan tugas-tugas perkuliahan yang masih terus berlangsung, seperti penyelesaian tugas pembuatan skripsi. Dinamika tersebut selalu menjadi warna yang indah saat Natal tiba. Natal seolah menjadi saat dimana kami me-recharge semangat dan spiritualitas kami sebagai orang-orang yang terpanggil. Sejenak mengalami keindahan panggilan perutusanNya dalam kasih dan persaudaraan yang selalu terjalin dan bertumbuh semakin indah dari hari ke hari.

                Saat Natal itulah saat yang membawa kami untuk selalu On The Way Home. Dimana kami semua sebagai satu komunitas selalu diajak untuk mengarahkan diri ke dalam alur kasih-Nya yang telah telah terjadi melalui kelahiran-Nya. Kami diajak untuk kembali selalu berada di jalur “ Ke Rumah”; untuk selalu mau berbahagia dan bergembira sebagai orang-orang terpanggil, sebagaimana kegembiraan Bunda Maria serta Bapa Yosef yang menyambut kelahiran-Nya. Meski hari-hari Natal kami lalui dalam keheningan dan kesederhanaan, namun damai Natal akan selalu menjadi saat yang indah bagi pertumbuhan semangat dan spiritualitas kami. Kedamaian Natal akan selalu menjadi kerinduan kami yang berkumandang memanggil kami  untuk selalu kembali ‘pulang’. Dan ketika tahun baru tiba, kami pun siap kembali untuk bertekun sebagai jiwa-jiwa baru yang membawa Yesus kecil di dalam hatinya, yang siap tuk dilahirkan pula ke dalam tugas perutusan nyata kami di dalam komunitas dan masyarakat dan lingkungan sekitar kami.


Menelaah Persoalan Kloning dan Stem Sel dari Segi Etika Moral Gereja Katolik

Pengantar
                Beberapa tahun terakhir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang sungguh amat mencengangkan. Sama halnya dengan kemajuan bioteknologi. Berbagai macam penelitian dan penemuan baru terjadi memunculkan sebuah kemajuan yang luar biasa. Salah satu contoh kemajuan dalam bidang bioteknologi tersebut adalah penelitian dan penemuan baru tentang Kloning dan Stem sel (Sel Punca). Secara biologis, penelitian dan penemuan ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan. Penelitian demi penemuan baru  lebih lanjut tentang Kloning dan Stem Sel  mulai diadakan demi menunjang kemajuan dalam bidang biologi maupun medis, di samping juga merupakan peluang baru dalam kemajuan di bidang bisnis.
                Meski dalam bidang biologi, medis serta bisnis, penemuan teknologi Kloning dan Stem Sel ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan yang cukup signifikan, namun penelitian dan penemuan baru tentang Kloning dan Stem Sel ini menyisakan sebuah persoalan baru mengenai pertanggungjawaban etis dan moral. Apakah penelitian dan penemuan teknologi Kloning serta Stem Sel ini dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral yang berlaku umum bagi masyarakat manusia? Bagaimana bidang bioetika menanggapi penelitian dan penemuan tentang Kloning dan Stem Sel ini?
                Selain dari sisi etika dan moral pada umumnya, teknologi Kloning dan Stem Sel ini juga menjadi salah satu hal yang memerlukan refleksi lebih lanjut dari sisi etika moral religius dan iman. Dalam tulisan ini, akan dibahas secara khusus  mengenai pandangan etika moral dan ajaran iman Gereja Katolik terhadap persoalan tersebut. Bagaimanakah ajaran iman dan etika moral Gereja Katolik menanggapi dan menjawab persoalan tentang Kloning dan Stem Sel ini? Harapannya, paparan singkat ini dapat memberi gambaran singkat mengenai  Kloning dan Stem Sel berikut pokok persoalan etis dan moralnya yang menuntut refleksi lebih lanjut. Dengan demikian, setiap umat beriman Kristiani dapat bersikap secara bijaksana dan bertanggungjawab sesuai dengan ajaran iman serta etika moral Kristiani dalam menanggapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam hal penelitian dan penemuan baru tentang Kloning dan Stem Sel.
                Untuk mempermudah pemahaman, paparan berikut akan di bagi ke dalam beberapa bagian, antara lain:
(1) Pemahaman Kloning dan Stem Sel dalam Biologi;
(2) Pandangan Bioetika Umum  terhadap Kloning dan Stem Sel;
(3) Pandangan Alkitabiah mengenai Kloning dan Stem Sel;
(4) Pandangan Magisterium Gereja Katolik Roma tentang Kloning dan Stem Sel;
(5) Langkah Pastoral terhadap persoalan Kloning dan Stem Sel.

1.       Pemahaman  Stem Sel (Stem Cell) dan  Kloning (Cloning) dalam Biologi

1.1.  Apakah  itu Stem Sel?

Stem Sel adalah sel yang belum terspesialisasi dengan kemampuan memperbarui diri sendiri dan mampu menumbuhkan satu tipe atau banyak tipe sel yang telah terspesialisasi sesuai dengan fungsinya di dalam tubuh.[1] Sel ini memiliki kemampuan untuk membelah diri dalam periode yang tak terbatas dan mampu berkembang menjadi beberapa tipe sel yang berbeda-beda di dalam tubuh sepanjang hidup dan menunjang  pertumbuhan manusia dan hewan.[2] Stem sel ini merupakan sel yang berperan dalam perbaikan internal, yang secara esensial membelah diri tanpa batas untuk menggantikan atau menambah sel yang lain sepanjang manusia atau hewan itu tumbuh. Ketika Stem sel membelah, masing-masing sel yang baru memiliki  potensi sebagai stem sel atau menjadi sel yang telah terspesialisasikan fungsinya seperti sel otot, sel darah merah, atau sel otak.

1.1.1.  Kharakter Stem Sel

Stem sel berbeda dengan tipe-tipe sel lainnya karena memiliki 2 karakter khas: (1) Stem sel adalah sel yang belum terspesialisasi dengan  kemampuan memperbarui diri mereka sendiri. Kemampuan memperbarui diri ini ditampakkan dengan kemampuan membelah diri, meski sel itu tidak aktif dalam periode yang cukup panjang; (2) Bila distimulasi secara psikologis atau percobaan tertentu, stem sel dapat dibuat/dijadikan sebagai jaringan atau organ dengan sel khusus yang fungsinya telah terspesialisasi. Sebagai contoh misalnya: Di dalam jaringan usus dan tulang sumsum, stem sel secara reguler memperbaiki  dan menggantikan jaringan yang mati atau rusak. Dalam organ yang lain, seperti pankreas atau jantung, stem sel hanya membelah diri dalam kondisi yang khusus.

1.1.2.  Jenis  Stem Sel

Ada 2 jenis stem sel dalam tubuh manusia dan binatang yakni: (1) Embryonic Stem Cells, dan (2) Non-Embryonic Stem Cells (Somatic/Adult Stem Cells). Pada tahun 1981, para ahli pertama kali menemukan Embryonic Stem Cells dari embrio tikus. Penelitian ini akhirnya membawa para ahli untuk menemukan Embryonic Stem Cells pada manusia. Penemuan Embryonic Stem Cells pada manusia terjadi pada tahun 1998. Sel ini disebut sebagai Human Embryonic Stem Cells. Embrio yang digunakan untuk penelitian ini pertama-tama diciptakan demi tujuan reproduksi melalui prosedur in vitro fertilization. Ketika embrio yang diciptakan melalui in vitro fertilization tidak digunakan lagi demi tujuan reproduksi (sisa embrio yang diciptakan dalam usaha reproduksi melalui in vitro fertilization), embrio tersebut didonasikan demi kepentingan penelitian dengan terlebih dahulu mendapatkan informed consent dari pendonornya.
Somatic Stem Cells atau disebut juga sebagai Adult Stem Cells adalah stem sel yang dihasilkan dari sel tubuh (bukan dari embrio). Stem sel ini merupakan stem sel yang dibuat dari stem sel jaringan atau organ tubuh tertentu yang pada awalnya bersifat unipotent (satu potensi) menjadi multipotent (banyak potensi). Hingga akhirnya pada tahun 2006 para peneliti membuat suatu ‘breakthrough’ yang baru yakni mampu mengidentifikasikan  kondisi yang akan memungkinkan beberapa sel somatic (sel tubuh manusia/hewan selain sel seks/gamet) dapat  diprogram ulang (reprogrammed) secara genetik untuk mendapatkan  Stem sel. Stem sel ini disebut sebagai Induced Pluripotent Stem Cells (IPSCs).[3]
Stem sel amat penting untuk organisme yang hidup, sebab stem sel inilah yang memungkinkan manusia dan hewan itu bertumbuh dan memiliki berbagai macam organ.   Pembentukan stem sel ini terjadi ketika manusia dan hewan itu masih dalam taraf embrio. Ketika embrio berusia 3-5 hari, atau yang disebut sebagai blastokista. Pada saat itu, embryoblast (yang akan tumbuh sebagai janin) memiliki sifat pluripotent (banyak potensi). Embryoblast inilah yang akan tumbuh menjadi organisme utuh dengan sel-sel yang mulai terspesialisasi dengan banyak fungsi. Selain di dalam blastokista, stem sel juga terdapat di tali pusar, darah, sumsum tulang belakang, otak, kornea mata, dll.[4] Stem sel ini dapat mengganti sel  yang rusak ataupun membelah diri membentuk sel yang baru (baik yang belum terspesialisasi maupun yang telah terspesialisasi). Dengan ditemukannya kemampuan regeneratif yang unik pada Stem sel ini, penelitian tentang Stem sel berlanjut untuk menyediakan potensi baru bagi pengobatan beberapa penyakit seperti diabetes dan penyakit jantung.

1.1.2.1.  Embryonic  Stem Cells

Sesuai dengan namanya, Embryonic Stem Cells didapatkan dari embrio. Sebagian besar Embryonic Stem Cells didapatkan dari embrio yang berkembang dari sel telur yang telah dibuahi melalui prosedur in vitro fertilization (pembuahan artifisial) . Embryonic Stem Cells tidak pernah didapatkan dari sel telur yang telah dibuahi di dalam rahim perempuan. Embrio yang darinya Embryonic Stem Cells didapatkan adalah embrio yang berumur 3-5 hari, ketika embrio mengalami perkembangan sebagai blastokista. Blastokista terdiri dari 3 struktur: (1) Trophoblast: lapisan tipis bagian luar, bagian ini akan menjadi plasenta (ari-ari) yang akan menyampaikan makanan  yang berasal dari ibunya; (2) kelompok Blastocoels: rongga di dalam blastokista yang berisi cairan yang nantinya akan berkembang menjadi air ketuban; (3) Embryoblast: sekelompok sel yang terletak di dalam trophoblast yang nantinya akan berkembang menjadi janin. Akan tetapi setelah adanya penelitian tentang Stem sel, dimana Stem sel diambil dari embryoblast yang menyebabkan kematian blastokista, maka nama sel itu berubah menjadi inner cell mass.[5]
Embryonic Stem Cells pada manusia dilakukan dengan cara mentransfer embryoblast (inner cell mass/ICM) ke dalam sebuah mangkuk pembiakan di laboratorium yang telah diberi nutrisi yang disebut sebagai culture-medium. Sel tersebut lalu membelah diri dan berkembang biak di permukaan mangkuk. Permukaan mangkuk dilapisi dengan sel kulit embryonic dari tikus yang telah direkayasa sehingga mereka tidak akan membelah diri.  Setelah beberapa bulan tumbuh di mangkuk culture, sel-sel itu mulai membelah diri tanpa terdiferensiasi. Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk membentuk sel-sel dalam tubuh seperti sel otot, darah, syaraf, dan sel-sel yang lain. Kemampuan untuk berkembang biak dan pertumbuhan dari inner cell mass yang telah ditransfer dari blastokista ini menjanjikan suatu kemajuan dalam bidang kedokteran dalam hal pengobatan penyakit-penyakit seperti penyakit jantung, Parkinson, hingga leukemia. Sel-sel yang membelah diri dan membiakan diri tanpa terdiferensiasi (terspesialisasi) ini bersifat pluripotent dan inilah yang disebut sebagai human embryonic stem cells (stem sel  dari embrio manusia).[6]

1.1.2.2.  Adult Stem Cells (Somatic Stem Cells)

Adult Stem Cell ini adalah Stem sel yang didapatkan bukan dari embrio, melainkan dari sel-sel yang telah terdiferensiasi dalam tubuh manusia dan hewan. Dengan demikian, Adult Stem Cell ini termasuk sebagai Non Embryonic Stem Cells. Adult stem cell (stem sel dewasa) ini juga sering disebut sebagai somatic stem cell (stem sel somatic). Somatic stem cell adalah sel-sel yang belum terdiferensiasi yang ditemukan diantara sel-sel terdiferensiasi dalam jaringan atau organ. Sel itu dapat memperbarui diri sendiri dan dapat menjadi sel yang telah terdiferensiasi untuk menghasilkan beberapa atau seluruh tipe sel yang telah terspesifikasi dalam jaringan atau organ tertentu. Peranan pertama dari somatic stem cell dalam organisme hidup adalah untuk memelihara dan memperbaiki jaringan dimana somatic stem cell ditemukan. Apabila dalam embryonic stem cell, asal muasal stem sel terletak pada inner cell mass, dalam somatic stem cell, asal muasal stem sel ini masih dalam penelitian khusus dari para ilmuwan. Setelah diadakan penelitian yang panjang, para ahli ternyata menemukan bahwa somatic stem cell terdapat di dalam banyak jaringan, lebih banyak dari yang mereka pikirkan sebelumnya. Penemuan ini telah membawa para peneliti dan para ilmuwan di bidang kedokteran bekerja keras untuk menemukan lebih lanjut kemungkinan penggunaan somatic stem cell ini dalam proses transplantasi jaringan atau organ. Hingga saat ini, para ilmuwan menemukan bahwa somatic stem cell juga terdapat di jantung dan otak. Apabila proses diferensiasi somatic stem cell ini dapat dikontrol/dikendalikan di laboratorium, sel-sel ini dapat menjadi penemuan luar biasa bagi kemajuan bidang kedokteran, khususnya untuk kepentingan transplantasi jaringan.[7]

1.1.2.3.  Induced Pluripotent Stem Cells (IPSCs)

Secara sederhana, Induced Pluripotent Stem Cells (IPSCs) adalah tipe stem sel pluripotent, yang memiliki kemampuan sama dengan embryonic stem cell, namun dibentuk dengan memasukkan gen ke dalam somatic sel. Induced Pluripotent Stem Cells ini didapatkan dengan memprogram ulang (reprogramming) sel menjadi tipe sel yang spesifik hingga seperti embryonic stem cells dengan memasukkan gen-gen. Induced Pluripotent Stem Cells ini adalah hasil dari rekayasa genetika terhadap sel somatic hingga menghasilkan sel dengan sifat pluripotent sebagaimana embryonic stem cell. Induced Pluripotent Stem Cells pertama kali dilaporkan pada tahun 2006, yakni Induced Pluripotent Stem Cell pada tikus. Sedangkan Induced Pluripotent Stem Cells pada manusia dilaporkan pertama kali pada tahun 2007.
Penemuan Induced Pluripotent Stem Cells ini mendukung perkembangan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan. Para ahli berharap dapat menggunakannya dalam pengobatan dengan menggunakan model transplantasi. Bahkan beberapa penelitian selanjutnya, para ahli mulai mengembangkan reprogramming pada virus dan memasukkannya ke somatic sel. Harapannya, penelitian ini dapat menghasilkan obat-obatan bagi berbagai macam penyakit. Para ahli berharap bahwa penemuan IPSCs ini dapat memajukan dunia pengobatan dengan memprogram ulang sel agar dapat menjadi sel dengan sifat pluripotent yang akan memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak dalam tubuh manusia.[8]

1.2. Kloning

Dalam bukunya yang berjudul Problem Etis Kloning Manusia, CB. Kusmaryanto, SCJ mengungkapkan bahwa istilah ‘Kloning’ berasal dari kata Klon (Yunani) yang artinya: tunas. Oleh karena itu, secara sederhana, kloning dapat dipahami sebagai suatu metode reproduksi biologis tanpa menggunakan sel seks (reproduksi aseksual). Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang terjadi tanpa peleburan sel sperma dan sel telur. Cara-cara reproduksi ini dapat dilakukan dengan membelah diri ataupun dengan model stek pada tanaman singkong.[9] Dalam bioetika, kloning dipahami sebagai sebuah bentuk usaha menciptakan replika gen yang memunculkan organisme sama persis dengan organisme induknya. Reproduksi dengan cara kloning ini akan menghasilkan organisme dengan informasi genetik sama.
1.2.1.  Tiga  Macam Cara untuk Melakukan Reproduksi dengan Kloning:

(1)  Embryo splitting: pemisahan embrio. 
Pemisahan embrio ini dilakukan pada embrio biasa (peleburan sel sperma dan sel telur) ketika memasuki tahap pre-nidasi, yakni ketika embrio memiliki sifat totipotent. Pada tahap ini, embrio terdiri dari 8 sel yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi individu. Apabila ke-8 sel itu dipisahkan, maka akan menjadi 8 individu. Pada tahap itulah sel-sel tersebut dipisahkan sehingga akan menghasilkan 8 individu yang memiliki kesamaan genetis. Hal ini terjadi juga dalam kasus anak kembar dimana satu sel telur yang telah dibuahi menjadi dua individu karena proses pemisahan pada tahap totipotent tesebut.[10]
(2)  Recombinant DNA Technology
Recombinant DNA Technology adalah cara mengklon organisme dengan menggabungkan gen  yang akan diklon dengan sebuah vektor. Vektor ini bisa plasmide, bacteriophage, Yeast Artificial Cosmide, dll. DNA baru yang disebut sebagai recombinant DNA sekurang-kurangnya harus terdiri dari dua bit DNA, yakni gen dan vektornya, lalu sesudahnya diletakkan dalam organisme yang cocok, misalnya bakteri atau ragi. Perpaduan antara gen dan vektor ini akan mengalami pembiakan di dalam organisme tersebut sehingga terjadi kloning sel. Sel-sel ini memiliki gen yang sama.[11]
(3) Somatic Cell Nuclear Transfer
Somatic Cell Nuclear Transfer adalah metode kloning dengan menggunakan inti sel somatic (nukleus sel somatic) yang ditanamkan ke dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya. Setelahnya, sel tersebut dirangsang dengan listrik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan sel tersebut. Ternyata sel tersebut mampu berkembang menjadi embrio yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim binatang/wanita yang sudah dipersiapkan secara biologis untuk dapat menerima dan mengembangkan embrio kloning. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan Dolly (kloning pada biri-biri). Secara genetis, embrio baru itu memiliki gen yang sama dengan induknya (gen dalam nukleus somatic sel yang telah ditanamkan dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya ).[12]  

1.2.2.  Jenis Kloning[13]

Dalam bioteknologi, ada dua jenis kloning. Pembagian jenis kloning ini berdasarkan tujuan dari tindakan membuat kloning. Kedua jenis kloning tersebut adalah:
(1)    Reproductive Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan reproduksi. Kloning jenis ini pertama-tama bertujuan untuk mendapatkan keturunan, atau mengadakan pertambahan jumlah organisme. Kloning demi tujuan reproduksi ini menjadi menarik bagi orang-orang yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan. Di samping itu, kloning demi tujuan reproduksi ini juga menarik perhatian para pelaku industri. Dengan ditemukannya teknologi kloning untuk kepentingan reproduksi, berarti membuka peluang untuk mengembangkan industri reproduksi manusia, hewan, maupun tumbuhan demi kepentingan bisnis.
(2)    Therapeutic Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan pengobatan. Therapeutic Cloning ini berhubungan erat dengan proses mendapatkan stem sell yang akan digunakan dalam berbagai macam pengobatan.  Kloning dengan tujuan pengobatan ini pertama-tama tidak menginginkan hadirnya organisme baru yang memiliki kesamaan genetis dengan induknya, melainkan memanfaatkan stem sel dari embrio klon yang tidak diimplantasikan ke dalam rahim. Singkatnya, Kloning jenis ini adalah kloning untuk mendapatkan embryonic stem cell dari embrio hasil kloning.

1.3. Kaitan Antara Stem Sel dan Kloning
Dengan adanya penemuan tentang Stem Sel demi kemajuan teknologi pengobatan, para ahli mencoba melanjutkan penelitian mengenai reproduksi stem sel (khususnya embryonic stem cell). Hal ini didukung oleh penemuan teknologi kloning. Para peneliti bioteknologi mulai mengembangkan kloning demi memperoleh dan mereproduksi embryonic stem cell. Dengan menggunakan metode kloning, embryonic stem cell yang didapatkan akan memiliki kesamaan genetis dari induk biologisnya. Hal ini dipandang oleh para ahli sebagai sebuah penemuan yang pesat dalam bidang pengobatan. Dengan memiliki kesamaan genetis, stem cell yang digunakan untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak karena penyakit tentu memiliki prospek keberhasilan yang cukup signifikan.[14]

2.       Pandangan Bioetika Umum terhadap Stem Sel dan Kloning

2.1. Pandangan Bioetika terhadap Teknologi Stem Sel

Penemuan teknologi Stem sel dan kloning telah mengejutkan komunitas ilmuwan dan masyarakat pada umumnya. Penemuan teknologi ini setidaknya memicu banyak kontroversi dalam bidang bioetika. Pada tahun 1999, di Amerika Serikat, Presiden Bill Clinton meminta pada National  Bioethics Advisory Commision (NBAC) untuk mempelajari permasalahan ini. Selain itu, banyak kalangan religius Amerika yang menyatakan penolakannya atas tindakan penciptaan embrio dan perusakan embrio demi penelitian tentang stem sel dan kloning ini. Sementara itu, penemuan ini pun memicu para ahli etika untuk mempelajari lebih lanjut tentang stem sel dan kloning dalam kaitannya dengan tanggungjawab etika moral secara umum.[15]
Pada bulan November 1998 Presiden Bill Clinton meminta pada National Bioethics Advisory Commission  untuk turut memikirkan dan memperhatikan persoalan tentang penelitian embryonic stem cell. Pada tanggapannya terhadap Panel Penelitian Embrio Manusia (Human Embryo Research Panel) yang diadakan pada tahun 1994, Presiden mengatakan bahwa meski beliau dapat mengabsahkan penelitian terhadap embrio demi tujuan reproduksi melalui IVF (in vitro fertilization), beliau tidak dapat mengabsahkan penggunaan IVF untuk menciptakan embrio demi tujuan penelitian. Namun pada tahun 1998, akhirnya presiden Bill Clinton mengindikasikan bahwa beliau mengabsahkan  penggunaan kloning melalui somatic cell nuclear transfer  (SCNT) dalam menciptakan embrio demi tujuan penelitian. Hal ini tertuang  dalam Statement of Administration Policy pada tahun 1998 yang mengatakan bahwa tidak dilarang untuk menggunakan SCNT sel manusia demi mengembangkan teknologi stem sel yang berguna bagi  pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang serius.[16]
Kebijakan pemerintah Amerika Serikat melalui presiden Bill Clinton tentang penelitian embryonic stem cell ini memicu beberapa pertanyaan sekaligus kritik dari para ahli etika. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain: (1) Bagaimana para pembuat kebijakan tersebut memandang dan berbicara tentang hubungan antara penelitian human embryonic stem cell dengan penelitian embrio? (2) Bagaimana argumen para pembuat kebijakan tersebut tentang penelitian embrio secara terbatas? (3) Bila secara umum penelitian embrio secara terbatas itu dapat diterima, apakah tujuan awal dari para pembuat embrio ini  telah membuat suatu perbedaan nilai  moral? Dengan kata lain, apakah masuk akal jika mengabsahkan  penelitian pada embrio yang akan dibuang, namun menolak penelitian dalam menciptakannya? (4) Apakah masuk akal jika mengabsahkan  SCNT untuk menciptakan embrio demi penelitian namun menolak IVF demi tujuan yang sama? (5) Jika penggunaan SCNT pada manusia untuk menciptakan embrio demi penelitian itu diterima, akankah penggunaan SCNT pada sel manusia dan hewan dapat diterima demi tujuan yang sama?[17]
 Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar para ahli bioteknologi dan etika dalam perdebatan panjang mengenai legalitas penelitian penciptaan embrio demi memperoleh embryonic stem cell.  Argumen dari para ahli bioteknologi mengatakan bahwa  embryonic stem cell bukanlah embrio dan dengan demikian penelitian itu absah. Tapi bagaimanapun juga embryonic stem cell dihasilkan dengan merusak embrio. Dengan demikian, segala bentuk perusakan terhadap embrio, demi tujuan penelitian yang baik sekalipun, tidak dapat dibenarkan secara moral. Untuk itu, pemahaman yang akurat mengenai hubungan antara embryonic stem cell dan penelitian penciptaan embrio harus dimiliki demi mengadakan penilaian moral terhadap teknologi embryonic stem cell, baik itu yang dilakukan dengan cara IVF maupun SCNT. Selain itu, para pembuat kebijakan hendaknya juga memahami proses SCNT yang juga mampu menciptakan embrio secara klon. Apa yang terjadi dalam SCNT juga merupakan suatu penelitian yang menciptakan embrio. Apakah menggunakan SCNT demi memperoleh embryonic stem cell yang juga merusak embrio hasil SCNT dapat dibenarkan secara moral?
Perdebatan juga berlanjut pada persoalan tentang penggunaan sisa embrio hasil IVF demi tujuan mendapatkan stem sel dan pelarangan penggunaan IVF demi mendapatkan embryonic  stem cell. Apakah tujuan akhir dari suatu perbuatan merusak embrio dapat meringankan beban moral atas perusakan tersebut? (demi tujuan reproduksi dan atau mendapatkan embryonic stem cell). Bukankah penciptaan embrio dengan menggunakan metode IVF itu pun dapat diabsahkan secara moral jika akhirnya menyisakan embrio-embrio yang tidak terpakai dan dibuang/atau digunakan untuk penelitian demi mendapatkan embryonic stem cell? Dan juga apakah sungguh dapat dibenarkan secara moral jika mengadakan penelitian dan produksi embryonic stem cell demi tujuan yang mulia sekalipun yakni demi keuntungan medis semata? Apa yang tidak dapat dibenarkan secara moral dalam usaha mendapatkan embryonic stem cell adalah perusakan embrio. Sebab embryonic stem cell tidak bisa diperoleh tanpa merusak embrio, baik itu embrio yang dihasilkan melalui IVF maupun SCNT (kloning model  somatic nuclear transfer).[18]
Berikut ini adalah salah satu contoh perdebatan yang muncul seputar problem etika moral atas teknologi  stem sel dan kloning. Meski tujuan dan manfaat dari penelitian tentang stem sel maupun kloning sungguh amat menjanjikan bagi kemajuan bidang pengobatan, namun tindakan menciptakan embrio pada manusia dan kemudian merusak serta memutus pertumbuhan normalnya sebagai individu baru sungguh tidak dapat dibenarkan secara etis dan moral. Satu-satunya penelitian dan penggunaan stem sel yang dapat dibenarkan secara moral dan tidak melanggar hak hidup embrio adalah penggunaan somatic stem cell. Meski demikian hendaknya penelitian ini tepat menerapkan informed consent dari para pendonor somatic stem cell.





2.2. Pandangan Bioetika terhadap Teknologi Kloning

Penelitian tentang kloning pada hewan dan manusia ini telah diadakan sejak tahun 1975 melalui keberhasilan Dr. John Gurdon dalam mengklon katak. Keberhasilan ini tentu memicu penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan penerapan teknologi kloning ini pada hewan lain dan manusia. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1993, dua peneliti Amerika, Jerry  L. Hall dan Robert J. Stillman dari Universitas George Washington mengumumkan hasil kerjanya tentang kloning manusia dengan menggunakan metode embryo splitting (pemisahan embrio ketika berada dalam tahap totipotent) atas embrio yang dibuat secara in vitro fertilization (IVF). Dari proses embryo splitting tersebut, Hall dan Stillman mendapatkan 48 embrio baru yang secara genetis sama persis.[19]  Penelitian terhadap kloning ini pun tetap berlanjut. Pada tanggal 23 Februari  1997, Dr. Ian Wilmut dan kawan-kawan peneliti dari  Roslin Institute di Edinburg (Skotlandia) mengumumkan dalam majalah Nature bahwa ia telah berhasil mengklon biri-biri yang diberi nama Dolly. Metode kloning yang digunakan untuk mengklon biri-biri tersebut adalah metode somatic  cell nuclear transfer (SCNT).
Atas penemuan-penemuan baru dalam teknologi kloning ini, berbagai kalangan mereaksi dengan keras bahwa jika teknologi ini diterapkan pada manusia, maka teknologi kloning sungguh tidak dapat dibenarkan secara moral. Teknologi kloning pada manusia akan menimbulkan begitu banyak persoalan etis dan moral yang amat serius. Salah satu contoh pelarangan teknologi kloning pada manusia muncul dari National Bioethics Advisory Commision (Amerika Serikat) yang menyatakan bahwa: “Untuk saat ini,  secara moral tidak dapat diterima bila seseorang mencoba untuk menciptakan anak dengan mempergunakan teknik somatic cell nuclear transfer cloning, baik secara pribadi maupun secara umum, baik dalam lingkup riset maupun dalam lingkup klinis”.[20] Hal yang sama juga terjadi di Parlemen Uni Eropa yang melarang setiap negara anggotanya melakukan kloning terhadap manusia. Meski demikian, perdebatan mengenai kloning pada manusia masih terus berlanjut. Sampai saat ini, umum diterima bahwa kloning pada manusia adalah tidak benar secara moral karena melanggar hak asasi dan martabat manusia, selain  juga membahayakan terhadap kelangsungan genetis manusia.[21]
Beberapa permasalahan yang memberatkan dilakukannya kloning pada manusia antara lain: (1) Kloning pada manusia melanggar martabat manusia yang unik sebagai individu keturunan manusia (buah cinta dari laki-laki dan perempuan). Manusia hasil kloning merupakan kopian dari induk biologisnya yang memiliki kesamaan genetis sama persis; (2) Melanggar hak hidup manusia. Embrio hasil kloning akan tumbuh juga menjadi manusia, namun ketidakjelasan identitas dan keutuhannya sebagai manusia dari sel sperma dan sel telur telah didegradasikan sedemikian rupa hanya demi tujuan produksi manusia, terlebih jika akhirnya kloning ini dibuat demi tujuan memperoleh  human embryonic stem cell; (3) Teknik yang dipakai dalam kloning manusia sungguh tidak aman dan efektif. Hal ini justru dapat merendahkan martabat manusia karena resiko kerusakan masih sangat tinggi. Hal ini tidak etis karena hasil yang akan dicapai dengan program itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan resiko kerusakan yang dihasilkan oleh teknik kloning tersebut; (4) Erosi Kehidupan Keluarga. Dengan teknik kloning manusia, berarti kehidupan keluarga mengalami degradasi makna, sebab anak dari kloning dapat dibuat tanpa sel sperma dari ayahnya, atau tidak pernah memiliki ibu biologis yang jelas. Di samping juga persoalan psikologis yang akan muncul dalam relasi antara anak hasil kloning dengan induk biologisnya; (5) Pelanggaran terhadap martabat prokreasi. Prokreasi terjadi dengan adanya persatuan seksualitas manusia antara laki-laki perempuan secara natural (ada hubungan seksual). Teknik kloning mengabaikan itu semua; (6) Hak untuk dikandung secara natural. Setiap individu memiliki hak untuk dikandung secara natural oleh ibunya. Dalam kloning, terbentuknya embrio terjadi dibawah rekayasa manusia (tidak secara natural), dan terjadi  tidak di dalam rahim seorang perempuan; (7)  Melanggar hak atas indentitas individu dan keunikannya. Anak hasil kloning tidak memiliki keunikan identitas genetisnya. Ia merupakan kopian dari pribadi yang membuat kloning atas dirinya; (8) Eugenic: usaha manusia dalam memperoleh keturunan unggul dengan merekayasa gen dan menciptakan pribadi-pribadi yang telah terekayasa; (9) Manusia sebagai objek. Dalam kloning, amat jelas bahwa manusia yang dihasilkan dengan menggunakan metode kloning ditempatkan sebagai objek reproduksi dan penelitian semata; (10) Mempermiskin faktor keturunan. Kloning tidak menambah kemungkinan baru dalam keturunan manusia karena berasal dari gen yang sama (hanya merupakan kopian gen); (11) Ketidakadilan Sosial. Biaya yang dibutuhkan dalam kloning tentu akan sangat besar, dan hanya orang-orang kayalah yang mampu membuat kloning. Hal ini tentu akan semakin memperlebar jurang antara orang kaya dan orang miskin.[22]

3.       Pandangan Etika Moral Gereja Katolik tentang Stem Sel Embrio Manusia dan Kloning Manusia

Pandangan Etika Moral Gereja Katolik dalam menanggapi persoalan Stem Sel Embrio Manusia dan Kloning pada manusia kiranya amat jelas bahwa Gereja Katolik menolak segala macam bentuk pembunuhan terhadap manusia (sekalipun manusia itu masih dalam tahap embrio). Dengan demikian, sikap Gereja amat jelas akan menolak teknologi human embryonic stem cell karena didapatkan dengan membunuh embrio. Hal ini dapat disamakan dengan pelanggaran moral sebagaimana terjadi dalam tindakan aborsi. Sikap Gereja Katolik berkaitan dengan kloning pun senada dengan penolakannya terhadap teknologi human embryonic stem cell. Dengan jelas kloning pada manusia telah mengingkari martabat prokreasi dan keunikan identitas manusia sebagai pribadi yang bermartabat di hadapan Allah. Beberapa sikap Gereja Katolik tersebut didasarkan pada pokok-pokok ajaran tentang hidup dan martabat manusia yang adalah seorang pribadi,  sebagai berikut:

3.1. Dasar Alkitabiah Mengenai Human Cloning dan Human Embryonic Stem Cells

Salah satu sumber inspirasi iman, sikap moral dan etika Gereja Katolik adalah Alkitab. Bagi Gereja Katolik, Alkitab merupakan refleksi iman terhadap  Allah yang mau terlibat dalam sejarah keselamatan manusia di dalam Yesus Kristus. Dalam setiap langkah hidupnya, Gereja Katolik selalu dihidupi oleh refleksi iman tersebut yang akan menghantar setiap umat beriman kepada pengalaman akan Allah yang sungguh-sungguh terlibat dalam hidup dan sejarah keselamatan manusia. Dalam menanggapi persoalan-persoalan duniawi pun, Gereja Katolik senantiasa mempertanggungjawabkan imannya berdasarkan refleksi iman yang telah tertuang dalam Alkitab. Melalui Alkitab pula umat Katolik diajak untuk semakin mau mendengarkan intisari kehendak Tuhan dalam hidup ini, termasuk ketika menanggapi persoalan-persoalan etis tentang perkembangan teknologi manusia.
Dalam menanggapi persoalan tentang human embryonic stem cells dan kloning pada manusia, Marion L. Soard mengajak untuk melihat dasar-dasar Alkitab yang melarang keras tindakan pembunuhan terhadap manusia (termasuk ketika manusia itu masih dalam wujud embrio). Beberapa perikop berikut merupakan ajaran dasar iman Katolik terhadap penghargaan hidup dan pribadi manusia:[23]
a.       Kejadian 1-2. Teks berikut merupakan dasar dari iman Katolik terhadap indahnya kehidupan. Dalam teks tersebut terungkap bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Oleh para pendukung penelitian human embryonic stem cells, ayat ini digunakan sebagai salah satu alasan bahwa teknologi dan penelitian tentang human embryonic stem cells ini juga atas prakarsa Allah. Allah memberi kemampuan kepada manusia untuk membuat kehidupan manusia ini semakin baik, termasuk menciptakan human embryonic stem cells demi tujuan kemanusiaan. Namun kerangka pikir tentu tidak benar. Jika menelaah lebih dalam, “ Segala sesuatu diciptakan oleh Allah”, maka manusia yang masih berwujud embrio pun adalah ciptaan Allah. Teknologi human embryonic stem cells dilakukan dengan merusak/membunuh embrio. Hal ini tentu bertentangan dengan tindakan Allah yang menciptakan segala sesuatu. Campur tangan manusia dalam menghentikan kehidupan dan perkembangan embrio (yang adalah ciptaan Allah) demi tujuan kemanusiaan sekalipun merupakan bentuk pelanggaran terhadap previlese Allah yang adalah pencipta segala sesuatu. Dengan demikian, penciptaan embrio demi penelitian human embryonic stem cells telah melanggar kehendak Allah Sang Pencipta segala sesuatu.
b.      Kejadian  1: 26-27. Teks ini merupakan prinsip dasar dalam iman Katolik untuk menolak teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia bahwa manusia adalah citra Allah (gambar Allah). Dalam teks ini hendak dikatakan bahwa setiap manusia adalah citra Allah dan Allah tidak membeda-bedakannya di antara manusia, entah itu manusia (sejak pembuahan hingga kesudahannya) dewasa ataupun yang masih dalam tahap embrio. Dengan demikian, teknologi human embryonic stem cells merupakan pelanggaran terhadap harkat martabat manusia, bahkan sejak pembuahannya, karena dalam human embryonic stem cells, manusia (yang berwujud embrio) terdiskriminasi dan tercabut hak hidupnya demi mendapatkan stem cell bagi manusia lain.
c.       Keluaran 20 : 13. Teks ini berisi perintah Tuhan yang melarang setiap manusia melakukan pembunuhan atas sesamanya. Hak hidup dan hak mati sepenuhnya berada di tangan Allah. Dengan demikian, teknologi human embryonic stem cells (baik dilakukan secara in vitro fertilization maupun  human somatic cell nuclear transfer/cloning) bertentangan dengan perintah Tuhan dan melanggar hak hidup manusia.
d.      Hakim-Hakim 13: 3-5; Ayub 3:3; Ayub 10: 8-12; Mzm 51: 5; Mzm 139:13-16; Yesaya 44: 2, 21, 24; 49:1; Yeremia 1:5 dan Galatia 1: 15-16. Teks-teks berikut mengungkapkan kebenaran iman Katolik tentang panggilan Allah sejak manusia dikandung ibunya (sejak pembuahan terjadi). Setiap individu (bahkan dalam tahap embrio pun) telah memiliki alur hidup yang telah direncanakan Tuhan untuknya. Dengan demikian, teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia telah mengacaukan sekaligus melanggar martabat panggilan manusia sejak dalam kandungan.
e.      Mzm 113:5-9. Teks ini mengungkapkan tentang pembelaan Allah terhadap orang-orang yang lemah dan tersingkir. Allah telah berkenan dengan orang-orang yang hina itu.  Dalam kasus teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia, embrio merupakan bagian dari individu/orang yang mendapatkan pembelaan Allah dan perhatian Allah. Jika embrio itu dirusak/dibunuh demi kepentingan penelitian ataupun kemajuan teknologi pengobatan, maka tindakan itu sama artinya dengan melawan Allah sendiri yang telah berkenan mengasihi dan memelihara serta mengangkat orang-orang yang hina, lemah dan tersingkir.
f.        Mat 7: 21-23. Teks ini hendak mengatakan bahwa Tuhan Allah bukanlah Allah yang pragmatis seperti manusia. Tindakan membunuh embrio demi mendapatkan stem cell ataupun kloning demi mendapatkan keturunan adalah tindakan pragmatis yang berlawanan dengan kehendak-Nya.  Human embryonic stem cells dan kloning telah menampakkan suatu pragmatisme manusia yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri.


3.2. Pandangan Magisterium Gereja Katolik tentang Human Cloning dan Human Embryonic Stem Cells

Lebih lanjut, Gereja Katolik mengungkapkan sikap tegasnya dalam menolak teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia melalui beberapa  Konstitusi Pastoral, dan deklarasi ajaran iman-moralnya.

a.       Gaudium Et Spes.
Konstitusi Pastoral ini mengungkapkan tentang Martabat manusia dan tugas perutusannya di tengah dunia. Dikatakan oleh Konstitusi Gaudium Et Spes bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1: 26; Keb 2:23). Konstitusi Gaudium et Spes juga mendasarkan pandangannya pada Kitab Suci tentang manusia. Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan ‘menurut gambar Allah’, ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah. Dengan dasar pandangan inilah, Konstitusi Gaudium et Spes mengungkapkan bahwa hidup manusia yang adalah citra Allah tengah berada dalam situasi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dunia saat ini. Disebutkan pula oleh Gaudium et Spes tentang tantangan perubahan masyarakat dengan segala kemajuan dan keterpurukkannya, termasuk juga kemajuan dalam bidang biologi/bioteknologi. Harapannya, manusia dapat mengembangkan kemajuan itu demi menjunjung tinggi martabat manusia dan meluhurkan Allah. Dengan demikian, segala bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia (meski masih dalam tahap embrio), adalah juga merupakan bentuk ketidaktaatan akan Allah yang telah menciptakan manusia seturut gambar-Nya.

b.      Evangelium Vitae.
Evangelium Vitae adalah Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Nilai Hidup Manusia Yang Tak Dapat Diganggu-gugat. Pada awal ensiklik,  Paus menulis tentang Injil Kehidupan sebagai inti amanat Yesus. Melalui ensiklik ini, Paus hendak mengajarkan tentang keluhuran nilai hidup dan martabat manusia.  Secara tegas ensiklik Evangelium Vitae menekankan bahwa “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, euthanasia dan bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis; apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang bebas dan bertanggungjawab: itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, daripada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta (No.3).
Dalam kasus human embryonic stem cell dan kloning yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia tahap embrio, Ensiklik Evangelium Vitae menulis demikian: “dari saat telur dibuahi sudah mulailah suatu kehidupan, yang bukan hidup ayah atau ibunya; melainkan hidup manusia yang baru beserta pertumbuhannya. Ilmu genetika modern menunjukkan bahwa sejak tahap pertama (pembuahan) sudah tersusun program tentang bagaimana makhluk hidup itu adanya di masa mendatang: seorang pribadi, pribadi individual dengan aspek-aspeknya yang karakteristik, yang sudah ditetapkan dengan baik. Oleh karena itu, manusia harus dihormati dan diperlakukan sebagai pribadi sejak saat pembuahan. Maka, sejak saat itu juga hak-haknya sebagai pribadi harus diakui. Di antara hak-hak itu terutama hak yang tidak dapat diganggu-gugat setiap manusia yang tak bersalah untuk hidup. (No.60).
Dalam menanggapi persoalan human embryonic stem cells dan kloning, Ensiklik Evangelium Vitae dengan jelas menolak teknologi tersebut karena teknologi tersebut mengganggu hak hidup dari embrio manusia, termasuk melanggar penghargaan terhadap pribadi manusia yang unik dengan segala macam karakter khasnya (penolakan terhadap teknologi kloning manusia).

c.       Declaration on The Production And The Scientific And Therapeutic Use of Human Embryonic Stem Cells (2000)
Deklarasi ini merupakan tanggapan Pontifical Academy for Life atas  Produksi dan Penggunaan  Human Embryonic Stem Cells bagi penelitian maupun pengobatan. Ada  3 problem etis yang hendak dijabarkan oleh deklarasi ini berkaitan dengan hal itu:
(1)    Apakah secara moral dapat dibenarkan untuk memproduksi dan/atau menggunakan embrio manusia yang hidup untuk mempersiapkan/memperoleh human embryonic stem cells? Atas permasalahan ini, Deklarasi memberikan jawaban negatif atas tindakan tersebut dengan alasan: (a) Embrio setelah pembuahan adalah subjek manusia dengan identitas khas yang telah ada. Embrio ini mulai mengkoordinasikan dirinya dan mulai mengalami perkembangan yang berlanjut serta gradual. Mengambil human embryonic stem cells berarti merusak dan membunuh embrio itu sendiri; (b) Setiap individu memiliki hak atas hidupnya sendiri . Oleh karena itu setiap intervensi yang tidak menunjang kelangsungan hidup embrio berarti tindakan itu merusak/melanggar hak individu; (c) Oleh karena itu, pengambilan embryoblast atau yang sering disebut sebagai inner cell mass (ICM) dari blastokista, yang menyebabkan kerusakan embrio, memutus perkembangannya, maka tindakan ini adalah tindakan immoral yang berat dan sungguh merupakan tindakan yang tidak pantas; (d) Meski demi tujuan yang baik yakni pengobatan (therapeutic use), namun tindakan memperoleh human embryonic stem cells tidak dapat dibenarkan secara moral. Tujuan yang baik tidak dapat membenarkan tindakan yang pada dirinya sendiri adalah tindakan yang salah.
(2)    Apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melakukan yang disebut sebagai ‘therapeutic cloning’ dengan memproduksi klon embrio manusia dan kemudian merusaknya untuk mendapatkan human embryonic stem cells? Atas permasalahan ini, Deklarasi memberikan jawaban negatif dengan alasan: setiap tipe therapeutic cloning, yang menerapkan produksi embrio manusia dan kemudian merusaknya demi mendapatkan human embryonic stem cells adalah perbuatan yang tidak pantas secara moral. Embrio hasil kloning juga memiliki identitas yang unik sebagai bakal manusia (meski hasil kloning).
(3)    Apakah secara moral dapat dibenarkan untuk menggunakan human embryonic stem cells dan sel-sel yang terdiferensiasi dari stem cell, yang mana disediakan oleh para peneliti dan dibuat secara komersial? Atas permasalahan ini Deklarasi memberikan jawaban negatif karena setiap upaya dan keterlibatan dalam persetujuan untuk menggunakan human embryonic stem cells, berarti terlibat dalam perusakan dan pembunuhan embrio demi memperoleh human embryonic stem cells.
Kesimpulannya, Deklarasi ini jelas menolak dilakukannya teknologi human embryonic stem cells maupun therapeutic cloning, sebab tindakan itu merupakan sebuah pelanggaran moral yang berat. Penelitian dan penggunaan stem cells yang secara moral tidak bermasalah adalah teknologi adult stem cells. Adult Stem Cells menampakkan metode yang lebih rasional dan manusiawi untuk membuat kemajuan ilmu teknologi baik demi tujuan penelitian maupun pengobatan (tujuan medis).

d.      Document of The Holy See On Human Cloning (17 September 2004)
Pada awal dokumen ini, Takhta Suci mengungkapkan bahwa riset ilmiah demi kepentingan umat manusia itu perlu didukung dan dimajukan. Dengan demikian Takhta Suci dengan serius mendukung penelitian dibidang kedokteran dan biologi, dengan tujuan menyembuhkan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup semua orang, asalkan martabat manusia dihormati. Hormat ini menuntut agar setiap riset yang tak sesuai dengan martabat manusia dari sudut moral harus disisihkan.
Ada beberapa keberatan etis Takhta Suci terhadap teknologi kloning manusia yakni: (1) kloning adalah serangan terhadap martabat manusia karena embrio hasil kloning tidak memiliki susunan gen yang baru (perpaduan antara gen dari sel telur dan sel sperma) tetapi hanya merupakan kopian dari induknya; (2) kloning kurang hormat terhadap pribadi manusia: individu hasil kloning merupakan individu hasil rekayasa manusia sehingga pribadi manusia direndahkan menjadi sekedar hasil produksi semata; (3) Kloning terapeutik dari sudut etis tidaklah netral, bahkan lebih buruk dari kloning reproduktif sebab kloning terapeutik telah mengorbankan embrio demi tujuan penelitian yang akan menghasilkan human embryonic stem cells. Ini sama halnya dengan tindakan pembunuhan embrio.

e.      Katekismus Gereja Katolik
Dalam Katekismus Gereja Katolik memang tidak dibicarakan secara khusus mengenai human embryonic stem cells dan kloning, namun ada beberapa pokok ajaran yang dapat digunakan untuk menilai tindakan riset ataupun penggunaan human embryonic stem cells dan kloning pada manusia. Pada nomor 2270 Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa hidup manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak pembuahan. Dari awal keberadaannya, setiap manusia telah memiliki hak sebagai seorang pribadi, yang tidak dapat diganggu gugat untuk hidup. Hal ini berdasarkan pada sabda Tuhan sendiri yang telah membentuk manusia sejak pembuahan dan telah memeliharanya sedemikian rupa sehingga embrio itu dapat hidup dan berkembang sebagai seorang manusia dewasa.
Dari pokok ajaran ini, umat beriman Katolik diajak untuk menghormati dan melindungi embrio karena embrio adalah manusia yang sudah utuh sebagai seorang pribadi. Apa yang terjadi dalam human embryonic stem cells dan terapeutik kloning tentu berlawanan dengan ajaran ini. Dan dengan demikian, Gereja Katolik menolak dengan tegas penggunaan kedua teknologi tersebut.

f.        Pokok Problem Etika Moral Human Embryonic Stem Cells dan Human Cloning yang ditolak oleh Gereja Katolik
Dari beberapa ajaran Gereja Katolik tentang penolakan teknologi human embryonic stem cells dan human cloning ini dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik tetap menjunjung tinggi martabat dan hak hidup manusia, bahkan sejak manusia itu dalam tahap embrio. Apa yang ditolak oleh Gereja Katolik sehubungan dengan teknologi human embryonic stem cells dan human cloning adalah terjadinya perusakan/pembunuhan embrio (pada teknologi human embryonic stem cells) dan pelanggaran terhadap keunikan martabat pribadi manusia (pada human cloning). Kedua hal ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran moral dan melanggar kehendak Allah. Dengan demikian, Gereja Katolik menolak dengan tegas kedua macam teknologi tersebut.
Meski demikian, tentu perdebatan mengenai problem etis dan moral tentang kedua teknologi ini masih terus berlanjut. Salah satu pertanyaan yang terus menghantui dan selalu membutuhkan penjelasan lebih lanjut adalah jika kedua teknologi ini bertentangan dengan kehendak Allah, mengapa secara hukum alam teknologi ini dapat berhasil? Apakah Allah tidak turut campur tangan dalam proses alam tersebut?

4.       Langkah Pastoral terhadap persoalan Cloning dan Stem Cell
Setelah mengetahui secara singkat mengenai teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia serta berbagai macam problem etisnya dari berbagai macam kalangan, hal apakah yang dapat dilakukan demi menjalankan langkah pastoral yang tepat dalam memelihara kehidupan? Mengingat problem etis kedua teknologi tersebut cukup berat, maka beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai langkah pastoral selanjutnya adalah sebagai berikut:
4.1. Memperoleh dan mempublikasikan secara luas pemahaman mengenai teknologi human embryonic stem cells dan kloning manusia. Pemahaman ini menyangkut pendekatannya melalui bidang biologis, etika moral, religius dan juga efeknya bagi hidup masyarakat manusia pada umumnya. Pemahaman ini akan menghantar umat beriman pada sikap kritis dan bijaksana dalam menyikapi berbagai macam kemajuan teknologi termasuk kedua macam teknologi tersebut.
4.2. Membahasakan pandangan etika moral  Magisterium Gereja Katolik kepada para umat dengan lebih sederhana dan tepat sasaran. Hal ini menyangkut problem-problem pokok etika moral kemajuan teknologi yang ditentang oleh Gereja ataupun yang diijinkan oleh Gereja.
4.3. Memberikan pemahaman kepada para umat untuk tidak melakukan pengobatan ataupun memperoleh keturunan dengan kedua teknologi tersebut. Hal ini pertama-tama karena kedua teknologi tersebut bertentangan dengan prinsip moral dan etika, khususnya karena telah melanggar hak hidup embrio dan martabatnya sebagai seorang pribadi unik.
4.4. Bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang memiliki keprihatinan yang sama terhadap penghormatan dan perlindungan manusia atas hak hidup dan martabatnya sebagai seorang pribadi.
Demikianlah uraian singkat mengenai persoalan tentang etika moral atas teknologi stem sel dan kloning dari segi ajaran moral Katolik. Semoga uraian singkat ini dapat membantu kita semua untuk semakin mau mencintai hidup dan menghargai martabat manusia, bahkan ketika manusia itu masih dalam tahap embrio.







Daftar Pustaka

A.      Dokumen Gereja
1.       Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Dokumen Konsili Vatikan II
2.       Ensiklik Evangelium Vitae
3.       Document of The Holy See On Human Cloning (17 September 2004)
4.       Declaration on The Production And The Scientific And Therapeutic Use of Human Embryonic Stem Cells (2000)
5.       Katekismus Gereja Katolik
6.       Pontifical Council of The Family, Kloning:Penghapusan Peran Orang tua Langsung dan Pengingkaran Keluarga (8 Agustus 2008)

B.      Artikel dan Buku
1.       CB. Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, Jakarta: Grasindo, 2002
2.       CB. Kusmaryanto, SCJ, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo, 2001
3.       CB. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Aborsi:  Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian, Yogyakarta: Kanisius, 2005
4.       Donald Wuerl, “Pastoral Letter on Human Embryonic Stem Cell Research” dalam Origins,Vol.34,  Tahun 2005
5.       Marion L. Soard, “Scripture and Stem Cells: Seeking Biblical Guidance When There Is No Obvious Biblical Word” dalam Ex Auditu, Vol.17, 2001
6.       Suzanne Holand (ed), The Human Embryonic Stem Cell Debate, London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge, 2001

C.      Website
1.       http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
2.       http://www.usccb.org/prolife/issues/bioethics, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009







[1] Donald Wuerl, “Pastoral Letter on Human Embryonic Stem Cell Research” dalam Origins,Vol.34,  Tahun 2005, hal. 674-676
[2] http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
[3] http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
[4] CB. Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, Jakarta: Grasindo, 2002, hal.73
[5] CB. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Aborsi:  Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.100 -108
[6] James A. Thomson, “Human Embryonic Stem Cells” dalam The Human Embryonic Stem Cell Debate, London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge, 2001, hal. 15-26
[7] http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
[8] http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
[9] CB. Kusmaryanto, SCJ, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo, 2001,, hal.1
[10] CB. Kusmaryanto, SCJ, hal.2-3
[11] CB. Kusmaryanto, SCJ, hal.4
[12] CB. Kusmaryanto, SCJ, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal.4
[13] Pontifical Council of The Family, Kloning:Penghapusan Peran Orang tua Langsung dan Pengingkaran Keluarga (8 Agustus 2008)
[14] http://www.usccb.org/prolife/issues/bioethics, diunduh pada tanggal 28 Agustus 2009
[15] Suzanne Holand (ed), The Human Embryonic Stem Cell Debate, London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge, 2001, hal. xv
[16] Erik Parens, “On the Ethics and Politics of Embryonic Stem Cell Research” dalam The Human Embryonic Stem Cell Debate, London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge, 2001, hal. 37
[17] Erik Parens, hal. 38
[18] Erik Parens, hal. 49
[19] CB. Kusmaryanto, SCJ, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal.8-9
[20] CB. Kusmaryanto, SCJ, hal.12
[21] CB. Kusmaryanto, SCJ, hal.14-16

[22] CB. Kusmaryanto, SCJ, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal.33-63
[23] Marion L. Soard, “Scripture and Stem Cells: Seeking Biblical Guidance When There Is No Obvious Biblical Word” dalam Ex Auditu, Vol.17, 2001, hal.97-120