Selasa, 04 Januari 2011

Biar Hidup Terus Berjalan

Ketika Merapi meletus dan memuntahkan lahar serta awan panas yang kian bervolume besar, daerah rawan bencana pun semakin meluas. Para penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana diminta untuk meninggalkan rumah dan mengungsi di tempat yang lebih aman. Ada banyak tempat-tempat publik yang akhirnya menjadi tempat pengungsian, tak terkecuali tempat-tempat ibadah. Tempat-tempat itu memiliki tujuan utama yakni memberi tempat berteduh dan menunggu Merapi selesai memuntahkan laharnya. Tidak ada tujuan khusus dari kelompok-kelompok itu selain menerima para pengungsi itu sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Agar hidup terus berjalan.
Waktu demi waktu berlalu. Bantuan demi bantuan mengalir demi kelangsungan hidup para pengungsi. Para dermawan memberikan sebagian miliknya demi menolong kelangsungan hidup para pengungsi, sementara relawan menemani mereka untuk tetap berjuang demi berlangsungnya hidup. Tidak ada kepentingan-kepentingan khusus dari kelompok-kelompok yang dengan rela hati menerima para pengungsi itu selain membantu mereka sebagai sesama manusia, sesama warga yang hidup di atas tanah Jogjakarta maupun di sekitar lereng Merapi. Bahkan tidak ada kepentingan sama sekali agar dilihat jasa-jasanya, para relawan dengan penuh semangat dan rendah hati menolong mereka.
Meski demikian, ada pihak-pihak tertentu yang melihat peristiwa ini dari perspektif lain. Ada kelompok-kelompok tertentu yang rupanya masih melihat kepentingan kelompok, dan menyatakan bahwa kelompok ini harus ditangani atau ditolong oleh kelompok itu. Dengan demikian, tujuannya pun bergeser, tidak demi berlangsungnya hidup, namun demi kepentingan kelompok. Alangkah malang nasib para pengungsi itu yang hidupnya dibatasi dalam kelompok-kelompok.
Namun di dalam hidup bermasyarakat (apalagi di Indonesia), tidak dapat dipungkiri jika masyarakat kita masih memandang hidup dari perspektif demikian. Keselamatan itu dikategorikan di dalam kelompok; keselamatan tidak terletak di dalam sikap hati nan tulus yang mau membantu demi berlangsungnya hidup. Alangkah menyedihkan jika situasi bencana Merapi ini justru memecah belah masyarakat Jogja dan sekitarnya ke dalam kelompok-kelompok itu. Alangkah menderitanya para korban yang akhirnya tidak terselamatkan dari Merapi jika akhirnya saudara-saudaranya yang masih mengungsi diperlakukan laiknya ‘massa’ yang harus memenuhi jumlah kelompok tertentu. Alangkah naifnya melihat manusia dari sisi identitas kelompok, jika ternyata hidupnya tidak dapat berlangsung dengan baik.
Menyikapi situasi ini, marilah kita berpikir dengan arif dan bijak. Pertama-tama adalah demi tetap berlangsungnya hidup manusia. Memanusiakan para korban yang adalah sesama mansia. Serta mengusahakan terus menerus ketulusan hati dalam menolong sesama, tanpa ada kepentingan apapun. Keselamatan manusia itu menjadi tujuan utama, tidak peduli memiliki identitas apa mereka, bahkan mereka yang tidak normal, atapun difabel. Tidak memandang mereka dari golongan atau kelompok apa, yang penting mereka juga adalah manusia ciptaan Tuhan. Manusia tidak berhak menentukan keselamatan di surga, tapi manusia bisa mengupayakan keselamatan di dunia, dengan saling tolong menolong secara tulus. Dan sebenarnya Merapi telah mengajari kita untuk seperti itu. Kali ini luncuran awan panas tidak hanya ditujukan ke arah selatan, namun ke segala arah, termasuk ke atas. Ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa alam tidak pernah membeda-bedakan kasih, keselamatan, dan bencana. Alam akan menyampaikan pesan-Nya yang juga ditujukan bagi semua orang, tidak hanya untuk satu kelompok saja; dan itu ditampakkan dengan ketulusan untuk saling berbagi, demi berlangsungnya hidup, entah memiliki latar belakang seperti apa.
Keselamatan itu seperti rumput benih padi yang menghijau, sementara pohon-pohon besar menjadi layu dan bertumbangan akibat abu Merapi. Di dalam ketulusan dan kesederhanaan benih padi itu, abu tidak mungkin menempel di tubuhnya yang kecil, pendek, dan tipis. Inilah saatnya menanggalkan atribut-atribut kita selama hidup normal, tetapi menelanjangi diri seperti bayi yang baru lahir, atapun benih padi yang baru tumbuh itu, memandang manusia sebagai sejatinya seorang manusia, memandang alam sebagai sejatinya alam, dan memandang kehendak-Nya sebagai sejatinya kehendak-Nya, melalui saling berbagi demi BERLANGSUNGNYA HIDUP SESAMANYA.


Tarian Kehidupan Henri Nouwen

Suatu ketika,  seorang teman menghadiahi saya sebuah buku berjudul The Dance of Life, buku yang memuat kumpulan renungan Henri Nouwen. Buku ini dicetak dalam versi bahasa Inggris.  Ketika mulai membaca, renungan-renungan dalam buku itu secara langsung menyentuh relung kesadaran saya sebagai seorang yang tengah bergulat tentang makna hidup.  Mulai saat itu, saya mencoba menekuni membaca The Dance of Life, dan jadilah buku itu menemani hari-hari saya dalam melakukan perjalanan rohani sebagai seorang yang hendak mengikuti Kristus secara khusus dengan menjadi imam. Menggeluti isi buku tersebut membuat saya ingin mengenal lebih dalam siapakah Henri Nouwen. Saya mulai menelusuri setiap informasi mengenai diri Henri Nouwen dari berbagai macam sumber. Ternyata setelah mengabdi selama kurang lebih 40 tahun menjadi imam diosesan di Utrecth, ia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di komunitas Daybreak, sebuah komunitas orang-orang cacat ganda di Toronto, Kanada. Saya sempat heran mengapa Henri Nouwen memilih untuk menjadi bagian dari komunitas itu di akhir masa tugasnya sebagai imam. Pilihan sikap inilah yang mengungkapkan betapa Henri Nouwen adalah seorang yang penuh kasih. Bahkan usahanya dalam menulis buku-buku rohani  ini pun menjadi bagian dari peziarahan hidupnya yang didasari oleh semangat kasih untuk  selalu memberi pengharapan bagi jiwa-jiwa yang lelah karena begitu hiruk pikuknya dunia.

 Menangkap Sabda-Nya dalam Dunia yang ‘Retak’ (fragile)
Dalam renungan-renungannya yang lugas nan inspiratif itu, Nouwen berusaha mengungkapkan pergulatan batinnya dalam menangkap sabda Allah dalam diri Kristus dalam dunia saat ini. Oleh karena panggilan ini pulalah ia mulai tergerak untuk mengajak segenap jiwa yang juga merindukan kasih Allah untuk berjuang bersama agar semakin mengenal sabda-Nya. Ajakan ini diungkapkannya dengan menuliskan refleksi-refleksinya. Pengalamannya sebagai orang yang dicintai dan dipanggil oleh Allah dalam karya kasih telah menggerakkannya untuk membagi pengalaman ini melalui tulisan. Tujuan dari pilihan sikapnya untuk menuliskan pergulatannya dalam menangkap sabda Allah ini bukanlah demi ketenaran diri sendiri tetapi demi sebuah gerak bersama  agar semakin banyak jiwa mampu mengenal Dia di tengah dunia modern ini.  
Pergulatannya dalam menyentuh kebenaran sejati Allah di tengah dunia modern ini mengantarkannya kesadaran bahwa  diri manusia yang tidak sempurna ini selalu berada dalam kasih Allah yang tak berkesudahan. Tema-tema renungannya selalu mengungkapkan bahwa dalam dunia  saat ini, keretakan, ketidaksempurnaan, dan penderitaan selalu menjadi hal yang tak terelakkan bagi manusia. Bagaimana Allah hadir dan terlibat dalam penyelamatan manusia di tengah realitas dunia yang ‘tidak sempurna’ (fragile) ini menjadi tema sentral dari setiap pergulatan rohani dalam tulisan-tulisannya.

Anak Hilang (The Prodigal Son)  sebagai Lambang Manusia Modern 

            Seorang teman Henri Nouwen yang bernama Robert Jonas mengungkapkan refleksi pribadinya tentang Henri Nouwen dengan begitu mempesona. Ia mengungkapkan bahwa Henri Nouwen termasuk seorang yang memiliki kemampuan untuk terus menerus berjuang menemukan kebenaran-Nya di tengah dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan ini.  Pertemuannya pertama kali dengan Henri Nouwen terjadi ketika mereka berdua tengah dalam perjalanan ke Hermitage Museum di St. Petersburg, Rusia. Saat itu mereka hendak  membuat film dokumenter tentang salah satu lukisan Rembrantd, ‘Kembalinya Si Anak Hilang’ (The Prodigal Son). Tampaknya, Henri Nouwen begitu terkesan dan mendapat inspirasi tentang kasih Bapa bagi manusia dari lukisan Rembrantd tentang Kembalinya Si Anak Hilang ini. Segera setelah itu, menurut penuturan Jonas, Henri Nouwen mengabdikan hidupnya selama kurang lebih 40 tahun pelayanan imamatnya untuk mewartakan kabar gembira tentang ‘Kembalinya Si Anak Hilang’. Selama itu pula ia menceritakan tentang perumpamaan Kembalinya Si Anak Hilang ini kepada umat di parokinya,  pada orang kaya dan miskin, para pastor paroki, para calon imam, calon pendeta protestan, masyarakat  Amerika Latin, pebisnis di Washington, gereja-gereja evangelis, serta ratusan bahkan ribuan komunitas-komunitas orang kristiani di seluruh dunia.
Insight tentang kisah Kembalinya Si Anak Hilang ini begitu membuatnya bersemangat untuk mewartakan kasih Allah di tengah dunia masa kini, bagi orang masa kini. Dalam setiap kerapuhan, keretakan, ketidaksempurnaan dan penderitaan yang terjadi dalam dunia saat ini, Allah tetap mengasihi tanpa syarat seperti dalam kisah Kembalinya Si Anak Hilang.  Henri Nouwen percaya bahwa perumpamaan tentang Kembalinya Si Anak Hilang merupakan tema sentral pewartaan Kabar Gembira dari Kitab Suci Yahudi dan Kristiani; jantung dari ajaran mistik. Ia begitu yakin bahwa kisah tentang Kembalinya Si Anak Hilang itu sungguh-sungguh merupakan kebenaran bagi setiap orang: meski kita adalah seorang pemberontak, telah menolak cinta-Nya, dan melarikan diri ke negeri asing, namun Allah tetap menunggu kita untuk pulang kepada-Nya dan kemudian memeluk kita dengan cinta tanpa syarat. Kepada setiap orang, semua orang, Henri mewartakan kabar gembira ini dengan mengatakan bahwa kita semua berada dalam cinta Allah yang begitu agung ini. Henri Nouwen selalu menekankan bahwa Allah mencintai kita dengan ‘cinta pertama-Nya’, bahkan sebelum kita dilahirkan. Kiranya kabar gembira ini sungguh mengena bagi kita yang hidup di tengah perkembangan dunia modern. Karakteristik dunia modern saat ini begitu identik dengan karakteristik Si Anak Hilang dalam kisah perumpamaan itu. Karakteristik manusia dalam dunia modern begitu kental diwarnai dengan sikap pemberontakan terhadap Allah dengan mengagung-agungkan kemampuan manusia, menolak cinta Allah dan melarikan diri ke negeri asing yakni dengan hanya mengutamakan kemajuan teknologi yang  justru membuat manusia menderita karenanya.

The Wounded Healer:  Cinta Allah yang Membebaskan

            Seperti Si Anak Hilang yang menderita setelah meninggalkan cinta Bapa-Nya, demikianlah gambaran manusia saat ini. Oleh karena pemberontakan, penolakan atas cinta kasih Allah ini manusia jatuh dalam penderitaan. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya penuh dengan luka dan ketidaksempurnaan; justru ketika ia menolak kasih Allah ini. Ia merindukan belaian kasih Bapa yang menenteramkan dan menyejukkan. Lalu bagaimanakah caranya untuk kembali kepada Bapa dan merasakan kembali pelukan serta cinta-Nya yang tanpa syarat? Nouwen mengajak masing-masing pribadi untuk membuka hati sebagaimana Si Anak Hilang untuk menerima Kristus sebagai wujud kasih Allah yang nyata bagi dunia. Menerima Kristus berarti mau menerima kebenaran sejati dengan menerima kenyataan serta mau bertanggungjawab terhadap hidup. Baginya, setiap kerapuhan, ketidaksempurnaan, dan penderitaan adalah suatu hal yang tak terelakkan. Bahkan Kristus sendiri dengan rela hati menerima itu semua demi cinta-Nya kepada manusia. Dengan demikian, setiap pribadi diajak untuk menyadari dirinya sebagai manusia yang rapuh, retak, tidak sempurna dan mengalaminya dengan hati terbuka. Sebab kasih Allah senantiasa membebaskan. Ia tidak akan memaksa manusia untuk kembali datang kepada-Nya namun senantiasa menunggu hingga manusia datang sendiri kepada-Nya. Ketika manusia mulai menyadari kenyataan bahwa dirinya rapuh, retak dan menderita karena sikap penolakkannya akan kasih Allah, maka ia akan mampu menerima kasih Allah yang begitu agung ini. Jika manusia tak pernah merasakan luka dan penderitaan karena kesadaran kerapuhannya, maka ia akan berlaku seperti Si Sulung dalam cerita Kembalinya Si Anak Hilang: tak pernah menyadari juga bahwa Allah senantiasa mengasihi dirinya.
Dengan menyadari dan menerima luka itu hingga titik kedalamannya, ia akan menjadi penyembuh bagi sesamanya yang juga mengalami luka. Dalam bukunya, The Wounded Healer, Henri Nouwen mengungkapkan dengan jelas bahwa orang diajak untuk mengalami kenyataan keretakan, ketidaksempurnaan dan penderitaan hingga akhirnya ia mampu menjadi penyembuh (healer) bagi yang lain, meski dirinya juga termasuk orang yang terluka (wounded). Dalam keterlibatan untuk saling menyembuhkan inilah, kasih Allah semakin nyata karena Ia menganugerahkan kebebasan bagi manusia agar mampu mencecap kebenaran sejati sebagaimana tampak dalam kasih Kristus yang rela menderita demi manusia.

Menjalani Hidup Penuh Kasih dan Berani

Dari tulisan-tulisan Henri Nouwen, kiranya dapat dipetik suatu nilai bahwa selama hidup ini, kita jangan pernah berhenti untuk menemukan Sabda Allah. Usaha untuk menemukan Sabda Allah ini tentu bukanlah suatu hal yang mudah karena realitas keretakan, ketidaksempurnaan, dan penderitaan seringkali membuat kita tak mampu melihat kasih-Nya. Namun Henri Nouwen justru mengajak kita untuk mencecap realitas keretakan, kerapuhan, ketidaksempurnaan dan penderitaaan ini dengan hati yang penuh kasih. Dengan  menerima dan mencecap pengalaman terluka itu (sebagaimana dialami oleh Si Anak Hilang), kita diajak untuk berani menjadi penyembuh bagi yang lain, yang juga terluka. Kiranya tepatlah pilihan Henri Nouwen untuk mengabdikan hidupnya bagi orang-orang cacat ganda di Komunitas Daybreak Toronto, Kanada. Sebab hanya dengan menerima dengan sepenuh hati atas luka-luka karena ketidaksempurnaan dan kemudian rela untuk saling berbagi kerapuhan inilah, kasih Allah akan selalu mengalir. Ia akan mengajak kita semua untuk menjadi koreografer atas tarian hidup kita yang indah di  tengah dunia yang ‘retak’ dan tidak sempurna ini.