Minggu, 25 September 2011

Pertobatan sebagai Pintu Keselamatan

Pada tanggal 13 September 2011, saya mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Saat itu saya akan menghadiri pertemuan pastor pembantu di Panti Semedi Klaten. Kecelakaan itu terjadi di Klaten ketika tempat yang hendak saya tuju tinggal beberapa kilo meter lagi.Sebelumnya saya juga pernah mengalami kecelakaan pada tanggal 17 Agustus 2009 yang sempat membuat saya opname karena tulang bahu kiri saya patah dan harus disambung dengan pen. Agaknya dari dua peristiwa ini, Tuhan mengajari saya apa arti bertobat dan juga rendah hati di hadapanNya, salah satunya dengan sikap hati-hati serta selalu memperhatikan orang lain saat di jalan raya.

Jumat, 23 September 2011

Keluarga sebagai Basis Hidup Beriman

Latar Belakang: Beriman di tengah tantangan dunia masa kini

       Dalam hidup harian kita saat ini, kita seringkali berjumpa dengan kenyataan yang membuat hati terasa getir.  Dalam berita-berita yang ada di media cetak maupun elektronik  seringkali kita menjumpai berita-berita yang  mengungkap tentang penderitaan dalam hidup saat ini. Mulai dari permasalahan seputar kemiskinan, gizi buruk, korupsi, skandal  para pejabat pemerintah, kekerasan dan kriminalitas,  krisis lingkungan hidup, hingga naiknya bahan bakar minyak yang menyebabkan semakin mahalnya harga bahan-bahan pokok lainnya. Berita-berita itu sungguh menampakkan kecemasan yang mengancam segenap warganegara kita saat ini. Masih ditambah lagi dengan kemelut keluarga dari para artis yang memilih untuk bercerai dengan pasangannya karena kedapatan berselingkuh. Setiap hari, kita berhadapan dengan dunia yang tidak sempurna. Ada begitu banyak penderitaan di sana. Itu juga diakibatkan oleh karena manusia sendiri yang tidak mampu bertanggungjawab terhadap hidupnya.

Penderitaan sebagai Konsekuensi Sebagai Murid Kristus

 “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Tetapi kamu juga harus bersaksi, karena kamu dari semula bersama-sama dengan Aku. Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu”. (Yohanes 15: 26-16: 4a)

Menjadi murid-murid Kristus tidak serta merta mendapatkan dan mengalami segala kemudahan serta kebahagiaan dalam hidup ini, namun terkadang justru harus bersaksi tentang DIA dengan mengalami penderitaan panjang. Kadang tugas ‘bersaksi’ ini memiliki konsekuensi seperti yang dialami oleh Guru Sejati kita, Kristus sendiri. Ia yang telah mengabarkan kebenaran, karena Ia adalah kebenaran itu sendiri telah ditolak oleh dunia, dan disalibkan. Ternyata dunia tidak sungguh mengenal Kristus (Kebenaran) itu sendiri dan Bapa (Sumber Kebenaran). Dunia lebih suka hidup di dalam kesesatan karena tidak mau mengalami ‘kasih’ yang begitu dahsyat seperti DIA, demi keselamatan banyak orang.

Kamis, 22 September 2011

Ada Apa dengan Tanda Salib? (Memahami Misteri Tri Tunggal Mahakudus)


St. Agustinus sedang berjalan-jalan di pinggir pantai, lalu ia melihat seorang anak kecil yang membuat lubang di pasir dan mengisi lubang itu dengan air laut. Dengan santainya St. Agustinus menegur anak itu, bahwa ia sedang melakukan hal yang tak masuk akal, mustahil memindah air laut yang begitu berlimpah ke lubang yang kecil itu. Lalu anak itu pun menjawab bahwa St. Agustinus juga melakukan hal yang sama ketika santo Agustinus itu hendak mencari jawaban dan menguraikan Misteri Tri Tunggal Allah dengan akal budi (pikirannya) yang serba terbatas.

Ada Apa dengan Tanda Salib? (Memahami Misteri Tri Tunggal Mahakudus)

St. Agustinus sedang berjalan-jalan di pinggir pantai, lalu ia melihat seorang anak kecil yang membuat lubang di pasir dan mengisi lubang itu dengan air laut. Dengan santainya St. Agustinus menegur anak itu, bahwa ia sedang melakukan hal yang tak masuk akal, mustahil memindah air laut yang begitu berlimpah ke lubang yang kecil itu. Lalu anak itu pun menjawab bahwa St. Agustinus juga melakukan hal yang sama ketika santo Agustinus itu hendak mencari jawaban dan menguraikan Misteri Tri Tunggal Allah dengan akal budi (pikirannya) yang serba terbatas.

Senin, 19 September 2011

Semburan Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc: Potret ‘Kekalahan’ Negara Oleh Korporasi Global

Pada tanggal 29 Mei 2006, 2 hari setelah gempa besar mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur mencapai 150.000 meter kubik setiap hari. Hingga bulan Mei 2007 semburan lumpur ini belum berhasil dihentikan. Semburan lumpur panas ini tidak dapat dihentikan hinga menyebabkan tertutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 90 hektar sawah serta pemukiman penduduk. Selain itu, luapan lumpur panas yang semakin tak terkendali ini mengganggu arus transportasi kerta api dari dan ke Surabaya serta menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup.[1] Peristiwa ini sungguh mengejutkan masyarakat Indonesia. PT. Lapindo Brantas yang merupakan kontraktor pertambangan minyak multinasional dan pemilik sumur Banjar Panji-1 dituding melakukan kesalahan dalam melakukan prosedur pengeboran yang menyebabkan terjadinya bencana lingkungan tersebut. Mulai saat itu, tuntutan dari berbagai pihak akan tanggungjawab PT. Lapindo Brantas bermunculan dan keberadaan PT. Lapindo Brantas sebagai perusahaan pertambangan minyak berskala multinasional pun mulai dipertanyakan.

Peristiwa semburan lumpur panas di desa Renokenongo ini telah menyebabkan kerugian yang amat besar bagi warga masyarakat yang kehilangan tempat tinggal. Selain itu, peristiwa ini juga memiliki dampak lingkungan yang amat serius berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Sementara itu, pihak PT. Lapindo Brantas terkesan lamban dalam menanggapi kasus ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pihak PT. Lapindo berusaha untuk menghindar dari tanggungjawab sosial yang harus diberikan sehubungan dengan ganti rugi atas peristiwa itu. Kasus ini sempat membuat warga setempat mengajukan protes ke pemerintah sehubungan dengan proses ganti rugi yang seolah-olah dilalaikan oleh pihak PT. Lapindo.

Senin, 05 September 2011

Eklesiologi Persekutuan sebagai Dasar Gerakan Ekumenisme

Pengantar
Pada tanggal 18-20 Juli 2006, di Uiwang, 25 kilometer selatan kota Seoul, Korea Selatan diadakan seminar tentang persatuan umat Kristen. Seminar ini diselenggarakan oleh Dewan Kepausan Untuk Peningkatan Persatuan Umat Kristen (Vatikan) dan Konferensi-konferensi Wali Gereja Asia (FABC). Adapun tema seminar tersebut adalah: The Search for Christian Unity: Where We Stand Today. Para peserta seminar itu berasal dari delapan Konferensi Waligereja nasional di Asia: Bangladesh, Filipina, Hong Kong, India, Indonesia, Korea, Macau, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Meski seminar ini diselenggarakan dan dihadiri hanya oleh Gereja Katolik, namun tema serta semangat yang diangkat dalam seminar tersebut adalah semangat ekumenisme yang telah bergulir sejak Konsili Vatikan II. Secara khusus, seminar tersebut merupakan penggalian lebih lanjut mengenai spiritualitas ekumenis dari pihak Gereja Katolik Roma dalam mengusahakan persatuan umat Kristen.[1]
Pada kesempatan yang istimewa tersebut, Kardinal Walter Kasper, pemimpin Dewan Kepausan untuk Peningkatan Persatuan Umat Kristen menekankan tentang posisi unik Gereja Katolik dalam Ekumenisme. Kardinal mengatakan bahwa Gereja yang benar adalah Gereja Kristus, yang secara konkret ditemukan di dalam Gereja Katolik.  Pernyataan Kardinal Kasper ini berdasar pada Perjanjian Baru dan Kredo yang meyakini bahwa Gereja itu satu, kudus, katolik dan apostolik. Meski pernyataan ini tampak ekslusif dan terkesan berpusat pada Gereja Katolik Roma, namun ia menegaskan kembali bahwa persekutuan yang penuh dari tujuan segala kegiatan ekumenis hendaknya tidak dipahami sebagai kembalinya Gereja-Gereja dan umat Kristen yang terpisah ke pangkuan Gereja Katolik, namun adalah suatu peziarahan bersama menuju ke-katolik-an sepenuhnya yang diinginkan Yesus Kristus bagi Gereja-Nya. Kardinal Kasper menambahkan bahwa semakin dekatnya pada Kristus, Gereja Kristen semakin erat, yang pada akhirnya menjadi benar-benar satu dalam Kristus. Untuk menggalang persatuan dalam Kristus itu, diperlukan sebuah spiritualitas persekutuan (communio). Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II memperdalam konsep ekumenisme dengan menggunakan istilah persekutuan dan mengembangkan eklesiologi persekutuan (communio).

Model Pewartaan Injil antara Paulus dan Pater van Lith


Paulus: 
Paulus sesudah pertobatannya di  jalan menuju ke Damsyik (Kis 9:1-19a) telah membuka jalan pewartaan Injil terhadap orang-orang non-Yahudi.  Secara khusus, Paulus mewartakan Kristus di lingkungan masyarakat dengan budaya Yunani Hellenis. Hal ini ditunjukkan dengan pembaruan yang dilakukan Paulus mengenai persoalan sunat dan tidak sunat di kalangan jemaat (Kis 15: 1-21). Surat-suratnya kepada Jemaat yang dilayaninya juga menampakkan bagaimana oleh Kristus, tidak lagi ada orang Yahudi atau Yunani tetapi orang-orang yang telah dipersatukan Allah untuk menerima keselamatan karena Kristus (1Kor 12: 12-31). Visi dari pewartaan Injil oleh Paulus ini digerakkan untuk mewartakan keselamatan Yesus Kristus bagi semua orang.  Dengan demikian, Injil bermakna bagi manusia universal, setiap manusia yang ada di muka bumi, apapun latar belakang budaya dan status sosialnya.

Kekhasan lain pewartaan Injil dari Paulus adalah pembangunan komunitas jemaat yang selalu dikunjungi dan dibimbing melalui pandangan-pandangan teologis, refleksi rohani, dan juga persoalan-persoalan manusiawi. Dalam surat-suratnya kepada jemaat-jemaat tersebut, Paulus mencoba menyelami persoalan hidup harian dari jemaatnya dan kemudian direfleksikan dalam terang Injil. Apa yang ditulis oleh Paulus  dalam surat-suratnya pun tidak jauh dari pengalaman rohani dan manusiawinya dalam mewartakan Injil bagi setiap orang dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, Paulus mewartakan Injil dengan melihat konteks sosial jemaat yang dilayaninya.

Dalam mewartakan Injil, Paulus berusaha masuk ke dalam budaya setempat dengan menyelami konteks khas masyarakatnya. Mulai dari sisi religiositas (misalnya dalam suratnya yang mengatakan tentang Allah yang tak dikenal), pandangan hidup (menyelami arus budaya filsafat Yunani, termasuk dalam hal pola pikir) hingga sosial politik (bersentuhan langsung dengan Penguasa Roma), ekonomis (dalam hal mata pencaharian dan status sosial jemaatnya).

Van Lith:
Sama dengan Paulus, Pater van Lith pun mengadakan dialog kehidupan dengan masyarakat Jawa dalam mewartakan Injil. Beliau mulai mengenal karakter, pandangan hidup, seni budaya, pergulatan dan cita-cita orang Jawa.  Bagi Pater van Lith, pewartaan Injil tidak hanya mengarah pada pembaptisan secara ritual saja melainkan mengarah pada internalisasi nilai-nilai Injili bagi hidup masyarakat Jawa. Untuk itu, beliau berjuang untuk melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Injil yang menekankan kemandirian iman umat terhadap Kristus.Kekhasan model pewartaan Injil dari Pater van Lith di tanah Jawa adalah menggunakan metode pendidikan generasi muda. Pendidikan kaum muda ini bersentuhan langsung dengan karakter masyarakat Jawa yang memiliki keuletan, kegigihan dan semangat belajar yang cukup tinggi. Meski pada awalnya bersifat pendidikan pada umumnya, namun nilai-nilai Kristiani menjadi dasar pendidikan model van Lith. Untuk mengenali karakter khas masyarakat Jawa, beliau mengadakan dialog kehidupan, dialog karya, dialog iman dan dialog karakter sosial.

Pater van Lith dalam mewartakan Injil di tanah Jawa juga mengadakan dialog budaya, seni, sosial kemasyarakatan,  dan dialog dengan situasi politik imperialisme Belanda terhadap Hindia. Perjuangan beliau untuk menghapus segala bentuk penjajahan di bumi Indonesia ini adalah wujud dari komitmen untuk berdialog dengan situasi politik yang tengah bergolak waktu itu. Dialog lain yang tak kalah penting dilakukan oleh beliau adalah dialog dengan agama Islam (khususnya tokoh-tokoh dan umat Islam pada umumnya yang telah terlebih dahulu mengakar di masyarakat Jawa).  Realitas sosial tersebut tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam usaha mewartakan Injil secara lebih kontekstual. Untuk itu, beberapa proses inkulturasi  Injil terjadi dalam misi van Lith di tanah Jawa ini, seperti misalnya: penterjemahan teks doa Bapa Kami, penggunaan gamelan  dalam liturgi dan juga penterjemahan teks-teks iman Katolik lainnya ke dalam bahasa Jawa yang sesuai dengan karakter khas masyarakat Jawa.

Pertobatan Personal sebagai Dasar Pertobatan Sosial: Konteks Indonesia


                                                     Pengantar
Dunia dan sejarah manusia senantiasa berubah. Titik-titik pencapaian usaha rasional manusia telah mempermak wajah dunia sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinan kontinuitasnya. Situasi ini selalu dilematis, disatu sisi perubahan itu menyatakan suatu kemajuan kemanusiaan namun di sisi lain, bersamaan dengan itu, muncul kelompok korban yang tak mampu berjalan di rel yang disebut sebagai kemajuan. Anehnya, golongan ini justru mewakili sebagian besar wajah dunia yang sesungguhnya. Mereka, para korban itu terjepit dalam hingar bingar kejayaan manusia dengan kemajuan bidang-bidang kehidupan seperti ekonomi kapitalistik, politik utilitarian, sosialisme totaliter dan implosi kebudayaan global era teknologi informasi. Dengan kata lain, kemajuan-kemajuan itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga dunia. Selebihnya, para korban berjuang untuk survive di tanah sendiri yang telah menjadi ‘asing’. Culture of death menjadi ancaman langsung bagi pemaknaan atas hidup. Cita-cita keselamatan pun menjadi semacam utopia ketika dekadensi moral, kekerasan, hedonisme individualistik  dan kemiskinan struktural seolah laten mengakar pada setiap realitas hidup manusia. Penderitaan menjadi keniscayaan dalam hidup. Dalam situasi inilah, iman terhadap Allah Sang Sumber Hidup dan Keselamatan sejati ditantang dan dipertanyakan.  Apa arti beriman di tengah dunia  yang mulai ‘meminggirkan’ Allah dan menggantinya dengan ideologi, sistem, serta kebudayaan yang menempatkan konsumerisme, dominasi kapital, hedonisme dan kekuasaan monopolistik represif sebagai nilai tertinggi? Apakah yang dapat dijawab oleh iman ketika culture of death menjadi semacam narasi besar dalam perjalanan sejarah hidup manusia dewasa ini?

Pertobatan Personal sebagai Dasar Pertobatan Sosial: Konteks Indonesia


       Pengantar
                Dunia dan sejarah manusia senantiasa berubah. Titik-titik pencapaian usaha rasional manusia telah mempermak wajah dunia sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinan kontinuitasnya. Situasi ini selalu dilematis, disatu sisi perubahan itu menyatakan suatu kemajuan kemanusiaan namun di sisi lain, bersamaan dengan itu, muncul kelompok korban yang tak mampu berjalan di rel yang disebut sebagai kemajuan. Anehnya, golongan ini justru mewakili sebagian besar wajah dunia yang sesungguhnya. Mereka, para korban itu terjepit dalam hingar bingar kejayaan manusia dengan kemajuan bidang-bidang kehidupan seperti ekonomi kapitalistik, politik utilitarian, sosialisme totaliter dan implosi kebudayaan global era teknologi informasi. Dengan kata lain, kemajuan-kemajuan itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga dunia. Selebihnya, para korban berjuang untuk survive di tanah sendiri yang telah menjadi ‘asing’. Culture of death menjadi ancaman langsung bagi pemaknaan atas hidup. Cita-cita keselamatan pun menjadi semacam utopia ketika dekadensi moral, kekerasan, hedonisme individualistik  dan kemiskinan struktural seolah laten mengakar pada setiap realitas hidup manusia. Penderitaan menjadi keniscayaan dalam hidup. Dalam situasi inilah, iman terhadap Allah Sang Sumber Hidup dan Keselamatan sejati ditantang dan dipertanyakan.  Apa arti beriman di tengah dunia  yang mulai ‘meminggirkan’ Allah dan menggantinya dengan ideologi, sistem, serta kebudayaan yang menempatkan konsumerisme, dominasi kapital, hedonisme dan kekuasaan monopolistik represif sebagai nilai tertinggi? Apakah yang dapat dijawab oleh iman ketika culture of death menjadi semacam narasi besar dalam perjalanan sejarah hidup manusia dewasa ini?

Paskah: Kemenangan Sang Cinta Sejati


Suatu kali, ada teman yang menanyakan tentang makna surga kepada saya. Kenapa orang begitu ingin masuk surga, sebenarnya surga itu apa dan bagaimana? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena saya belum pernah sampai ke surga. Dan saya tidak berani menjawab dengan suatu jawaban yang spekulatif karena saya takut nanti justru menyesatkan. Meski demikian, karena tidak ingin mengecewakan teman saya itu, saya mencoba mengajaknya untuk memahami surga dari kata-kata Kristus saat mengajarkan doa Bapa Kami. Dalam doa Bapa Kami, kita sering menyebut “di atas bumi seperti di dalam surga”. Kata-kata itu diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri, karena DIA-lah satu-satunya manusia yang pernah melihat dan tinggal di surga. Melalui kata-kata itu, kita jadi mengerti, ternyata hidup di dunia ini sudah seperti di dalam surga. Lantas bagaimana hidup di dunia itu?

Mari Membaca dan Mencintai Kitab Suci


Bagi umat Katolik di Indonesia, bulan September dikhususkan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Pada bulan tersebut, segenap umat Katolik diajak untuk membaca dan mencintai Kitab Suci. Mereka diajak untuk melihat Kitab Suci dari dekat, mengenalnya lebih akrab sebagai penuntun kehidupan iman mereka.

Sejarah BKSN
Sejarah munculnya Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) diawali oleh kiprah dari beberapa pastor Fransiskan yang mengambil inisiatif untuk menterjemahkan Kitab Suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Indonesia pada sekitar tahun 1956. Inisiatif ini disetujui oleh Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (Surabaya, 1956) yang menyerahkan pekerjaan itu kepada sebuah panitia. Panitia ini akhirnya berhasil menterjemahkan sebanyak 8 Jilid. Usaha untuk membawa Kitab Suci kepada umat beriman ini mendapatkan peneguhan sekaligus penegasan dengan munculnya Dokumen Dei Verbum pada Konsili Vatikan II (1962-1965). Dei Verbum artikel.22 menegaskan: “Bagi kaum beriman Kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar”. Penegasan ini diikuti dengan anjuran untuk menerjemahkan Kitab Suci ke bahasa-bahasa lokal secara tepat. Anjuran ini menjadi pintu bagi umat beriman untuk semakin akrab dengan Kitab Suci dan mencintainya sebagai sumber iman. Dalam konteks Indonesia, anjuran ini pun ditanggapi oleh para misionaris OFM yang mendirikan Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina (LBSSD) dengan Pastor C. Groenen OFM sebagai ketuanya pada tahun 1965. Lembaga ini menyelenggarakan terbitan-terbitan tentang pengenalan Kitab Suci kepada umat.

Siapakah Yesus bagiku?


Inilah Injil Yesus Kristus menurut Matius (16:13-20)
"Engkaulah Petrus, kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga."

Sekali peristiwa Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi. Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga." Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya memberitakan kepada siapa pun bahwa Dialah Mesias.


Masih relevankah jika kita bertanya: Siapakah Yesus bagiku? Apakah makna pertanyaan itu bagi kita, umat yang beriman kepada Kristus? Bukankah sudah jelas bahwa Yesus adalah Mesias, dan Ia adalah juruselamat umat manusia? Dan dengan jelas pula Petrus (yang adalah Batu Karang )menegaskan hal itu?

Siapakah Yesus bagiku?


Inilah Injil Yesus Kristus menurut Matius (16:13-20)
"Engkaulah Petrus, kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga."

Sekali peristiwa Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi. Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga." Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya memberitakan kepada siapa pun bahwa Dialah Mesias.
Demikianlah Injil Tuhan.
U.Terpujilah Kristus.


Masih relevankah jika kita bertanya: Siapakah Yesus bagiku? Apakah makna pertanyaan itu bagi kita, umat yang beriman kepada Kristus? Bukankah sudah jelas bahwa Yesus adalah Mesias, dan Ia adalah juruselamat umat manusia? Dan dengan jelas pula Petrus (yang adalah Batu Karang )menegaskan hal itu?

Bapak ibu,saudara-saudariku, para sahabat Yesus yang terkasih.,kita mengenal Yesus dari pewarisan iman yang kita terima dari para pendahulu iman kita, yang sumbernya adalah dari Kitab Suci. Kita mengenal betul bahwa Yesus adalah Mesias, sebagaimana ditegaskan oleh Petrus dalam bacaan tadi. Namun sebenarnya apakah kita sungguh-sungguh mengenal DIA, kita memahami betul apa arti/makna Mesias?
Dalam tradisi Israel/Yahudi, Mesias dipahami sebagai tokoh politik yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. Mesias dipahami sebagai tokoh pemimpin yang sejajar seperti Musa yang menyelamatkan umat Israel dari Mesir ataupun Elia yang membawa kemakmuran pada bangsa Israel. Namun apakah Yesus itu Mesias seperti itu? Seperti yang diharapkan oleh Bangsa Israel? Jika demikian, kenapa Yesus justru disalibkan oleh bangsanya sendiri? Mengapa kisah Yesus berakhir di salib?

Mesias dalam pemahaman Yesus yang akhirnya dipahami oleh Para Rasul melalui Petrus tidaklah demikian. Yesus adalah juruselamat manusia yang membebaskan manusia dari perbudakan dosa. Pembebasan yang dikerjakan oleh Yesus tidak terbatas pada pembebasan secara politis dan sosial namun melampaui itu semua karena Ia membebaskan manusia dari penjajahan dosa. Dan itu terungkap justru di dalam salib, di dalam penderitaanNya demi mewartakan KASIH, SUKACITA, DAMAI dan pengharapan. Ia mewartakan ALLAH yang menyertai penderitaan manusia karena dosa.

Kristuslah Sang Kebenaran Sejati, justru karena Ia-lah kehadiran Allah ditengah-tengah perjuangan manusia. Dialah Sang Kasih yang akan membebaskan manusia dari kesempitan cinta diri karena dosa. Dan dosa inilah yang menyebabkan penderitaan manusia. Kristus rela menderita karena cinta, dan itulah yang membebaskan manusia dari dosa. Ia membuka pintu keselamatan bagi manusia, supaya manusia pun masuk melalui pintu itu dan tidak lagi diperbudak oleh dosa.

Lantas bagaimanakah pemahaman ini sungguh-sungguh kita hayati dan kita tangkap maknanya bagi hidup kita? Siapakah Yesus itu bagiku? Apakah IA sungguh-sungguh Mesias bagi kita? Ataukah kita masih berpikiran seperti kebanyakan orang Yahudi yang melulu melihat makna Mesias dalam arti duniawi (bukan rohani)?

Sekarang marilah kita masuk ke dalam diri kita masing-masing. Melihat kembali rahmat baptisan yang telah kita terima. Apa artinya baptisan yang telah kita terima? Apa arti Katolik yang telah tercetak di dalam setiap ktp kita? Menjadi katolik artinya menjadi murid Kristus yang telah memberikan diri bagi keselamatan banyak orang. Bukan pertama-tama keselamatan diri sendiri yang menjadi tujuan utama, melainkan demi mengamalkan KASIH bagi keselamatan banyak orang. Itulah arti menjadi murid Kristus, menjadi Katolik. Dan keselamatan yang diwartakan bukan hanya dalam arti keselamatan duniawi, tetapi kesadaran bahwa makna hidup ini terletak di dalam Kasih, kebenaran dan pengharapan. Keselamatan kita justru terletak di dalam kesetiaan memanggul salib hidup kita demi kesejahteraan lahir batin orang lain.

Dengan demikian, pertanyaan Siapakah Yesus bagiku, senantiasa relevan bagi kita. Sebab pertanyaan itu akan selalu menggugah iman kita untuk selalu berjalan di belakang salibNya.  Jawaban tentang Yesus bagi kita tidak kita temukan secara pemahaman saja, tetapi di dalam sikap hidup yang selalu berusaha meneladan hidup dan Karya Kristus. Dan dengan demikian bukan lagi diri kita melulu yang berkarya tetapi Kristuslah yang berkarya bagi kita agar kita terbebaskan dari dosa. Marilah kita bawa hidup kita dalam kerangka pencarian jawaban atas pertanyaan itu, sehingga kita boleh bergabung di dalam bilangan para rasulNya…yang siap sedia menjadi jembatan bagi setiap orang, agar kita semua boleh menyeberang ke tanah terjanji sejati. Tanah kebenaran sejati, tanah keselamatan sejati, dan menjadi putra-putri Allah yang terkasih.