Jumat, 07 Desember 2012

Ketika Tuhan Bungkam (Sebuah Puisi)


Sekerat daging tumbuh dalam bisu
Menjadi besar dalam hening
Bermandikan hujan pertanyaan
Bernafaskan misteri

Tawa dan tangislah bahasanya awal mula
Sebab terlampau banyak kata-kata yang akhirnya sirna
Ia merengek, Ia terkekeh dalam waktu yang terus melaju
Matanya menangkap kerlip bintang dan sorot mentari
Berdiri mengangkang sebagai saksi berjuta tragedi

Lalu bibirnya melafalkan litani kepedihan
Mengapa seolah Tuhan bungkam, diam
Seperti malam kelam, menyergapnya dalam gelap yang lebam

Dimanakah Kau Tuhan, ketika kegelapan ini seolah kekal?
Ketika namaMu dikumandangkan sebagai mantra pembinasaan,
Ketika jiwa-jiwa tersesat dalam kerakusan yang mengkristal,
Ketika kebencian mencuat sebagai nada dasar kehidupan,
Ketika penindasan berjaya dengan tahta kesewenangannya,
Dimanakah Engkau Tuhan?

Mengapa Engkau seolah diam, Tuhan?
Adakah Engkau tertidur?
Atau mabuk anggur, karena lelah mendengar  jutaan celoteh doa, yang tampak seperti tuntutan

Adakah Engkau menangis ketika dunia menjerit?
Adakah Engkau menjawab setiap pertanyaan
Yang mengalir dari kepongahan kenyataan?

Ya, mungkin memang Kau telah bisu
Telinga-Mu tuli karena bertubinya permohonan menggetarkan gendangnya
Mata-Mu tak lagi melihat kisah bermilyar jiwa yang semuanya ingin Kau menyaksikannya

Dan biarlah semuanya tetap seperti adanya
Hanya saja, sekerat daging yang bernafas itu tak mampu berdiam
Ketika ia menyaksikan sesosok tubuh manusia kurus kering
Berlumur darah, bermahkota duri.
Tangan-Nya terentang, terpaku kayu palang
Merengkuh surga dan bumi, menyatukan yang sementara dan abadi
Kaki-Nya terpatri pada kayu yang menghunjam bumi.

Tanpa suara dari mulut-Nya, 
hanya tetes-tetes darah yang mengalir membasuh tanah
Setiap tetes itulah jawaban, dari setiap pertanyaan
Jawaban yang lebih agung dari untaian kata-kata indah.




Sragen, 6 Desember 2012

Senin, 19 November 2012

Syukur adalah Ketaatan kepada Alur Kehidupan: Sebuah Renungan


Akhir-akhir ini, aku sering bermimpi. Mimpiku itu terkait dengan kerinduanku untuk sekedar duduk diam menikmati keindahan alam. Sejenak melepaskan diri dari detak waktu yang seakan tidak pernah mau memberi sedikit ruang padaku. Aku ingin mengalami moment yang seakan detak waktu pun berhenti, tanpa harus merasa dikejar oleh waktu. Dan aku ingin menghayati persahabatanku dengan semesta, yang sudah semakin tua dan rapuh ini. Sekedar duduk-duduk di lereng gunung, menikmati ketinggian, ataupun di pinggir pantai, menikmati tamparan angin laut. Aku ingin menghayati kesendirianku, ketika aku merasa Tuhan memelukku.

Minggu, 18 November 2012

Cinta itu abadi, hidup itu singkat: Sebuah Renungan


Ketika merenungkan tentang hidup ini, kadang kita berhadapan dengan angka-angka, waktu dan segala macam kisahnya. Namun itu semua hanya sementara. Tidak ada seorang manusia pun yang hidup selamanya di bumi ini, bahkan seorang Highlander atau vampir pun bisa mati. Ketika kematian itu terjadi, semua hal tentang manusia itu seolah-olah berhenti. Tidak lagi tumbuh dan berubah, selain hancur berubah lebur menjadi debu. Dari substansi organik ke substansi anorganik. Kisah manusia itu pun berhenti. Tidak ada lagi impian, apalagi perjuangan. Dan oleh karena itulah, kematian itu tampak sangat menakutkan. Manusia takut mati, takut mengalami kemandegan, takut kisahnya tamat dan badannya hancur tak bersisa lagi. Meski menakutkan, kematian adalah kepastian yang sangat sempurna, diantara segala macam ketidakpastian hidup yang selalu menyisakan tanya. Orang lantas bilang, bahwa hidup itu begitu singkat, dan setelah kematian tiba, hidup pun berhenti. Orang pun mulai menghitung-hitung waktu yang diberikan padanya sebagai kesempatan untuk hidup.

Senin, 12 November 2012

Kekuatan Iman: Sebuah Renungan


Bacaan:  Lukas 7:1-10
Pengalaman ini terjadi pada hari Jumat Agung beberapa tahun yang lalu. Saat itu, saya kebetulan ditugaskan untuk asistensi di paroki Boyolali. Ketika saya sedang berjalan-jalan di depan Gereja, saya bertemu dengan seorang pemuda yang duduk di kursi roda. Pemuda ini cacat sejak lahir. Ia mengalami kesulitan berbicara, dan kedua tangan serta kakinya tidak tumbuh secara normal. Lalu saya mengajak dia kenalan dan ngobrol. Namanya Siswanto. Tiba-tiba saya melihat ada secuil lukisan dirinya di belakang kursi roda. Lalu saya tanya itu lukisan siapa. Ia menjawab bahwa itu adalah lukisan dirinya, yang dilukis oleh dirinya sendiri. Dalam hati saya mengaguminya, sebab dengan tangan yang aneh dan mengenaskan itu, mas Siswanto dapat melukis sedemikian indah dan real. Saya seolah tak percaya. Namun ketika ada seorang yang mengatakan bahwa lukisan-lukisan mas Siswanto ini sudah sering dipamerkan di pameran hasil karya para difabel, saya jadi kagum.

Contoh Modul Rekoleksi Untuk KMK/OMK


Berikut ini adalah contoh sederhana modul pelayanan Rekoleksi Rohani bagi OMK atau KMK. Tema yang hendak diusung adalah Menemukan Kristus dalam Pelayanan dan Kesederhanaan. Modul ini merupakan salah satu contoh saja yang dapat dikembangkan sesuai dengan konteks masing-masing tujuan yang akan diraih. Berikut juga mengenai film yang dicontohkan, dapat dicari sesuai dengan tema yang akan digulati. Semoga dapat sedikit membantu para pendamping OMK dan KMK...

 Tema: Menemukan Kristus dalam Pelayanan dan Kesederhanaan


Skenario I
Belajar dari Pengalaman Iman Chico Mendes (nonton Film)
 Merefleksikan pengalaman Chico Mendes menjadi pengalaman pribadi.

Apakah artinya beriman Kristiani?

Senin, 05 November 2012

Kapel Adorasi Ekaristi Abadi



Beberapa tahun belakangan ini, setelah Kongres Ekaristi I, umat Keuskupan Agung Semarang mulai mengenal dan mengalami Adorasi Ekaristi Abadi. Di beberapa tempat bahkan telah dibangun kapel Adorasi Ekaristi Abadi, seperti yang terdapat di Gua Maria Kerep Ambarawa. Adorasi Ekaristi Abadi adalah salah satu bentuk penghormatan Ekaristi Mahakudus di luar Misa. Disebut ‘Abadi’ karena penghormatan terhadap Sakramen Mahakudus yang ditahtakan, dilakukan tak kunjung putus. Umat hadir memberikan penghormatan terhadap Sakramen Mahakudus di sepanjang waktu.
Dalam ensiklik Ecclesia de Eucharistia, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa penghormatan Ekaristi di luar Misa merupakan harta yang tak ternilai dalam kehidupan Gereja. Penghormatan ini berhubungan erat dengan Perayaan Kurban Ekaristi. Di dalam Adorasi Ekaristi Abadi umat dapat memberikan penghormatan yang tak kunjung putus (abadi) dan bersembah sujud kepada Kristus sendiri yang benar-benar hadir di dalam Sakramen Mahakudus.

Kitab Suci: Kompas Menuju Keselamatan



Ajaran Gereja Katolik mengenai  kebenaran Kitab Suci terkait erat dengan ajaran tentang Wahyu Ilahi. Gereja memahami bahwa wahyu adalah kebaikan dan kebijaksanaan Allah yang berkenan mewahyukan diri serta memaklumkan rahasia kehendak-Nya (Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat Ilahi (Ef 2:18; 2 Ptr 1:4). Ajaran ini termuat dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) Konsili Vatikan II. Rahasia kehendak Allah dalam menyelamatkan manusia ini berpuncak dalam hidup, karya dan misteri Paskah Kristus (sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya). Atas pewahyuan diri Allah ini, manusia menanggapi dengan ketaatan iman. Ketaatan iman ini ditunjukkan dengan selalu terbuka akan Sabda Allah yang telah terungkap dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus.  Keterbukaan akan sabda Allah ini terwujud dalam kesediaan untuk menghidupi sabda Tuhan dan mewartakan kepada segala makhluk. Pewartaan Sabda Tuhan ke segala makhluk ini menjadi bagian dari salah satu ketaatan iman yang merupakan bentuk meneruskan wahyu ilahi.

Liturgi: Karya Penebusan Umat Beriman



Dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci, Konsili Vatikan II menulis demikian: Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari. Maka dari itu Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus. Maka Liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang diluarnya sebagai tanda yang menjulang diantara bangsa-bangsa. Dibawah tanda itu putera-putera Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu, sampai terwujudlah satu kawanan dan satu gembala. (SC 1).

Kerendahan Hati Menurut St. Ignatius Loyola



Santo Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesus pernah menulis, bahwa kerendahan hati adalah syarat mutlak untuk memperoleh keselamatan kekal. Untuk memperoleh sikap kerendahan hati ini, St Ignatius menuliskannya dalam Latihan Rohani, sebuah buku penuntun retret bagi setiap orang yang hendak mengikuti Kristus secara lebih dekat. Dengan kerendahan hati, hidup kita pun berpusat pada Allah, sumber segala sesuatu. Dengan demikian, seluruh hidup kita hanya berdasarkan kehendakNya saja. Dan tujuan hidup kita hanyalah demi kemuliaan Allah yang lebih besar, sebagaimana tujuan hidup dan karya St. Ignatius Loyola beserta para kudus yang mencintai Kristus dengan begitu total.

Jumat, 18 Mei 2012

Pendidikan Suara Hati (Hati Nurani) sebagai Dasar Pembangunan Moralitas Bangsa


Menyaksikan dan mengalami berbagai carut marut situasi negeri ini yang terkait dengan persoalan moral  rakyatnya, hati saya tergelitik untuk mengungkapkan sesuatu. Saya bukanlah seorang yang ahli moral ataupun seseorang yang memiliki kualitas moral yang tinggi. Namun demikian sebagai bagian dari bangsa ini, saya turut prihatin dengan situasi bangsa ini yang semakin tidak menentu. Berbagai persoalan moral seperti: kasus video porno, korupsi, konflik kepentingan berlatar belakang SARA, dan politik kotor, kekerasan, narkoba dan berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia seakan menjadi santapan berita yang kian hari kian biasa. Segala macam wujud  budaya kematian (culture of death) tersebut semakin hari semakin banal, dangkal dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan tayangan-tayangan televisi pun seakan penuh dengan pesan-pesan ‘kematian’ tersebut.

Senin, 30 April 2012

Bersama Bunda Maria, Tinggal dalam Kristus dan Berbuah


Dalam tradisi Gereja Katolik, bulan Mei ditetapkan sebagai bulan untuk menghormati Bunda Maria. Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-asas dan Pedoman, yang diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada tanggal 17 Desember 2001, menyebutkan bahwa  Kebiasaan adanya ‘bulan Maria’ ini tersebar luas di kalangan Gereja Timur dan Barat. Dalam Ritus Bizantin, liturgi selama bulan Agustus dipusatkan pada hari raya Kematian Bunda Maria (15 Agustus). Sampai Abad ke-12, Agustus dihayati sebagai “bulan Maria”; dalam Ritus Koptik, bulan Maria jatuh pada bulan antara Januari-Februari dan tertata dalam kaitan dengan Natal. Di Barat (Gereja Katolik Ritus Roma), petunjuk-petunjuk mengenai adanya bulan Maria berasal dari Abad ke-16. Sekitar Abad ke-18, bulan Maria-dalam arti modern- dikisahkan bahwa dalam masa ini para gembala jiwa memusatkan usaha-usaha pastoral – termasuk tobat dan ekaristi—tidak pertama-tama pada liturgy, tetapi pada ulah kesalehan, yang jauh digemari oleh kaum beriman (Direktorium, artikel. 190)

Senin, 05 Maret 2012

Katolik Sejati: Semakin Peduli dan Berbagi

Memasuki masa Prapaskah, Gereja Katolik mengajak segenap umatnya untuk menjalankan pantang dan puasa dalam membangun sikap tobat dalam rangka mempersiapkan Paskah. Selama menjalani masa prapaskah ini, segenap umat menjalani masa ‘retret agung’ selama 40 hari. Selama retret agung ini, umat menjalani masa puasa, dan pantang untuk mendukung gladi rohani dalam membangun pertobatan sebelum hari raya Paskah. Selama menjalani puasa dan pantang ini, umat diajak untuk semakin memperbanyak doa dan matiraga untuk semakin membangun sikap tobat dan hidup sesuai dengan sabda Tuhan.

Sabtu, 28 Januari 2012

Menemani Yesus di Taman Getsemani

Pernah suatu kali aku bertanya, mengapa dalam hidup ini, begitu banyak air mata tertumpah karena penderitaan. Penderitaan itu muncul ketika manusia berjumpa dengan ketidaksempurnaan diri dan hidupnya. Setiap kali ia bangkit dan berjuang, setiap kali juga ia jatuh dan terpuruk.  Dan terkadang kita lantas merasa begitu lelahnya karena situasi itu. Membuat kita tak lagi mengerti mengapa harus terjadi. Manusia selalu berdampingan dengan penderitaan, sebab itu sejatinya perjalanan menuju kebahagiaan harus dilalui. Sejak lahirnya, seorang bayi harus menangis karena tidak lagi mengalami kehangatan rahim sang ibu. Ia harus mengalami dingin dan panasnya dunia. Ia harus menggunakan badannya untuk bangkit berdiri dan melangkah.  Semakin besar, ia harus semakin merasa sendirian dan semakin memikirkan yang lain. Ia tidak lagi mengalami kehangatan sebagai anak-anak, namun harus mampu menjadi seseorang yang mampu melindungi anak-anak. Dan perjuangan itu tentu tidak mudah. Harus berkeringat dan merasakan letihnya badan serta jiwa. Itulah inti perjalanan kehidupan.

Jumat, 27 Januari 2012

Hidup adalah Soal Bersahabat dan Bukan Menguasai

Pada suatu ketika, ada serombongan anak sekolah yang ditemani oleh beberapa guru mengadakan rekreasi ke suatu tempat yang indah dengan mengendarai bus. Di sepanjang jalan, terhampar pemandangan yang amat indah. Mereka melewati bukit-bukit, lembah dengan sungai ber-air terjun. Terhampar kebun teh di kanan kiri jalan yang mereka lalui. Sementara itu, di dalam bus, anak-anak tampak sibuk dengan canda tawa mereka. Sebagian ada yang sibuk terpekur dengan handphone-nya, sebagian ada yang menikmati pemandangan alam sambil bercanda dengan teman-teman di dekat tempat duduknya. Beberapa guru tampak bergabung dengan anak-anak yang menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan mereka. Sebagian lagi tampak duduk serius di tempat duduk bus paling depan, sambil sesekali melirik jam tangannya. Ada seorang guru yang hilir mudik membawa pengeras suara, sibuk mengajak anak-anak menyanyi, namun sedikit yang mengikutinya. Sementara itu, dua orang guru sibuk membicarakan tentang rencana perjalanan wisata anak-anak ini dengan mengatur jadwal sedetil mungkin.

Kamis, 26 Januari 2012

Hidup adalah Soal Pengabdian

Dalam hidup ini, kita banyak berjumpa dengan pengalaman-pengalaman menyakitkan dan terasa demikian berat untuk dilalui. Ketika kita sampai pada titik itu, lantas kita mempertanyakan, sebenarnya apa makna hidup kita ini. Kadang kita juga bertanya, mengapa Tuhan tidak adil dengan hidup kita? Pengalaman-pengalaman seperti: kegagalan, kemiskinan, perselisihan, perceraian, sakit, dan perasaan tidak dicintai, seakan-akan memupus semua pengharapan kita akan hidup yang bahagia. Apakah pengalaman-pengalaman itu membuat hidup ini tidak bermakna? Atau pengalaman-pengalaman itu yang membuat kita tidak bisa menjalani hidup dengan bahagia?

Jumat, 20 Januari 2012

Bagaimana Kisah Mempengaruhi Sistem Keyakinan

Beberapa hari ini, aku menemukan sebuah buku menarik yang ditulis oleh Anthony de Mello yang berjudul The Way to Love. Buku ini merupakan kumpulan tuntunan meditasi terakhirnya yang berjumlah 31 butir tuntunan. Membaca butir-butir awal, aku sungguh merasa terpesona dengan model berpikir Anthony de Mello. Anthony mengajak setiap pembaca bukunya untuk melihat kembali akan konsep-konsep diri yang telah tertanam sedemikian rupa. Ia menunjukkan bahwa konsep-konsep itu membuat hidup kita terbelenggu karena harus mengikuti dan memenuhi segala macam tuntutan di dalamnya. Kebahagiaan kita pun sering atau bahkan justru tergantung dari konsep-konsep yang telah kita buat sendiri. Kita akan bergembira dan bersukacita apabila realitas yang kita hadapi sesuai dengan konsep-konsep kita, sementara jika realitas itu berbeda dengan konsep yang ada pada diri kita, kita pun terpuruk dan tidak bahagia. Dengan demikian, kebahagiaan kita ditentukan oleh hal-hal di luar diri kita. Apakah memang demikian sebenarnya kebahagiaan kita?

Jumat, 13 Januari 2012

Mencintai Hingga Sakit

Aku berjanji, aku akan mulai menulis lagi. Tulisanku ini untuk meredam segala luka hati yang entah untuk kesekian kalinya mesti kualami. Aku bersyukur atas itu semua karena dulu aku pernah meminta kepada Tuhan bahwa biarkanlah penderitaanku terus ditambah. Jika Tuhan mengabulkan, mengapa sekarang aku justru mengingkarinya? Aku mau menerimanya dan membiarkan rasa sakit ini menyatu di dalam seluruh realitas diriku. Aku punya harapan, untuk boleh merasakan cinta sejati, seperti Tuhan yang rela disakiti karena kasihNya. Dan meski aku merasa sakit, aku tidak akan pernah melihatnya sebagai akibat dari seseorang ataupun hal yang aku cintai itu, aku akan melihatnya sebagai konsekuensi dari mencintai.

Mencintai Hingga Sakit

Aku berjanji, aku akan mulai menulis lagi. Tulisanku ini untuk meredam segala luka hati yang entah untuk kesekian kalinya mesti kualami. Aku bersyukur atas itu semua karena dulu aku pernah meminta kepada Tuhan bahwa biarkanlah penderitaanku terus ditambah. Jika Tuhan mengabulkan, mengapa sekarang aku justru mengingkarinya? Aku mau menerimanya dan membiarkan rasa sakit ini menyatu di dalam seluruh realitas diriku. Aku punya harapan, untuk boleh merasakan cinta sejati, seperti Tuhan yang rela disakiti karena kasihNya. Dan meski aku merasa sakit, aku tidak akan pernah melihatnya sebagai akibat dari seseorang ataupun hal yang aku cintai itu, aku akan melihatnya sebagai konsekuensi dari mencintai.

Mencintai hingga sakit. Aku sering mendengar kata-kata ini, namun aku tak sungguh-sungguh mengerti maknanya, hingga aku sendiri mengalaminya. Mencintai hingga sakit itu seperti halnya kasih ibu. Seorang ibu rela menderita demi kehidupan dan pertumbuhan anak-anaknya. Itu yang bisa kulihat, selain itu aku belum tahu.

Saat ini aku benar benar merasa sakit, atas segala kenyataan yang kuhadapi. Ketika perjuangan dan keinginan tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan. Perasaan kesia-siaan itu muncul dan ini amat menyakitkan. Aku tak akan pernah merasa bahwa cinta yang hadir dalam perjuangan ini berakhir sia-sia. Tidak sama sekali. Sebab justru ketika aku belajar untuk tidak lagi memikirkan keinginan diri sendiri, dan membiarkan kesia-siaan menyambutku, aku tengah menemukan dan berjumpa dengan makna cinta yang sesungguhnya. Sebagaimana salib pun akhirnya  dipilih dan dijadikan tahta Sang Kasih, Yesus Kristus. Segala macam perjuangan dan cita-cita dunia seolah berakhir sia-sia di atas salib, namun salib pula yang menjadi wujud suatu keagungan cinta. Di saat pengharapan itu seolah menguap tak berbekas, aku justru dihadapkan pada suatu keyakinan bahwa itulah cinta yang abadi, ketika kita bahkan sampai berani mengorbankan pengharapan kita demi cinta. Dan itulah arti ‘kehilangan nyawa’ untuk memperoleh kembali ‘nyawanya’.

Secara manusiawi, hal ini amat sulit untuk dimengerti dan diterima. Sebab manusia itu rapuh dan berdosa. Ia selalu lekat dengan keinginan-keinginan, dan itu pula yang mencambuknya untuk kesekian kali. Setiap keinginan itu akan meninggalkan bekas luka yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Namun aku percaya, pengorbanan ini bukanlah suatu kesia-siaan. Itulah arti mencintai hingga sakit. Dan jika kita hanya berfokus pada kesakitan diri sendiri, itu juga belum merupakan kasih yang sempurna karena kita masih mementingkan diri sendiri. Mencintai hingga sakit berarti harus berani pula untuk merasakan serta memahami penderitaan orang yang dicintainya itu, dan berjuang untuk membasuh luka mereka tanpa memperdulikan penderitaan diri sendiri. Dan dengan demikian, mencintai hingga sakit tidaklah berkesudahan. Ia tidak akan pernah menyerah untuk selalu mencinta karena satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah mencinta. Mencintai hingga sakit selalu jujur dengan kenyataan dan berusaha menerima kenyataan itu dengan hati terbuka. Dan mencintai hingga sakit itu, tidak pernah kehabisan pengharapan. Ia akan menerima mati raga itu seperti korban bakaran yang dipersembahkan untuk Tuhan bagi keselamatan jiwa-jiwa. Ia seperti jembatan yang merelakan dirinya diinjak-injak orang agar orang sampai ke tujuan kebahagiaannya. Dan di dalam penderitaannya, ia akan selalu bahagia. Sebab dengan begitu, ia bisa selalu setia dalam alur panggilannya yang sejati. Marilah kita berani mencintai hingga sakit.