Sabtu, 28 Januari 2012

Menemani Yesus di Taman Getsemani

Pernah suatu kali aku bertanya, mengapa dalam hidup ini, begitu banyak air mata tertumpah karena penderitaan. Penderitaan itu muncul ketika manusia berjumpa dengan ketidaksempurnaan diri dan hidupnya. Setiap kali ia bangkit dan berjuang, setiap kali juga ia jatuh dan terpuruk.  Dan terkadang kita lantas merasa begitu lelahnya karena situasi itu. Membuat kita tak lagi mengerti mengapa harus terjadi. Manusia selalu berdampingan dengan penderitaan, sebab itu sejatinya perjalanan menuju kebahagiaan harus dilalui. Sejak lahirnya, seorang bayi harus menangis karena tidak lagi mengalami kehangatan rahim sang ibu. Ia harus mengalami dingin dan panasnya dunia. Ia harus menggunakan badannya untuk bangkit berdiri dan melangkah.  Semakin besar, ia harus semakin merasa sendirian dan semakin memikirkan yang lain. Ia tidak lagi mengalami kehangatan sebagai anak-anak, namun harus mampu menjadi seseorang yang mampu melindungi anak-anak. Dan perjuangan itu tentu tidak mudah. Harus berkeringat dan merasakan letihnya badan serta jiwa. Itulah inti perjalanan kehidupan.

Jumat, 27 Januari 2012

Hidup adalah Soal Bersahabat dan Bukan Menguasai

Pada suatu ketika, ada serombongan anak sekolah yang ditemani oleh beberapa guru mengadakan rekreasi ke suatu tempat yang indah dengan mengendarai bus. Di sepanjang jalan, terhampar pemandangan yang amat indah. Mereka melewati bukit-bukit, lembah dengan sungai ber-air terjun. Terhampar kebun teh di kanan kiri jalan yang mereka lalui. Sementara itu, di dalam bus, anak-anak tampak sibuk dengan canda tawa mereka. Sebagian ada yang sibuk terpekur dengan handphone-nya, sebagian ada yang menikmati pemandangan alam sambil bercanda dengan teman-teman di dekat tempat duduknya. Beberapa guru tampak bergabung dengan anak-anak yang menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan mereka. Sebagian lagi tampak duduk serius di tempat duduk bus paling depan, sambil sesekali melirik jam tangannya. Ada seorang guru yang hilir mudik membawa pengeras suara, sibuk mengajak anak-anak menyanyi, namun sedikit yang mengikutinya. Sementara itu, dua orang guru sibuk membicarakan tentang rencana perjalanan wisata anak-anak ini dengan mengatur jadwal sedetil mungkin.

Kamis, 26 Januari 2012

Hidup adalah Soal Pengabdian

Dalam hidup ini, kita banyak berjumpa dengan pengalaman-pengalaman menyakitkan dan terasa demikian berat untuk dilalui. Ketika kita sampai pada titik itu, lantas kita mempertanyakan, sebenarnya apa makna hidup kita ini. Kadang kita juga bertanya, mengapa Tuhan tidak adil dengan hidup kita? Pengalaman-pengalaman seperti: kegagalan, kemiskinan, perselisihan, perceraian, sakit, dan perasaan tidak dicintai, seakan-akan memupus semua pengharapan kita akan hidup yang bahagia. Apakah pengalaman-pengalaman itu membuat hidup ini tidak bermakna? Atau pengalaman-pengalaman itu yang membuat kita tidak bisa menjalani hidup dengan bahagia?

Jumat, 20 Januari 2012

Bagaimana Kisah Mempengaruhi Sistem Keyakinan

Beberapa hari ini, aku menemukan sebuah buku menarik yang ditulis oleh Anthony de Mello yang berjudul The Way to Love. Buku ini merupakan kumpulan tuntunan meditasi terakhirnya yang berjumlah 31 butir tuntunan. Membaca butir-butir awal, aku sungguh merasa terpesona dengan model berpikir Anthony de Mello. Anthony mengajak setiap pembaca bukunya untuk melihat kembali akan konsep-konsep diri yang telah tertanam sedemikian rupa. Ia menunjukkan bahwa konsep-konsep itu membuat hidup kita terbelenggu karena harus mengikuti dan memenuhi segala macam tuntutan di dalamnya. Kebahagiaan kita pun sering atau bahkan justru tergantung dari konsep-konsep yang telah kita buat sendiri. Kita akan bergembira dan bersukacita apabila realitas yang kita hadapi sesuai dengan konsep-konsep kita, sementara jika realitas itu berbeda dengan konsep yang ada pada diri kita, kita pun terpuruk dan tidak bahagia. Dengan demikian, kebahagiaan kita ditentukan oleh hal-hal di luar diri kita. Apakah memang demikian sebenarnya kebahagiaan kita?

Jumat, 13 Januari 2012

Mencintai Hingga Sakit

Aku berjanji, aku akan mulai menulis lagi. Tulisanku ini untuk meredam segala luka hati yang entah untuk kesekian kalinya mesti kualami. Aku bersyukur atas itu semua karena dulu aku pernah meminta kepada Tuhan bahwa biarkanlah penderitaanku terus ditambah. Jika Tuhan mengabulkan, mengapa sekarang aku justru mengingkarinya? Aku mau menerimanya dan membiarkan rasa sakit ini menyatu di dalam seluruh realitas diriku. Aku punya harapan, untuk boleh merasakan cinta sejati, seperti Tuhan yang rela disakiti karena kasihNya. Dan meski aku merasa sakit, aku tidak akan pernah melihatnya sebagai akibat dari seseorang ataupun hal yang aku cintai itu, aku akan melihatnya sebagai konsekuensi dari mencintai.

Mencintai Hingga Sakit

Aku berjanji, aku akan mulai menulis lagi. Tulisanku ini untuk meredam segala luka hati yang entah untuk kesekian kalinya mesti kualami. Aku bersyukur atas itu semua karena dulu aku pernah meminta kepada Tuhan bahwa biarkanlah penderitaanku terus ditambah. Jika Tuhan mengabulkan, mengapa sekarang aku justru mengingkarinya? Aku mau menerimanya dan membiarkan rasa sakit ini menyatu di dalam seluruh realitas diriku. Aku punya harapan, untuk boleh merasakan cinta sejati, seperti Tuhan yang rela disakiti karena kasihNya. Dan meski aku merasa sakit, aku tidak akan pernah melihatnya sebagai akibat dari seseorang ataupun hal yang aku cintai itu, aku akan melihatnya sebagai konsekuensi dari mencintai.

Mencintai hingga sakit. Aku sering mendengar kata-kata ini, namun aku tak sungguh-sungguh mengerti maknanya, hingga aku sendiri mengalaminya. Mencintai hingga sakit itu seperti halnya kasih ibu. Seorang ibu rela menderita demi kehidupan dan pertumbuhan anak-anaknya. Itu yang bisa kulihat, selain itu aku belum tahu.

Saat ini aku benar benar merasa sakit, atas segala kenyataan yang kuhadapi. Ketika perjuangan dan keinginan tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan. Perasaan kesia-siaan itu muncul dan ini amat menyakitkan. Aku tak akan pernah merasa bahwa cinta yang hadir dalam perjuangan ini berakhir sia-sia. Tidak sama sekali. Sebab justru ketika aku belajar untuk tidak lagi memikirkan keinginan diri sendiri, dan membiarkan kesia-siaan menyambutku, aku tengah menemukan dan berjumpa dengan makna cinta yang sesungguhnya. Sebagaimana salib pun akhirnya  dipilih dan dijadikan tahta Sang Kasih, Yesus Kristus. Segala macam perjuangan dan cita-cita dunia seolah berakhir sia-sia di atas salib, namun salib pula yang menjadi wujud suatu keagungan cinta. Di saat pengharapan itu seolah menguap tak berbekas, aku justru dihadapkan pada suatu keyakinan bahwa itulah cinta yang abadi, ketika kita bahkan sampai berani mengorbankan pengharapan kita demi cinta. Dan itulah arti ‘kehilangan nyawa’ untuk memperoleh kembali ‘nyawanya’.

Secara manusiawi, hal ini amat sulit untuk dimengerti dan diterima. Sebab manusia itu rapuh dan berdosa. Ia selalu lekat dengan keinginan-keinginan, dan itu pula yang mencambuknya untuk kesekian kali. Setiap keinginan itu akan meninggalkan bekas luka yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Namun aku percaya, pengorbanan ini bukanlah suatu kesia-siaan. Itulah arti mencintai hingga sakit. Dan jika kita hanya berfokus pada kesakitan diri sendiri, itu juga belum merupakan kasih yang sempurna karena kita masih mementingkan diri sendiri. Mencintai hingga sakit berarti harus berani pula untuk merasakan serta memahami penderitaan orang yang dicintainya itu, dan berjuang untuk membasuh luka mereka tanpa memperdulikan penderitaan diri sendiri. Dan dengan demikian, mencintai hingga sakit tidaklah berkesudahan. Ia tidak akan pernah menyerah untuk selalu mencinta karena satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah mencinta. Mencintai hingga sakit selalu jujur dengan kenyataan dan berusaha menerima kenyataan itu dengan hati terbuka. Dan mencintai hingga sakit itu, tidak pernah kehabisan pengharapan. Ia akan menerima mati raga itu seperti korban bakaran yang dipersembahkan untuk Tuhan bagi keselamatan jiwa-jiwa. Ia seperti jembatan yang merelakan dirinya diinjak-injak orang agar orang sampai ke tujuan kebahagiaannya. Dan di dalam penderitaannya, ia akan selalu bahagia. Sebab dengan begitu, ia bisa selalu setia dalam alur panggilannya yang sejati. Marilah kita berani mencintai hingga sakit.