Jumat, 07 Desember 2012

Ketika Tuhan Bungkam (Sebuah Puisi)


Sekerat daging tumbuh dalam bisu
Menjadi besar dalam hening
Bermandikan hujan pertanyaan
Bernafaskan misteri

Tawa dan tangislah bahasanya awal mula
Sebab terlampau banyak kata-kata yang akhirnya sirna
Ia merengek, Ia terkekeh dalam waktu yang terus melaju
Matanya menangkap kerlip bintang dan sorot mentari
Berdiri mengangkang sebagai saksi berjuta tragedi

Lalu bibirnya melafalkan litani kepedihan
Mengapa seolah Tuhan bungkam, diam
Seperti malam kelam, menyergapnya dalam gelap yang lebam

Dimanakah Kau Tuhan, ketika kegelapan ini seolah kekal?
Ketika namaMu dikumandangkan sebagai mantra pembinasaan,
Ketika jiwa-jiwa tersesat dalam kerakusan yang mengkristal,
Ketika kebencian mencuat sebagai nada dasar kehidupan,
Ketika penindasan berjaya dengan tahta kesewenangannya,
Dimanakah Engkau Tuhan?

Mengapa Engkau seolah diam, Tuhan?
Adakah Engkau tertidur?
Atau mabuk anggur, karena lelah mendengar  jutaan celoteh doa, yang tampak seperti tuntutan

Adakah Engkau menangis ketika dunia menjerit?
Adakah Engkau menjawab setiap pertanyaan
Yang mengalir dari kepongahan kenyataan?

Ya, mungkin memang Kau telah bisu
Telinga-Mu tuli karena bertubinya permohonan menggetarkan gendangnya
Mata-Mu tak lagi melihat kisah bermilyar jiwa yang semuanya ingin Kau menyaksikannya

Dan biarlah semuanya tetap seperti adanya
Hanya saja, sekerat daging yang bernafas itu tak mampu berdiam
Ketika ia menyaksikan sesosok tubuh manusia kurus kering
Berlumur darah, bermahkota duri.
Tangan-Nya terentang, terpaku kayu palang
Merengkuh surga dan bumi, menyatukan yang sementara dan abadi
Kaki-Nya terpatri pada kayu yang menghunjam bumi.

Tanpa suara dari mulut-Nya, 
hanya tetes-tetes darah yang mengalir membasuh tanah
Setiap tetes itulah jawaban, dari setiap pertanyaan
Jawaban yang lebih agung dari untaian kata-kata indah.




Sragen, 6 Desember 2012