Jumat, 18 Januari 2013

Orang-Orang Indonesia Semakin Irasional?


Miris mendengarkan dan menyaksikan berita akhir-akhir ini di media-media tentang berbagai macam kejadian di Indonesia. Kejadian-kejadian itu seakan menunjukkan betapa negara ini tengah dilanda oleh virus   irasonalitas. Salah satu contoh misalnya: oleh sekelompok Ormas, banjir di Jakarta yang terjadi pada tahun ini disebabkan oleh karena patung telanjang di Istana Negara, lantas adanya peraturan yang meyatakan larangan membonceng mengangkang bagi perempuan, penutupan sekolah-sekolah yang tidak mau menerapkan aturan walikota, pemerkosaan oleh ayah kandung sendiri,  kisruh persepakbolaan nasional dan masih banyak lagi. Virus irasionalitas itu muncul ketika ide dan gagasan sekelompok orang tertentu itu hendak dipaksakan ke dalam komunitas masyarakat umum, atau ketika jawaban solusi tidak menyangkut sama sekali dengan akar persoalan. Mungkin orang-orang Indonesia sekarang ini terlalu tergesa dengan hidupnya, atau mungkin sudah lelah untuk mencari mana akar persoalan yang terjadi.
Ketika jawaban spontan, reaksioner dan diskriminatif itu dijadikan kata akhir, maka irasionalitas mulai tampak. Proses komunikasi politik yang sebenarnya adalah tindakan rasional, demi kepentingan umum tidak lagi berjalan normal. Yang ada hanyalah suara mayoritas yang ternyata justru jauh dari masuk akal. Dan anehnya, hal-hal itu justru menjadi berita besar dalam hidup bangsa ini. Mau sampai kapan, Indonesia akan terkungkung dalam irasionalitas ini? Mau sampai kapan golongan minoritas dan marginal akan terus terpinggirkan?
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang rasional, visioner dan juga tidak sekedar pencitraan. Sehingga kepentingan umum menjadi dasar yang hakiki dari setiap proses politik, bukan sekedar suara mayoritas. Jika mengandalkan suara mayoritas, bisa jadi Indonesia ini ibarat sekumpulan orang bodoh yang mengarahkan kapalnya ke pusaran air besar karena dipahami bahwa pusaran air besar itu adalah pintu surga. Mengapa kebodohan itu terus dijadikan suara mayoritas. Mengapa suara hati yang unik, murni dan baik itu kalah dengan suara mayoritas yang seringkali justru membungkam hati nurani?
Tidak perlu menyalahkan siapapun dalam situasi ini, tetapi marilah kita mulai kritis dari diri sendiri. Menyikapi segala bentuk irasionalitas dengan daya nalar yang masih utuh, disertai dengan hati nurani yang masih bersih. Semoga, dengan begitu, irasionalitas dapat dikikis dan digantikan dengan rasionalitas berdasarkan hati nurani bersih. Jangan sampai negeri ini terperosok ke dalam lubang kehancuran, karena  kebodohan mayoritas, dan mayoritas yang bodoh.