Sebagai rakyat biasa yang menjadi bagian dari warga negara Republik Indonesia ini, saya bersyukur boleh menjadi salah satu saksi tentang bagaimana peliknya perpolitikan Indonesia pasca Reformasi tahun 1998. Memang saya juga boleh menjadi saksi saat Reformasi tahun 1998 menjadi awal perjuangan demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru yang diwarnai dengan kepemimpinan otoriter sosok seorang Presiden dari kalangan militer, Presiden Soeharto. Silih bergantinya kekuasaan di negeri ini sejak merdeka dari penjajahan juga menjadi bagian dari dinamika kedewasaan rakyat dalam demokrasi di negeri ini. Era Bung Karno, sebelum Indonesia merdeka, kekuasaan masih tersebar di daerah-daerah dengan kerajaan-kerajaan yang ada di bumi nusantara ini. Ketika ada kekuasaan yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih kompleks, yakni pemerintah kolonial Belanda, kerajaan-kerajaan dengan mudah tunduk di bawah kekuasaan yang lebih kuat, cerdas dan kompleks itu. Meski selalu saja ada perlawanan, namun perlawanan itu seringkali gagal karena belum menemukan formula yang tepat untuk bisa menggulingkan kekuasaan si kuat, cerdas dan kompleks itu. Hingga akhirnya dinamika politik dunia turut membantu rakyat bangsa ini bisa mengambil kesempatan untuk mendongkel kekuasaan penjajah kolonial melalui peristiwa Perang Dunia II. Itu juga dibantu dengan keterbukaan dari kekuasaan si kuat, cerdas dan kompleks tadi terhadap anak-anak bangsa yang terjajah ini untuk bisa sedikit mencicipi warisan kecerdasan, kekuatan dan kompleksitas kekuasaan mereka. Akhirnya terjawab sudah formula yang diperlukan untuk mengusir kekuasaan si kuat, yakni dengan membangun mentalitas, intelektualitas dan persatuan bangsa. Dari awalnya yang terpisah-pisah dan bermentalitas tunduk, bangsa ini mulai menyadari bahwa untuk mengalahkan si kuat, maka salah satu formula yang perlu dibuat adalah dengan bersatu dan berani melawan.
Adalah Bung Karno dan Bung Hatta bersama para intelektual awal bangsa ini, si anak-anak didikan kolonial, yang akhirnya menjadi pemersatu bangsa tertindas dengan melahirkan Pancasila, sebuah ideologi sakti yang merangkum segala keterbedaan di bangsa ini menjadi satu suara bulat atas nama kedaulatan rakyat Indonesia. Dengan kedaulatan ini, niscaya kekuatan penguasa cerdas nan kompleks, si penjajah kolonial, akhirnya angkat kaki dari bumi Indonesia karena terlahirlah Indonesia yang merdeka, yang berhak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri, tanpa lagi di bawah bayang-bayang penguasaan si penjajah. Namun kemerdekaan bukanlah sebuah tujuan akhir dari suatu bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta serta para pejuang kemerdekaan bangsa ini menyadari, bahwa kemerdekaan dari si penjajah adalah awal pintu gerbang perjalanan panjang penuh tantangan bagi bangsa ini yang tentu lebih beresiko dibanding tunduk takluk pada si penjajah. Perjalanan ke masa depan akan tampak lebih samar, lebih tidak pasti, dan penuh ancaman. Dan ternyata, benar adanya.
Meski Pancasila terbukti sakti, namun beberapa kali dalam perjalanan menuju masa depan, ideologi pemersatu ini terus menerus dirongrong dari segala sisi oleh anak-anaknya sendiri yang kerasukan roh keserakahan untuk berkuasa, yang dulu merasuki juga si penjajah. Tapi Tuhan itu adil bagi Indonesia. Meski ada beberapa kali pergantian pemerintahan pasca Indonesia merdeka, namun tetap saja ada anak-anak bangsa ini yang benar-benar berjuang tulus bagi tegaknya dan terwujudnya Pancasila serta NKRI. Disamping terdapat roh jahat bernama keserakahan terhadap kekuasaan untuk kepentingan sendiri, golongan dan kekuatan asing, terdapat pula roh baik yang berjuang tulus untuk kepentingan bangsa dan keadilan seluruh rakyat Indonesia. Sebab begitulah dinamikanya. Ketika kekuasaan mulai bergeser dari marwahnya, akan selalu tampil pahlawan yang menolong agar tidak terperosok. Namun ketika pahlawan itu mulai terlena dengan kekuasaan, akan muncul kembali pahlawan baru, dan begitu seterusnya hingga saat ini.
Memang ada sempat dalam sejarah Indonesia ini, pasca kemerdekaannya, Indonesia berada dalam kekuasaan yang sewenang-wenang karena pemerintahan bersifat otoriter hingga berjalan beberapa dekade. Namun perlu diingat pula, bahwa pemerintahan otoriter tidak akan bertahan selamanya. Yang bertahan selamanya adalah proses kedewasaan rakyat dalam menentukan perjalanan bersama menuju cita-cita bersama yakni Pancasila yang benar-benar murni. Era Bung Karno, rakyat masih dalam tahap awal sebagai negara yang baru terlahir. Rakyat masih menikmati bunga-bunga kemerdekaan sehingga mudah sekali tergiur oleh hal-hal baru yang dapat dinikmati sebagai bangsa merdeka. Meski ada sebagian kecil rakyat yang terus berpikir tentang perjuangan bangsa ini ke masa depan, namun sebagian besar masih sebagai penumpang, penonton dan pengekor. Tergantung siapakah dan bagaimanakah propaganda tentang cita-cita besar bangsa ini, rakyat akan mengikuti mereka yang bagi rakyat sungguh dirasakan bisa mewakili suara mereka. Ada yang mulai berpropaganda tentang komunis, sosialis, nasionalis dan agama. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya partai yang muncul di era awal kemerdekaan Republik Indonesia. Akhirnya rakyat bisa memilih kemana mereka akan menentukan pilihan di antara propaganda-propaganda itu yang sama-sama mewartakan tentang kesejahteraan dan keadilan Indonesia. Di antara mereka yang memilih itu, ada yang akhirnya sebagai si kreator dan narrator, namun ada juga akhirnya memilih sebagai pendukung saja (yang juga bisa disebut sebagai silent majority), dengan alasan banyak hal. Tapi tetap saja, yang benar-benar tahu tentang dinamika politik kekuasaan di negeri ini, hanya segelintir orang saja, saat itu. Hingga akhirnya Orde Bung Karno tumbang oleh segelintir orang itu dengan peristiwa berdarah G30S nya yang melahirkan Orde Baru. Orde Baru datang sebagai pahlawan yang mengkoreksi keterlenaan kekuasaan Orde Bung Karno, hingga akhirnya mereka pun juga terlena oleh kekuasaan itu dengan menjelma sebagai pemerintahan otoriter.
Dan ketika kekuasaan Orde Baru mengetahui bahwa si kuat bisa dikalahkan oleh penemuan formula tepat untuk menggulingkan kekuasaan, mereka mencoba untuk belajar dari kekalahan si kuat dan mencoba segala cara agar formula itu tidak muncul lagi di antara rakyat. Salah satu caranya adalah dengan tindakan-tindakan represif dan menjadikan rakyat yang mau merangkak ke panggung kreator serta narator segera saja diberangus. Ada banyak skenario dibuat agar formula itu tidak ditemukan untuk bisa menggulingkan kekuasaan. Namun tetap saja, semakin banyak dibungkam, ada saja yang akhirnya berhasil sebagai kreator dan narator baru demi mengembalikan bangsa ini ke rel yang sesungguhnya, yang pondasinya telah dibangun oleh para pendiri negara ini. Akhirnya kekuasaan Orde Baru Presiden Soeharto tumbang setelah 32 tahun. Di balik tumbangnya kekuasaan Orde Baru, terdapat kreator dan narator baru yang kian bertambah jumlahnya, meski itu bisa berarti kreator dan narator baik atau jahat, yang berjuang untuk negeri ini atau hanya untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun golongannya sendiri. Dinamika politik kekuasaan di negeri ini pun semakin menarik pasca Reformasi 1998 yang saat terjadinya pergantian kekuasaan itu, terdapat banyak korban jiwa karena kerusuhan. Kenapa mesti ada pertumpahan darah dari sesama anak bangsa sendiri dalam mewarnai dinamika politik dan kekuasaan di negeri ini?
Pasca Reformasi 1998, Indonesia seperti terlahir kembali. Namun konsekuensi dari kelahiran adalah rasa tidak aman, nyaman dan tidak pasti. Seperti seorang bayi yang terlahir ke dunia, ia tidak lagi bisa merasakan kenyamanan di dalam rahim ibu, tapi harus merasakan panas dan dinginnya udara di luar rahim ibu. Meski demikian, berada di luar rahim tentu lebih menjanjikan kehidupan daripada tetap di dalam rahim, meski di luar rahim tentu penuh dengan tantangan dan ancaman.
Maka terjadilah itu tantangan dan kesulitan pasca Reformasi 1998. Ketika eforia Reformasi menjalar di seluruh negeri, rakyat berlomba lomba untuk bisa berpartisipasi dalam perjuangan bagi tegaknya Pancasila. Karena kemajemukan dan pluralitas bangsa ini dengan segala kepentingannya masing-masing pasca Reformasi, maka tidak mudah untuk menemukan sosok yang bisa menyatukan segala perbedaan itu. Di samping itu, karena Reformasi baru saja terlahir, sistem hukum dan pemerintahan pun masih melanjutkan era Orde Baru hingga terbentuk pemerintahan Reformasi yang bertugas untuk melanjutkan amanah Reformasi demi demokrasi Indonesia. Oleh karena itulah, meski PDIP merupakan pemenang Pemilu di tahun 1999, namun MPR memilih Gus Dur (Abdurrahman Wahid) seorang tokoh besar NU sebagai Presiden RI ke-4 menggantikan Presiden B.J. Habibie didampingi Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden. Usia Reformasi Indonesia yang masih sangat muda ini pun diwarnai dengan pergolakan politik yang panas hingga berujung dilengserkannya Presiden Gus Dur pada tahun 2001 oleh MPR dan dilanjutkan oleh Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI ke-5 dari tahun 2001-2004. Pada pemerintahan awal Reformasi inilah (Pemerintahan Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati), sendi-sendi demokrasi yang merupakan amanah Reformasi mulai dibangun. Penerapan sistem hukum demokratis era Reformasi baru bisa diterapkan pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang akhirnya dimenangkan oleh Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden pilihan langsung oleh rakyat apakah demokrasi amanah Reformasi Indonesia telah menemukan jati dirinya?
Sebagai sebuah sistem hukum demokrasi pasca Reformasi, mungkin bisa dikatakan bahwa amanah Reformasi dapat berjalan sesuai tracknya. Hal ini ditunjukkan dengan kemerdekaan rakyat untuk terlibat langsung untuk memilih dan dipilih sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif, mulai dari tingkat nasional hingga tingkat daerah. Namun apabila dilihat lebih jauh terkait dengan proses pemilihan dan upaya untuk memenangkan hati rakyat, belumlah bisa dikatakan bahwa demokrasi Indonesia telah benar-benar berjalan secara fair sesuai marwah sejati Reformasi. Rakyat Indonesia yang masih sangat muda usia dalam berdemokrasi masih perlu banyak belajar tentang cita-cita bersama sebagai bangsa yakni Pancasila. Mengapa demikian? Karena dalam proses pemilihan umum yang terjadi selama dua kali periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2004-2014), masih saja terdapat hal-hal yang tidak sejalan dengan cita-cita bersama itu. Pola-pola kotor peninggalan penjajah kolonial masih saja mewarnai dalam proses pemenangan kekuasaan, entah yang terlihat maupun tak terlihat. Cara-cara yang tidak edukatif dan mencerahkan kehidupan berbangsa masih saja digunakan hanya untuk memenangkan kekuasaan. Salah satu cara yang tidak edukatif ini adalah dengan membangun narasi playing victim dan money politic yang akhirnya banyak meraup suara dan kepercayaan rakyat. Di samping itu, kampanye hitam serta transaksi politik bagi bagi jabatan masih saja terjadi. Setelah dua periode pemerintahan sesuai dengan sistem hukum demokrasi era reformasi, akhirnya Partai Demokrat tidak bisa mempertahankan kekuasaannya karena tersandung berbagai macam kasus kader-kadernya yang terbukti merugikan negara. Bahkan sempat muncul seruan dari salah seorang akademisi tentang bahayanya Gurita Cikeas (keluarga Presiden Susilo Bambang Yudoyono tinggal di Cikeas), yang menggambarkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudoyono belum sungguh-sungguh berhasil mewujudkan amanah Reformasi.
Di akhir masa pemerintahan dua periode Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan Partai Demokratnya yang juga dinilai rakyat belum mampu memperjuangkan cita-cita reformasi, muncul tokoh kharismatis seorang Walikota Solo yang bernama Joko Widodo. Suksesnya sosok Joko Widodo yang sering disebut Jokowi sebagai Walikota Solo yang demokratis dan merakyat (populis) telah memikat hati rakyat bahwa sosok pemimpin Indonesia yang dicita-citakan telah ditemukan. Keberhasilan sebagai sosok walikota populis di Solo akhirnya dipinang oleh PDI Perjuangan untuk diuji lagi di tingkat lebih tinggi lagi yakni maju dalam pemilihan Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Kepemimpinan di DKI Jakarta dianggap sebagai tolak ukur untuk bisa menuju ke RI 1 yang oleh PDI Perjuangan, sosok Jokowi diharapkan dapat memudahkan partai untuk kembali berkuasa selepas era Presiden SBY dan partai Demokratnya. Berkat kharisma dan kebijakan populis Jokowi di Solo yang dipasangkan dengan Basuki Tjahya Purnama (Ahok), seorang mantan Bupati Bangka Belitung Timur yang sukses dan populer pula, akhirnya Jakarta 1 dimenangkan oleh pasangan Jokowi Ahok dengan mengalahkan dua pasangan calon gubernur: Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria, dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Pasangan Jokowi-Ahok telah memikat warga DKI Jakarta yang merindukan sosok pemimpin populis yang bekerja keras nan nyata bagi rakyat demi cita-cita Pancasila.
Baru dua tahun bekerja sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dipandang oleh rakyat mampu menjalankan fungsi pemerintahannya sesuai dengan harapan masyarakat. Tingkat kepuasan masyarakat DKI Jakarta cukup tinggi terhadap duet kepemimpinan Jokowi-Ahok. Maka ketika Pemilu 2014 memanggil partai-partai politik untuk berkontestasi menuju RI 1 dan Senayan, PDIP kembali meminang Jokowi untuk maju sebagai calon presiden yang direkomendasikan PDIP untuk bertarung di Pemilu 2014. Belum genap 5 tahun pengabdian Jokowi sebagai gubernur DKI, ia harus berpisah dengan Ahok untuk maju sebagai calon presiden dari PDIP yang bersanding dengan Pak Jusuf Kalla dari Partai Golkar. Pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-JK bertarung dengan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang akhirnya dimenangkan oleh Jokowi-JK. Pada tanggal 20 Oktober 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Boediono. Keberhasilan Jokowi meraih RI 1 yang hanya berselang 2 tahun pasca sebagai Walikota Solo mengejutkan banyak kalangan, namun juga didukung oleh rakyat banyak sebagai pemimpin yang lahir dari rahim Reformasi, representasi rakyat kecil yang mampu masuk ke istana. Kemenangan Jokowi sebagai RI 1 dirayakan rakyat sebagai keberhasilan cita-cita Reformasi dan kemenangan demokrasi rakyat Indonesia.
Jika Jokowi melejit sebagai representasi rakyat yang berjuang demi cita-cita reformasi dengan terpilihnya sebagai Presiden Indonesia, lain cerita dengan yang dialami Ahok. Pasca ditinggalkan Jokowi yang mengemban amanat rakyat Indonesia sebagai Presiden, Ahok melanjutkan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta melanjutkan tugas Jokowi dari tahun 2014-2017. Ketika Ahok hendak maju berkontestasi kembali di Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, meski kinerjanya diakui masyarakat, namun ia dikalahkan oleh pasangan Anis Basweda dan Sandiaga Uno. Ahok juga akhirnya masuk penjara pada bulan Mei 2017 karena tersandung kasus penistaan agama.
Setelah satu periode menjabat sebagai Presiden RI, popularitas Jokowi bukannya memudar, namun justru semakin memikat masyarakat. Dengan kebijakan populis yang selalu diusung olehnya, bahkan Jokowi juga diakui oleh masyarakat internasional sebagai presiden Indonesia yang berhasil. Ketika hendak melanjutkan maju kembali sebagai calon Presiden Indonesia pada pemilu tahun 2019, PDIP tetap masih mengusung Jokowi yang bertarung kembali dengan Prabowo Subianto dari partai Gerindra. Pada tahun 2019, sekali lagi Jokowi mengalahkan Prabowo Subianto. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, kebijakan populis masih terus menjadi ciri khas kepemimpinannya. Hal ini pula yang akhirnya bisa memikat hati rakyat hingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi mencapai sekitar 80%. Selama dua periode kepemimpinan Jokowi sebagai presiden RI, hubungan Jokowi dan PDIP bisa dikatakan cukup solid. Tetapi menjelang akhir pemerintahannya mendadak terjadi perubahan yang signifikan karena manuver-manuver politik yang dilakukan oleh Jokowi maupun PDIP.
Manuver-manuver yang terjadi ini disaksikan oleh rakyat seperti sedang menonton drama korea dengan segala intrik-intriknya. Puncak dari hubungan yang buruk ini adalah ketika petinggi PDIP seakan menghina dan merendahkan Jokowi dan keluarganya dengan mengatakan bahwa Jokowi tanpa PDIP tidak akan bisa menjadi presiden. Ketika rakyat disuguhi oleh drama semacam itu, rakyat akan bisa menelaah tentang siapakah sebenarnya yang memiliki power atau kekuatan sesungguhnya. Berkat kecintaan rakyat terhadap presiden populisnya yang telah bekerja keras untuk rakyat dan masyarakat juga telah merasakan dampak kemajuan Indonesia era kepemimpinan Jokowi, lalu terbentuklah narasi bahwa petinggi PDIP telah bersikap arogan terhadap presiden mereka. Hal ini tentu justru mendongkrak dukungan rakyat terhadap Presiden Jokowi. Maka ketika anak Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka diterjunkan ke dalam dunia politik dengan mengikuti kontestasi calon walikota Solo, rakyat Solo tetap percaya pada Jokowi dengan memilih Gibran sebagai Walikota, melanjutkan perjuangan bapaknya.
Gibran bisa meraih kekuasaan di Solo juga atas rekomendasi dari PDIP yang mendukung untuk maju sebagai walikota Solo. Terlepas dari kepentingan politik keluarga Jokowi, dengan berhasilnya Gibran menang sebagai Walikota Solo pada tahun 2021, PDIP juga berkepentingan untuk tetap memenangkan hati rakyat. Pada peristiwa diangkatnya Gibran (yang adalah anak Presiden Joko Widodo) oleh PDIP sebagai calon walikota Solo dan akhirnya menang, demokrasi rakyat dan cita-cita reformasi sebenarnya tengah diuji. Dengan kemenangan Gibran sebagai walikota Solo, apakah cita-cita reformasi masih ditegakkan? ataukah demokrasi mengalami kemunduran? Bukankah Gibran dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis? Apakah Gibran menang karena dia anak presiden? Bukankah cita-cita reformasi ingin memberangus praktik korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah dengan mengajukan anak presiden sebagai walikota tidak merupakan praktik nepotisme?
Tapi sekali lagi, rakyat tidak peduli dengan drama-drama itu, dan segala macam idealisme tentang reformasi dan demokrasi. Mereka menyadari bahwa Gibran adalah anak presiden dan mereka tetap memilihnya sebagai walikota Solo harapan masyarakat. Ajaibnya, Gibran berhasil membuktikan bahwa ia bukan sekedar anak presiden tetapi juga mampu bekerja nyata bagi masyarakat Solo. Sekali lagi, rakyat sekarang tidak lagi membutuhkan idealisme dan ideologi tetapi kerja nyata yang berdampak bagi masyarakat. Bisa jadi, rakyat juga sudah terlalu terbiasa disuguhkan drama politik keluarga di negeri ini, mulai dari partai-partai keluarga, walikota dan kepala daerah yang semacam dinasti ( istri bupati bisa jadi bupati selepas suaminya, atau anak bupati lanjut sebagai bupati setelah bapaknya, dsb). Rakyat yang tidak punya akses ke panggung politik lebih memilih bahwa pemimpinnya bisa bekerja nyata, dengan mengabaikan apakah itu sesuai dengan cita-cita reformasi atau malah menyelewengkan reformasi. Mungkin rakyat juga telah paham bahwa demokrasi di Indonesia ini belum benar-benar demokratis karena ketika para calon penguasa hendak memenangkan hati rakyat, penguasa itu tidak segan-segan “membeli” suara mereka dengan janji-janji dan juga fasilitas hidup sehari-hari yang bagi rakyat itu sangat berarti. Ibaratnya, untuk bisa bertahan hidup saja susah, apalagi untuk berjuang teguh pada ideologi dan idealisme demokrasi, itu sama saja bunuh diri. Rakyat sudah sering berada dalam posisi kalah, dan tidak ada jalan lain untuk menang, selain ikut menumpang pada pemenang, tanpa peduli dengan cara bagaimana si pemenang itu memenangkan kekuasaan.
Pemilu tahun 2024 adalah pertaruhan Presiden Jokowi di akhir masa kepemimpinannya di Republik Indonesia ini untuk tetap bisa melanjutkan programnya bagi Indonesia. Menurut saya, beliau merasa mendapatkan amanat rakyat dengan program-program populisnya. Tingkat kepuasan masyarakat hingga 80% adalah amanah yang harus terus diperjuangkan meski beliau tidak menjabat lagi sebagai Presiden. Maka untuk menjaga amanah ini, beliau merasa berhak untuk ikut terlibat dalam pemilihan presiden yang akan melanjutkan program beliau. Presiden Jokowi merasa telah bekerja keras untuk rakyat dan rakyat bersama beliau untuk meraih cita-cita Indonesia maju, sementara PDIP sebagai partai terbesar juga merasa perlu menjaga amanah demokrasi dan cita-cita reformasi. Pada titik ini, kepentingan dua pihak ini berbenturan. Keduanya bercita-cita sama, yakni demi kemajuan Indonesia, namun sepertinya Jokowi tidak percaya lagi dengan cara berpikir ideologis kaku PDIP sehingga melalui manuver politiknya yang telah dipersiapkan sejak tahun-tahun kepemimpinannya, Jokowi memilih jalan lain. Fleksibilitas Jokowi dalam meraih cita-cita Indonesia maju akhirnya mengantarkan kekuasaannya pada kepentingan agar programnya tetap lanjut, meski ketika harus melakukan cara yang tidak ideologis dan mencederai demokrasi kaku sebagaimana dijaga teguh oleh PDIP. Puncak keretakan hubungan Jokowi dan PDIP adalah ketika Jokowi tidak sangat mendukung pilihan PDIP yang mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai pengganti beliau dan mulai mendekati kekuatan politik dari partai Gerindra dan PSI. Ketidaksetujuan Jokowi terhadap pencalonan Ganjar Pranowo dari PDIP sebagai calon presiden bukan karena sosok pribadi Ganjar, tetapi lebih terhadap kekakuan ideologis PDIP dalam meraih cita-cita Indonesia maju, selain juga arogansi petinggi partai yang dilihat beliau tidak sungguh mendengarkan suara rakyat. Ketika akhirnya pemerintah membuka peluang berubahnya konstitusi tentang batasan umur calon presiden dan wakil presiden, maka arahnya sebenarnya jelas yakni untuk mengusung Gibran sebagai penjaga amanat yang dititipkan rakyat kepada Jokowi. Di sinilah Jokowi melakukan pertaruhan besar dengan akhirnya mengubah konstitusi melalui MK yang meloloskan Gibran sebagai calon presiden dan wakil presiden. Dengan menyadari bahwa PDIP tidak akan sejalan dengan beliau, akhirnya Gibran yang secara konstitusi baru bisa lolos sebagai calon presiden dan wakil presiden pun diumpankan ke kekuatan politik Gerindra dan koalisinya. Umpan akhirnya disambut baik, dan Jokowi tinggal tarik ulur tali pancing kekuasaan di dalam pertarungan pemilu tahun 2024. Untuk memenangkan pertarungan itu, beliau kembali menunjukkan sikap berpihaknya pada rakyat dan kerja kerasnya untuk rakyat. Beliau tidak sendirian, karena pihak Gerindra dan koalisinya telah menyetujui dan mendukung penuh perjuangan beliau.
Gerak Jokowi dengan mengumpankan Gibran ini akhirnya mengubah konstelasi politik yang ada di negeri ini. Beberapa anak ideologis partai akhirnya memilih meninggalkan kekakuan ideologisnya dan mengingkari idealismenya demi mendukung idealisme baru Jokowi. Gibran menjadi yang sulung, lalu diikuti oleh anak-anak ideologis lainnya semacam Kaesang, Tsamara Amany, Budiman Sudjatmiko, Maruarar Sirait, anak-anak PSI, dan sebagian orang-orang PDIP. Orang-orang ini tidak lagi kaku secara ideologis, namun lebih mengikuti gerak Jokowi demi menjaga amanat rakyat yang dititipkan pada beliau untuk kemajuan Indonesia. Meski jalan yang dipilih Jokowi ini sangat berbahaya dan melanggar konstitusi, namun keyakinan bahwa rakyat lebih tinggi kuasanya daripada konstitusi, maka pencalonan Prabowo Subianto bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka tetap berlanjut demi kelanjutan amanat rakyat. Dengan keyakinan ini, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki jargon: “mari kita buktikan di pemilu, siapakah yang dipilih rakyat”. Dengan memenangkan suara rakyat, maka pelanggaran konstitusi akan terhapus atas nama demokrasi (suara rakyat/pilihan rakyat). Di sini, demokrasi mengalami desakralisasi.
Akhirnya Jokowilah pemenang dari pertarungan tarik menarik pancing kekuasaan itu pada pemilu tahun 2024. Suara rakyat tetap berpihak pada Jokowi. Meski sebagian rakyat tetap melihat ada kecurangan dalam pertarungan itu, namun suara rakyat telah membuktikan bahwa kecurangan itu bukan merupakan problem besar jika rakyat menyetujuinya demi Indonesia maju. Pemilu 2024 yang diprediksi akan berjalan dua putaran, akhirnya hanya berjalan satu putaran setelah KPU dengan quick count-nya telah menunjukkan pola yang stabil atas penghitungan suara yang masuk hingga 50% lebih untuk pasangan Prabowo-Gibran. Atas hasil pemilu ini, terlepas adanya suara-suara sebagian rakyat yang menyatakan adanya kecurangan dan pelanggaran konstitusi, tetap saja suara rakyatlah yang menang, mereka yang memenangkan hati rakyatlah pemenangnya. Kedewasaan rakyat era saat ini bukan lagi pada ketaatan ideologis dan demokrasi suci murni, tetapi lebih kepada kepercayaan terhadap pemimpin yang bekerja nyata bagi kemajuan Indonesia. Sebab mungkin rakyat juga sudah muak dengan kekakuan ideologi dan wacana kesucian demokrasi dari para politisi tetapi mereka-mereka pun ketika menjabat malah meninggalkan rakyat, mengabaikan suara rakyat. Mungkin rakyat lebih percaya kepada mereka yang bekerja nyata, mau mendengarkan rakyat, meski cara-cara yang dilakukan dengan menggunakan pelanggaran terhadap ideologi dan demokrasi. Seperti halnya masyarakat pencinta Timnas Indonesia yang ingin Timnas menang terus meski dengan menggunakan cara-cara kasar dan yang melanggar aturan sepakbola, ataupun menyingkirkan pemain lokal. Itulah suara rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi ingat, Tuhan tidak pernah mengajarkan anak-anakNya melanggar hukumNya.
Pemimpin Indonesia 2024-2029 telah terpilih. Mari kita bergandeng tangan untuk Indonesia. Salut untuk PDIP bersama ibu Megawati Soekarno Putri, yang membangun Indonesia maju dengan garis lurus ideologi dan kesucian demokrasi, serta Pak Jokowi yang kecintaannya terhadap rakyat Indonesia tidak dapat diragukan lagi, bahkan mengumpankan anaknya sendiri serta menempatkan keluarganya sendiri di tepi jurang demi kemajuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar