Sejenak aku teringat dengan kata-kata Uskup Romero ketika berkotbah di pemakaman sahabatnya, Pater Rutilio Grande yang meninggal karena ditembak oleh para algojo milik tuan-tuan tanah di El Savador. Uskup Oscar Romero menegaskan bahwa perjuangan kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Pater Grande itu berlandaskan pada iman akan Yesus Kristus, bukan berlandaskan pada doktrin Marxist seperti yang dituduhkan oleh rezim penguasa lalim El Savador saat itu. Perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kemerdekaan bagi para petani serta orang-orang miskin yang dilakukan oleh pastor sederhana itu berakar kuat pada iman akan Kristus. Umat saat itu sungguh menderita karena menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa yang lalim.
Dan itu terbukti ketika perjuangan yang dilakukan oleh Pater Rutilio Grande dan umatnya untuk memperoleh keadilan dan kemerdekaan ini sama sekali tidak memusuhi pihak manapun, termasuk pihak penindas. Mereka mengajak segenap warga untuk saling menyadari diri sebagai bagian dari umat Allah. Perjuangan yang mereka lakukan pun bukan berbekal senjata laras panjang ataupun senjata tajam, tetapi dengan persekutuan kasih yang berlandaskan doa. Ekaristi menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari waktu-waktu mereka dalam menjalani perjuangan itu. Memang perjuangan ini seolah-olah tanpa hasil, justru semakin banyak warga biasa yang menjadi korban kelaliman para penguasa. Meski demikian, suara hati nurani terus berkumandang, tegar lantang menyuarakan keadilan, kebenaran dan kasih, karena ditopang oleh penderitaan Kristus sendiri. Suatu ketika akhirnya, Uskup Oscar Romero yang pada awalnya amat konservatif dan kompromistis dengan penguasa lalim pun, mulai tergerak untuk berpihak pada rakyat yang menderita. Keberpihakan ini lebih merupakan panggilan iman atas kasih Allah yang tak henti tercurah bagi umatNya. Dan ketika ketidakadilan menjadi bahasa sehari-hari, maka iman memanggil untuk bergerak memadukan langkah di belakang salibNya sebagai perjuangan pemurnian dan penebusan dosa. Keberpihakan ini lebih mirip seperti seorang ibu yang tidak akan membeda-bedakan kasih terhadap anaknya, namun mempunyai perhatian yang lebih besar terhadap anaknya yang menderita.
Suatu ketika, Uskup Oscar Romero berkata, bahwa saat itu, Kristus pun tengah tersalib di rakyat El Savador yang menderita. Di dalam diri rakyat yang tertindas itulah Kristus tersalib bersama mereka. Maka iman memanggil untuk sejenak membasuh peluh dan darah yang mengucur dari setiap luka-lukaNya, yang kini tinggal dalam luka-luka rakyat. Keberpihakan ini pun ia ungkapkan tidak hanya dengan kata-kata, namun Uskup Oscar Romero menjadi lidah yang menyuarakan kerinduan rakyat akan keadilan dan kemerdekaan. Resiko terhadap keberpihakan itupun telah tergelar begitu jelas di depan mata yakni penderitaan, bahkan kematian. Dan akhirnya, Uskup Oscar Romero pun mengamini perjuangan sahabatnya itu dengan menjadi bagian dari laskar iman akan Kristus yang juga tersalib. Ia meninggal ditembak oleh sniper saat mempersembahkan misa bagi para suster. Dan ia pun mati sebagai pejuang iman.
Sekarang marilah kita merenungkan hidup kita. Sudahkah pilihan untuk selalu berjuang bagi keindahan hidup ini berlandaskan pada iman? Sudahkah iman menggerakkan kita untuk selalu berani berjalan di belakang salibNya? Semoga iman sungguh selalu menjadi dasar dari setiap pilihan hidup kita untuk selalu berjuang demi kebenaran. Selamat berjuang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar