Menyaksikan dan mengalami
berbagai carut marut situasi negeri ini yang terkait dengan persoalan
moral rakyatnya, hati saya tergelitik
untuk mengungkapkan sesuatu. Saya bukanlah seorang yang ahli moral ataupun
seseorang yang memiliki kualitas moral yang tinggi. Namun demikian sebagai
bagian dari bangsa ini, saya turut prihatin dengan situasi bangsa ini yang
semakin tidak menentu. Berbagai persoalan moral seperti: kasus video porno,
korupsi, konflik kepentingan berlatar belakang SARA, dan politik kotor,
kekerasan, narkoba dan berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia seakan
menjadi santapan berita yang kian hari kian biasa. Segala macam wujud budaya kematian (culture of death) tersebut
semakin hari semakin banal, dangkal dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Bahkan tayangan-tayangan televisi pun seakan penuh dengan pesan-pesan ‘kematian’
tersebut.
Sudah sejak lama, bangsa
Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang plural nan religius. Dengan Pancasila
sebagai dasar negaranya, bangsa Indonesia selalu menempatkan diri sebagai
bangsa yang ‘beriman’ karena sebagian besar rakyatnya adalah rakyat yang
beragama, yang dekat dengan hal-hal religius. Meski begitu, tetap saja
kekerasan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia masih sering
terjadi di negeri ini. Seakan dasar Negara Pancasila sekarang ini menjadi
dongeng siang bolong yang cepat sekali menguap ketika senja segera tiba dan
malam menjelang. Oleh karena seringnya peristiwa immoral itu terjadi di
sekeliling hidup rakyat Indonesia, maka segala bentuk culture of death itu
seakan menjadi sebuah bahasa umum dalam realitas hidup ini. Bahkan bisa terjadi
bahwa mereka yang tidak menggunakan bahasa itu mulai disingkirkan dan dibuang.
Virus kedangkalan imoralitas ini
melanda semua masyarakat dan segala bidang kehidupannya. Tak terkecuali di
dalam diri orang-orang atau lembaga yang justru diharapkan dapat menjadi setitik
terang di tengah kegelapan. Memang tampak di luar mereka sungguh baik dan
bertanggungjawab, namun dibalik itu, terkadang menanggalkan segala macam
nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pencitraan menjadi sebuah bahasa baru yang
harus dimiliki untuk dapat dipandang sebagai seorang yang sungguh berkualitas,
meski terkadang untuk mencapai kualitas yang sesungguhnya, bangsa ini seperti
kehilangan orientasi. Memang jika dirunut kembali, sebenarnya dari manakah
segala permasalahan ini bermula, kita akan tercengang jika akhirnya kita tahu
bahwa hati nurani sebagian besar dari kita telah tumpul, buta, atau bahkan
mati. Egosentrisme menjadi ideology baru yang lebih menakutkan dari sekedar
doktrin agama paling garis keras sekalipun. Egosentrisme ini merangsek ke
seluruh sendi peri hidup masyarakat sehingga menggeser society (masyarakat/komunitas/paguyuban) menjadi hutan rimba raya.
Kekuasaan menjadi tahta tertinggi yang memungkinkan egosentris Berjaya menjadi
pusat segalanya. Bahkan agama pun tak lagi bertaji dalam menuntun egosentrisme
ini menjadi lebih berwajah seorang sahabat yang terwujud dalam altruisme.
Egosentrisme menyulap hati nurani
menjadi budak kekuasaan, dan pencitraan mengalahkan ketulusan. Dengan demikian,
segala macam immoralitas menjadi sebuah selfdefense demi penegakan doktrin
egosentrisme. Tak ada lagi ketakutan akan dosa, sebab ketakutan terhadap dosa hanya
dipandang sebagai sebuah pemasungan atas petualangan egosentrisme. Yang ada
adalah survival for the fittest.
Sebelum aku dikalahkan oleh lainnya (the
others), aku harus mengalahkannya terlebih dahulu. Bahkan kalau perlu
memakan bangkai para korban itu tetap dilakukan demi sebuah pengibaran bendera
kemenangan egosentrisme. Komunikasi pun disulap tidak lagi adil, jujur dan
saling membebaskan, tetapi penuh persaingan dan dominasi. Itulah kitab suci
agama baru yang disebut egosentrisme. Tujuannya hanya satu: matinya hati
nurani.
Jika demikian halnya, culture of death dan chaos menjadi ruang lingkup yang
takterelakkan bagi masyarakat kita saat ini. Logika diacak-acak dan dipeti
es-kan menjadi sebuah mitos kuno yang hanya cocok untuk para filsuf berjenggot
era Yunani kuno. Sudah sedemikian mengerikankah situasi masyarakat kita ini?? Tentu
apa yang telah saya tulis tadi adalah sebuah narasi hiperbol terhadap lingkaran
setan yang saat ini tengah melingkupi bangsa ini. Persoalan demi persoalan
moralitas timbul tenggelam, tak pernah rampung. Di tengah situasi carut marut
bernada absurd ini, tentu masih ada sebuah perjuangan yang tak juga pernah
berhenti untuk selalu menjaga nyala ‘api’ hati nurani. Sekelompok orang-orang idealis
nan konsisten yang membela pluralisme, martabat manusia, dan juga keadilan
serta ketulusan masih saja berjuang. Mereka seakan tak pernah kehabisan bahan
bakar untuk selalu mendobrak egosentrisme dengan sentuhan lembut altruisme.
Meski mereka juga sadar bahwa usaha mereka tampak seperti utopis namun mereka
tak mau menyerah. Mereka menolak tunduk untuk menjadi budak egosentrisme, meski
resikonya kadang mereka menjadi tumbal bagi nyala api hati nurani.
Perjuangan inilah yang dapat
dijadikan bagian dari sebuah proses pendidikan hati nurani bagi
generasi-generasi emas bangsa ini yang tengah mengenyam indahnya masa sekolah
(pendidikan). Jangan sampai doktrin egosentrisme sebagai ideologi menancapkan
kuku dominasinya di dalam diri anak-anak polos bak lembaran putih yang masih
harus dituliskan sebuah pesan apapun. Marilah kita tulis lembaran-lembaran
putih di hati mereka itu dengan pesan damai, sebuah nilai tentang keluhuran
hati nurani (suara hati). Pesan damai itu salah satunya mungkin berbunyi bahwa
dunia ini bukan sebuah rimba raya persaingan, namun sebuah keluarga besar yang
kita ini semua adalah anak dari Sang Bapak Ibu sejati kita: Tuhan Sang Pemilik
Kehidupan. Dan sebagai saudara, itu artinya kita adalah se-darah. Maka jika ada
darah sesama kita yang tertumpah, darah kita juga tumpah. Atas tumpahnya
saudara kita itu, kita tak perlu membalas untuk menumpahkan saudara kita
lainnya, namun justru mencegah tertumpahnya darah saudara kita lainnya lagi.
Marilah kita berjuang untuk selalu menghidupkan nyala ‘api’ hati nurani. Dasar
dari itu semua adalah keadilan, kejujuran, ketulusan dan pengabdian total bagi sesama.
Saat altruisme mulai hadir di tengah egosentrisme, niscaya harapan itu akan
selalu ada. Dan itu bisa diawali dalam pendidikan anak-anak di dalam keluarga,
di lingkungan masyarakat tempat kita tinggal, di sekolah, di masjid-masjid, di
gereja-gereja, di pura serta vihara, di tempat-tempat layanan publik, dan di
fasilitas-fasilitas telekomunikasi serta media informasi. Marilah kita bangun
Indonesia mulai dari pembangunan hati nurani generasi penerusnya. Sebab bangsa
ini tidak lebih membutuhkan pembangunan material yang berasaskan
neoliberalisme, namun lebih pada pembangunan jiwa nan berkarakter serta berhati
nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar