Setiap orang yang pernah hidup di dunia ini
pasti pernah berbuat salah. Semua orang mengakuinya. Dan kesalahan itu akan
menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Oleh karena kesadaran akan kesalahan
itu pula, orang kemudian mencoba untuk tidak jatuh dalam lubang yang sama.
Orang terdorong untuk bergerak ke arah kesempurnaan. Atau dalam bahasa
spiritual, manusia selalu bergerak ke arah pencerahan. Berbagai macam cara
dilakukan untuk memperoleh pencerahan itu, atau paling tidak hidupnya tidak
lagi mudah jatuh ke dalam kesalahan. Apabila ada seseorang yang telah
mencapainya, kemudian banyak orang berbondong-bondong mengikuti agar dirinya
semakin mendekati kesempurnaan itu.
Ketika pencerahan demi pencerahan itu
terungkap, lahirlah agama yang kemudian diteguhkan dengan berbagai ajaran atau
petunjuk bagi langkah laku manusia agar sampai pada pencerahan. Orang-orang
yang terlebih dahulu memperoleh pencerahan atau mengalami pencerahan itu pun
diangkat sebagai nabi atau bahkan Tuhan. Memang demikianlah cara berpikir manusia.
Sesuatu yang berada jauh lebih tinggi dan sempurna dari dirinya akan
diperlakukan sebagai nabi atau Tuhan. Ketika
pemahaman itu muncul, lantas tersusun pula aturan-aturan yang mesti dijalani
agar manusia mampu mencapai kesempurnaan itu. Ketika aturan-aturan berlaku,
maka ada pula dogma-dogma yang baku dan tegas tentang arah ke arah
kesempurnaan. Dogma atau aturan itu berlaku secara mutlak dan pasti, sehingga barangsiapa
yang berlaku berseberangan dengan dogma atau aturan itu, dapat dipastikan pula
dia tengah berjalan menjauh dari kesempurnaan. Bahasa agama mengatakan itu
adalah dosa. Memang demikianlah manusia, lebih mudah berpikir soal hitam-putih,
benar-salah, neraka-surga, sempurna dan tidak sempurna. Dengan sendirinya,
agama atau aturan-aturan itu berdiri sebagai hakim atas tingkah laku manusia.
Bukankah begitu?
Jika demikian halnya, tidakkah agama justru
menjauhkan manusia dari pencerahan. Sebab pencerahan itu bukan soal
penghakiman, tetapi soal pemurnian. Pemurnian tetap saja menyertakan
bagian-bagian dari kesalahan atau ketidaksempurnaan. Berhadapan dengan
kesalahan, agama tidak berdiri sebagai hakim, tetapi sebagai penuntun menuju
kepada kemurnian. Pengampunan selalu ada di dalam ajaran agama, agama apapun
itu. Dan apabila dari diri manusianya sudah tidak bisa dimurnikan, bukanlah
agama yang bertindak sebagai penghukum, tetapi lebih pada diri manusia itu
sendiri yang menempatkan diri di jalur yang tidak searah dengan kesempurnaan.
Dengan demikian, sebenarnya agama tidak bisa digunakan untuk menghakimi manusia, baik
yang berada di luar agama itu atau pun mereka yang berada di dalam agama yang sama. Sebab manusia itu lebih luas, lebih unik, lebih
misterius dari agama. Bahkan para nabi dan rasul pun mendirikan agama
pertama-tama bukan demi agama, tetapi demi manusia. Jadi, bukankah agama itu
ada bagi manusia dan bukan manusia bagi agama. Semoga kita mampu untuk memahami
lebih jauh, dan tidak hanya menempatkan agama sebagai hakim yang siap
menjatuhkan hukuman kepada mereka yang bergerak menjauh dari jalur ke arah
kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar