Mungkin judul tulisan ini terlalu provokatif
dan menghakimi. Tetapi pemikiran tentang situasi diskriminatif dalam hidup
bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia ini terus mengusikku dan tak tahu
harus diungkapkan seperti apa. Memang untuk mengatakan bahwa bangsa ini masih
tinggi situasi diskriminasinya tentu memerlukan berbagai data. Sebenarnya tidak
tega juga untuk mengatakan hal itu atau menyusun satu persatu data yang
mengungkapkan adanya diskriminasi di negeri ini. Nyesek rasanya, karena
menyaksikan itu dari waktu ke waktu tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti.
Apabila hanya melontarkan penilaian, tentu juga akan sangat menyesakkan jika
tanpa disertai dengan data konkret tentang yang terjadi.
Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi.
Ambil contoh saja soal perbincangan tentang mayoritas-minoritas. Ada sebagian
yang tidak setuju jika frame mayoritas dan minoritas itu digunakan untuk
melihat situasi bangsa Indonesia. Dengan alasan bahwa kita adalah sesaudara,
sebangsa, maka tidak ada lagi itu kelompok mayoritas dan minoritas. Namun pada
prakteknya, bahkan di tingkat yang paling kecil, frame ini seringkali dipakai
untuk menentukan kebijakan-kebijakan terkait dengan hidup bersama. Hasil
akhirnya akan selalu sama, kelompok minoritas tentu paling lirih terdengar
suaranya dan akan menerima begitu saja dengan dalih toleransi dan demokrasi.
Mungkin para intelektual dan para tokoh yang telah sadar tentang hidup bersama
yang adil tanpa frame minoritas mayoritas bisa terus mengumandangkan tentang
keadilan, tentang toleransi, tapi realitas yang ada, itu semua hanya tataran
idea, wacana, konsep. Seringkali pula masyarakat tidak suka konsep yang diluar
kenyataan dan diluar adat kebiasaan. Maka tetap saja, frame mayoritas minoritas
ini seakan mengendap di alam bawah sadar masyarakat kita. Dan tentu saja,
kelompok minoritas semakin sembunyi karena merasa berhadapan dengan tembok
tinggi yang tak mungkin bisa ditembus atau dilewati.
Itu baru soal mayoritas minoritas, masih ada
soal lain lagi, seperti soal kebijakan pemerintah, kepentingan bisnis, keadilan
gender, perlindungan anak, hukum yang bisa dibeli, politik dinasti, dsb.
Indonesia ini memang negeri toleran. Dengan Pancasila sebagai dasar negara dan
juga Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan utamanya, selama ini, keanekaragaman
suku, bahasa, agama, ras dapat terjalin dengan baik. Tapi apa yang baik itu
belum tentu adil. Keadilan yang selama ini terjadi lebih karena ada pihak yang
bersedia menjadi pendengar dan obyek penerima. Atau paling tidak, membuat arena
sendiri yang tidak langsung bersinggungan dengan kelompok yang memiliki
wewenang, kekuasaan, ataupun kelompok mayoritas. Sebab apabila menerapkan
keadilan yang benar-benar fair, selalu saja ada gesekan yang lalu menimbulkan
gangguan atas stabilitas serta keamanan bangsa. Ibaratnya, kelompok yang lemah
diberi obat penenang agar tidak membikin kegaduhan, demi kepentingan keamanan
dan keharmonisan, meski sebenarnya dari frame keadilan, belum benar-benar fair.
Masih ada satu lagi persoalan tentang
diskriminasi yang membuatku terkadang nyesek karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Hal ini dialami oleh mereka kelompok minoritas dalam negeri ini, yakni soal
pengakuan pernikahan. Bagi orang-orang dari kelompok minoritas, perkawinan
harus dicatatkan dicatatan sipil, setelah menikah secara agama. Tetapi bagi
kelompok mayoritas, hal ini tidak perlu dilakukan, karena secara otomatis,
hukum agama mayoritas menyatu dengan hukum pencatatan sipil negara. Dan itu
berlangsung bertahun-tahun. Kenapa negara yang dasarnya Pancasila tetap
menyisakan pembedaan ini dari tahun ke tahun? Kenapa agama dan juga situasi
mayoritas serta minoritas membuat hak sipil serta dinamika hidup sebagai
warganegara dibedakan sedemikian rupa? Lalu jika ada yang mempersoalkannya,
muncul ungkapan bahwa hal itu sudah sangat baik untuk kelompok minoritas, tetap
masih ada perhatian pemerintah untuk mengakuinya meski dengan “jalan yang tidak
biasa”. Di Indonesia, yang sering dikatakan sebagai negara dengan tingkat
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sedemikian tinggi, hal-hal itu masih
saja terjadi. Tapi itulah kenyataannya. Diskriminasi itu masih ditemukan di
negeri yang amat indah ini.
Semoga, cita-cita luhur para pendiri bangsa ini
dapat dilanjutkan oleh anak cucunya, dan tidak justru terbelenggu oleh piciknya
kenyamanan oleh dogma-dogma kelompok mayoritas, mereka yang punya modal
kekuasaan berlimpah, dan mitos-mitos usang yang membungkus ketidakadilan.
Indonesia adalah sebuah keluarga besar, apakah kita tidak malu jika dengan
saudara sendiri kita justru berlaku tidak adil dan menganggap saudara sendiri
sebagai “ALIEN”??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar