Paulus:
Paulus sesudah pertobatannya di jalan menuju ke Damsyik (Kis 9:1-19a) telah membuka jalan pewartaan Injil terhadap orang-orang non-Yahudi. Secara khusus, Paulus mewartakan Kristus di lingkungan masyarakat dengan budaya Yunani Hellenis. Hal ini ditunjukkan dengan pembaruan yang dilakukan Paulus mengenai persoalan sunat dan tidak sunat di kalangan jemaat (Kis 15: 1-21). Surat-suratnya kepada Jemaat yang dilayaninya juga menampakkan bagaimana oleh Kristus, tidak lagi ada orang Yahudi atau Yunani tetapi orang-orang yang telah dipersatukan Allah untuk menerima keselamatan karena Kristus (1Kor 12: 12-31). Visi dari pewartaan Injil oleh Paulus ini digerakkan untuk mewartakan keselamatan Yesus Kristus bagi semua orang. Dengan demikian, Injil bermakna bagi manusia universal, setiap manusia yang ada di muka bumi, apapun latar belakang budaya dan status sosialnya.
Kekhasan lain pewartaan Injil dari Paulus adalah pembangunan komunitas jemaat yang selalu dikunjungi dan dibimbing melalui pandangan-pandangan teologis, refleksi rohani, dan juga persoalan-persoalan manusiawi. Dalam surat-suratnya kepada jemaat-jemaat tersebut, Paulus mencoba menyelami persoalan hidup harian dari jemaatnya dan kemudian direfleksikan dalam terang Injil. Apa yang ditulis oleh Paulus dalam surat-suratnya pun tidak jauh dari pengalaman rohani dan manusiawinya dalam mewartakan Injil bagi setiap orang dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, Paulus mewartakan Injil dengan melihat konteks sosial jemaat yang dilayaninya.
Dalam mewartakan Injil, Paulus berusaha masuk ke dalam budaya setempat dengan menyelami konteks khas masyarakatnya. Mulai dari sisi religiositas (misalnya dalam suratnya yang mengatakan tentang Allah yang tak dikenal), pandangan hidup (menyelami arus budaya filsafat Yunani, termasuk dalam hal pola pikir) hingga sosial politik (bersentuhan langsung dengan Penguasa Roma), ekonomis (dalam hal mata pencaharian dan status sosial jemaatnya).
Van Lith:
Sama dengan Paulus, Pater van Lith pun mengadakan dialog kehidupan dengan masyarakat Jawa dalam mewartakan Injil. Beliau mulai mengenal karakter, pandangan hidup, seni budaya, pergulatan dan cita-cita orang Jawa. Bagi Pater van Lith, pewartaan Injil tidak hanya mengarah pada pembaptisan secara ritual saja melainkan mengarah pada internalisasi nilai-nilai Injili bagi hidup masyarakat Jawa. Untuk itu, beliau berjuang untuk melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Injil yang menekankan kemandirian iman umat terhadap Kristus.Kekhasan model pewartaan Injil dari Pater van Lith di tanah Jawa adalah menggunakan metode pendidikan generasi muda. Pendidikan kaum muda ini bersentuhan langsung dengan karakter masyarakat Jawa yang memiliki keuletan, kegigihan dan semangat belajar yang cukup tinggi. Meski pada awalnya bersifat pendidikan pada umumnya, namun nilai-nilai Kristiani menjadi dasar pendidikan model van Lith. Untuk mengenali karakter khas masyarakat Jawa, beliau mengadakan dialog kehidupan, dialog karya, dialog iman dan dialog karakter sosial.
Pater van Lith dalam mewartakan Injil di tanah Jawa juga mengadakan dialog budaya, seni, sosial kemasyarakatan, dan dialog dengan situasi politik imperialisme Belanda terhadap Hindia. Perjuangan beliau untuk menghapus segala bentuk penjajahan di bumi Indonesia ini adalah wujud dari komitmen untuk berdialog dengan situasi politik yang tengah bergolak waktu itu. Dialog lain yang tak kalah penting dilakukan oleh beliau adalah dialog dengan agama Islam (khususnya tokoh-tokoh dan umat Islam pada umumnya yang telah terlebih dahulu mengakar di masyarakat Jawa). Realitas sosial tersebut tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam usaha mewartakan Injil secara lebih kontekstual. Untuk itu, beberapa proses inkulturasi Injil terjadi dalam misi van Lith di tanah Jawa ini, seperti misalnya: penterjemahan teks doa Bapa Kami, penggunaan gamelan dalam liturgi dan juga penterjemahan teks-teks iman Katolik lainnya ke dalam bahasa Jawa yang sesuai dengan karakter khas masyarakat Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar