Pada tanggal 13 September 2011, saya mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Saat itu saya akan menghadiri pertemuan pastor pembantu di Panti Semedi Klaten. Kecelakaan itu terjadi di Klaten ketika tempat yang hendak saya tuju tinggal beberapa kilo meter lagi.Sebelumnya saya juga pernah mengalami kecelakaan pada tanggal 17 Agustus 2009 yang sempat membuat saya opname karena tulang bahu kiri saya patah dan harus disambung dengan pen. Agaknya dari dua peristiwa ini, Tuhan mengajari saya apa arti bertobat dan juga rendah hati di hadapanNya, salah satunya dengan sikap hati-hati serta selalu memperhatikan orang lain saat di jalan raya.
Hidup ini ibarat mengendarai kendaraan di jalan raya ketika kita sedang menuju ke suatu tempat tertentu tujuan kita. Di jalan kita berjumpa dengan banyak orang dengan kendaraan macam-macam pula. Mereka juga memiliki fungsi ataupun tugas yang macem-macem pula. Di samping itu gaya berkendara mereka pun macem-macem, ada yang kenceng ada yang pelan-pelan.
Jalan raya ibarat dunia ini yang tentu bukan milik kita sendiri. Kita menggunakan jalan itu secara bersama-sama. Dan gaya berkendara kita juga terkait dengan orang lain. Kemarin saya mengakui, bahwa saya belum mampu benar-benar untuk bertobat dan rendah hati setelah peristiwa kejatuhan pertama. Saya merasa memiliki satu-satunya jalan itu, dan merasa gaya berkendara saya paling benar, saya merasa sudah ahli dan sudah canggih dalam menggeber motor dengan kecepatan tinggi, tanpa pernah berpikir bahwa itu bisa membahayakan orang lain. Dan terbuktilah bahwa saya terlalu jumawa. Apalagi ketika saya terlanggar oleh seorang cewek dengan mio (matic) yang dikendarai dengan cepat. Darah muda saya cepat bergejolak dan ingin melampaui kecepatan dari cewek itu. Dan karena saya tetap tidak rendah hati serta belajar dari pengalaman jatuh yang pertama: jatuhlah akhirnya saya…
Tuhan mengajak kita untuk menghayati dan akhirnya meresapkan bahwa pertobatan itu pintu keselamatan. Kristus bersabda dengan jelas: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan pelacur akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Dan meskipun melihatnya, kamu tetap tidak menyesal, dan kamu tidak juga percaya kepadanya." Matius (21:28-32)
Kristus mengajak kita untuk selalu memiliki semangat bertobat: semangat belajar selalu karena merasa diri tidak lebih sempurna dari orang lain. Dengan demikian, kita bisa menghargai orang lain, dan berjalan seiring dengan mereka, tidak selalu merasa di atas mereka, tetapi berjalan bersama.
Sama seperti di jalan raya, dalam hidup ini, ketika kita merasa paling benar dan tidak perlu belajar, kita justru sering jatuh di dalam kesalahan-kesalahan. Namun kadang kita juga masih punya ‘nafsu’ untuk mengalahkan pihak lain. Entah karena gengsi, atau karena demi kemuliaan diri sendiri, kita lantas menjadi sombong bahwa diri kita ini sajalah yang paling benar. Jika demikian, kita ini seperti Anak Sulung yang mengatakan ya namun tidak melakukannya, sebab orientasi perbuatan itu demi kesenangan diri sendiri. Dengan masih berpusat pada kesombongan diri sendiri, kita sering menjdi pendusta: perkataan bibir dengan perbuatan seringkali tidak klop. Nggah nggih ra kepanggih. Mendengar dari kuping kiri keluar kuping kanan, tidak sungguh-sungguh mendengar. Sama seperti saya ketika tidak mampu belajar dari pengalaman jatuh yang pertama. Ketika selalu diingatkan untuk hati-hati, saya mengatakan ya namun ketika di jalan…saya tidak benar-benar melaksanakannya….Jadinya ya Nabrak, jatuh, sakit, celaka.
Namun Tuhan tidak membiarkan kita seperti itu, Ia mengajak kita untuk bertobat. Merendahkan diri dihadapanNya dengan selalu mau belajar dari sesama, dari siapapun juga, bahkan dari pengalaman kejatuhan kita. Sikap seperti ini membutuhkan kerendahan hati yang tidak mudah. Kita hendaknya meneladan Yesus sebagaimana diungkapkan oleh St. Paulus: Dalam hidupmu bersama hendaklah kamu bersikap seperti Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Sebaliknya Ia telah mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib. Filipi (2:1-11)
Dengan demikian, kita dapat selalu hidup dalam kebenaran dan mulai bersikap mengandalkan Allah yang kan menyempurnakan kita. Kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan termasuk di dalam bilangan orang yang dibenarkan. Marilah kita bertobat. Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar