Suatu ketika, dalam sebuah obrolan, seorang
sahabat berkata bahwa manusia itu juga bagian dari hewan. Manusia terikat dalam
kebutuhan material dan psikisnya untuk memperoleh kenyamanan serta kelangsungan
hidupnya. Ketika manusia didorong oleh kebutuhan itu, maka ia cenderung melihat
dunia ini sebagai arena untuk berlomba dalam memenuhi kebutuhannya, tak peduli
apakah orang lain pun akan berlomba demi kebutuhan yang sama. Dan memanglah,
dunia ini lalu menjadi seperti hutan rimba yang menerapkan prinsip rantai
makanan. Pihak pemenang adalah mereka yang mampu memakan lebih banyak
dibandingkan yang lainnya. Demikianlah pemikiran sang sahabat itu.
Aku tidak langsung menyalahkan ataupun
membenarkan pemikiran itu. Sebab aku pun yakin, bahwa selain manusia memiliki
kebutuhan-kebutuhan material dan psikis dasar itu, manusia tetaplah makhluk
unik yang dilengkapi juga dengan akal budi serta hati. Jika ingin menelusuri
lebih lanjut tentang keunikan manusia dari sisi akal budi dan hati, tentu
kuliah filsafat manusia pantas untuk kembali dibuka diktat-diktatnya. Namun aku
tidak akan tenggelam lagi dalam pergulatan tentang kenyataan
multidimensionalnya manusia dari sisi filsafat manusia. Aku tidak akan
memungkiri kenyataan bahwa manusia adalah makhluk multidimensi. Tapi aku juga
tidak menyalahkan ungkapan dari sahabatku itu. Jika melihat lebih jauh,
ungkapan sahabatku itu justru seperti suara kenabian untuk menyadari lebih
lanjut tentang salah satu dimensi manusia, yakni sisi kehewanan manusia.
Hewan tidak dilengkapi dengan kemampuan untuk
berpikir rasional dan berkehendak dari hati, karena hewan hanya disebut
memiliki naluri saja. Naluri yang dimiliki oleh hewan adalah bertahan hidup
dengan terhindar dari lingkaran rantai makanan. Naluri bertahan hidup ini kadang
dilakukan dengan memakan hewan lain yang menjadi bagian dari dunia ini. Pilihannya
adalah: aku dimakan atau memakan. Selalu saja begitu. Bagi mereka yang dimakan,
berarti ia akan mati dan lenyap dari arena, sementara bagi yang memakan, akan
bertahan hidup dan mampu memenuhi segala kebutuhannya untuk bertahan hidup.
Lalu jika situasi ini ditempatkan pada hidup manusia sekarang ini, apakah bisa
dipahami secara rasional?
Setelah mengalami permenungan singkat yang
tidak terlalu rumit, aku lebih condong membenarkan pemikiran sahabatku tadi.
Aku setuju dengan pernyataannya, bahwa manusia ini bagian dari hewan, dan
merekalah yang menempati posisi tertinggi dari prinsip/siklus rantai makanan. Ketika
mereka berada dalam posisi tertinggi, maka tidak ada lagi yang mampu
mengalahkannya. Semua hewan dan makhluk di dunia ini tidak akan mampu
mengalahkan manusia. Tetapi ketika mereka berjumpa satu sama lain sebagai tuan
atas dunia, lantas mereka dihadapkan pada pertempuran untuk menjadi alpha bagi
semua. Kecenderungan ini pun seolah menjadi alam bawah sadar dari setiap
dinamika relasi antar manusia. Sistem relasi manusia pun secara samar namun
pasti, didasari oleh adalah pertempuran ini. Dunia ini tetaplah dipahami
sebagai medan pertempuran. Apabila sejarah telah mencatat terjadinya
perang-perang dahsyat, ini juga dikarenakan oleh adanya dorongan dari
kecenderungan untuk saling menguasai dan menempati posisi tertinggi. Jika tidak
disadari, maka dunia ini akan terpuruk hingga dasar karena tak mampu lagi
menampung pertempuran.
Marilah kita sejenak melihat lebih jauh, dimana
pertempuran sedang terjadi dimana-mana di dunia ini. Ambil contoh saja: dalam
sistem perdagangan, kepentingan bisnis selalu berorientasi pada profit atau
keuntungan modal demi menguasai pasar. Inilah gambaran situasi sekarang ini
dengan adanya perang dagang, mulai dari skala kecil hingga skala global. Perang
dagang ini kadang tanpa menyertakan logika rasional serta daya nurani manusia
yang timbul dari hati. Setiap detik, terjadi perang iklan demi penguasaan
pasar. Itu contoh adanya prinsip rantai makanan dari segi kepentingan bisnis
dalam dunia perdagangan. Masih ada contoh lain adanya pertempuran ini dalam
bidang-bidang lainnya. Sebut saja misalnya dalam segi pertentangan ajaran
kebenaran yang dibawa oleh pranata sosial bernama agama. Masing-masing agama
dengan ajaran saling mengklaim bahwa ajaran agama tertentu lebih benar dan
lebih menyelamatkan dibanding agama lain. Pertempuran pun terjadi, setiap orang
yang yakin dengan ajaran agama tertentu tidak segan untuk memandang pihak lain
yang tidak menjadi bagian dari agamanya sebagai rival yang harus ditaklukan.
Logika rantai makanan kembali mengemuka, karena pertempuran itu haruslah
dimenangkan. Aku harus memakan pihak lain atau aku akan dimakan; aku harus
mempertobatkan pihak lain atau aku akan disesatkan. Demikianlah logika
perhewanan manusia yang tengah merasuk dalam alam bawah sadar manusia, meski
diluarnya dibungkus oleh dogma paling suci sekalipun. Senjata untuk memakan pihak
lain bukan lagi taring, gigi, dan cakar, tetapi dogma-dogma yang diyakini
sebagai kebenaran.
Tentu masih ada lagi contoh berlakunya prinsip
rantai makanan ini dalam dinamika relasi antar manusia. Namun yang menjadi
kegelisahanku sebenarnya adalah ketika prinsip itu mulai merasuk dalam relasi
keluarga dan persahabatan. Tak jarang, antar sesama anggota keluarga, suami dan
istri, terjadi saling memakan dan saling mengalahkan. Persahabatan yang adalah
relasi unik dari manusia seringkali terlukai oleh naluri kehewanan ini. Ketika
ditanya apa masalahnya, muaranya selalu pada hasrat untuk menjadi penguasa,
atas segala-galanya, baik secara material maupun psikis. Tidak jarang kekerasan
terjadi, baik secara fisik maupun verbal, terhadap sesama saudara dan sahabat.
Lalu hendak kemanakah semuanya itu berujung? Apakah memang manusia ini
diciptakan untuk saling memakan, saling menguasai, dan saling mengalahkan?
Bahkan hiburan yang berdasarkan pada prinsip saling mengalahkan ini terbukti
sebagai hiburan yang banyak sekali diminati oleh manusia. Berbagai macam
pertandingan olah raga terbukti banyak diminati ketika ada drama tentang menang
dan kalah. Kisah-kisah sinetron dan film selalu saja ada tokoh protagonis dan
antagonis, dan sejarah kejayaan manusia sering disertai dengan lumuran, darah
dan air mata. Selalu saja ada pemenang dan pecundang, si pemakan dan korban,
pahlawan dan penjahat. Itukah sisi “kehewanan” manusia? Kesimpulanku tetap
sama, aku tak akan membenarkan serta menyalahkan ungkapan itu. Bagiku, dunia
ini adalah sebuah keluarga besar, dan bukan sebuah medan pertempuran. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar