Sedih benar
menyaksikan terjadinya kerusuhan pasca pengumuman hasil Pemilu Capres dan
Cawapres tahun 2019. Pada tanggal 22 Mei 2019, di beberapa tempat di Ibukota
Jakarta terjadi kerusuhan antara massa yang mendemo hasil pemilu berhadapan
dengan pihak Kepolisian yang mengamankan dan menjaga kantor Bawaslu dan KPU.
Kerusuhan itu terjadi ketika massa mulai melempari para petugas kepolisian
dengan batu, bom molotov dan juga petasan. Pada tanggal 22 Mei 2019, sejak dini
hari, beberapa tempat di Jakarta berubah seperti medan perang. Lemparan batu,
petasan dan bom molotov dari para pendemo dibalas dengan tembakan water canon
dan gas air mata dari petugas kepolisian. Beberapa mobil yang terparkir di sekitar
tempat demo pun tak luput dari pembakaran oleh para pendemo.
Kenapa
kerusuhan terjadi? Bukankah para pendemo itu juga merupakan anak bangsa
Indonesia yang dasarnya adalah Pancasila dan hukum yang adil. Jika di negara
ini Pancasila serta hukum menjadi dasar dari hidup berbangsa, kenapa kekerasan
tetap menjadi pilihan untuk menyampaikan aspirasinya? Bukankah itu justru
tindakan yang mencederai dasar negara dan juga hukum di Indonesia? Kenapa
orang-orang yang berdemo itu berani mempertaruhkan nyawanya untuk melawan
petugas dengan memaksakan diri melalui tindakan kekerasan? Apakah dengan
melakukan tindakan kerusuhan lantas pemerintah yang sah dan juga keputusan KPU
serta Bawaslu dapat dianulir? Apakah negara Indonesia ini berdasarkan hukum
rimba yang selalu meminta tumbal nyawa bagi setiap pergantian rezim
penguasa/pemerintahannya?
Namun
dibalik kesedihan itu, kita patut bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada
pemerintah yang dengan sigap mengamankan situasi. TNI dan Polri terbukti kompak
dalam mengamankan peristiwa kerusuhan itu sehingga tidak memakan korban yang
lebih banyak. Selain itu, pernyataan dari pihak capres dan cawapres yang
dinyatakan kalah dalam pemilu bahwa akan menempuh jalur hukum untuk memprotes
hasil pemilu juga turut meredam situasi. Namun apakah demo yang terjadi pada
tanggal 22 Mei 2019 itu hanya karena memprotes hasil pemilu?
Pertanyaan
ini susah untuk dijawab karena akhirnya Polisi menemukan bahwa ternyata para
perusuh yang ikut memicu kerusuhan itu merupakan orang-orang suruhan. Mereka
dibayar dan dipersiapkan. Selain itu, ada alasan lain selain memprotes hasil
pemilu yakni mereka merasa bahwa demo itu adalah perjuangan jihad. Jihad macam
manakah? Semuanya masih serba samar, tetapi mendengar penuturan dari bapak
seorang pendemo yang meninggal bahwa anaknya mati syahid, sungguh miris
sebenarnya. Kenapa doktrin tentang mati syahid menjadi begitu konyol ketika
jalan kekerasan yang dipilih. Bahkan dengan mengorbankan diri untuk membela
sesuatu yang tidak jelas.
Para
pendemo yang turun ke jalan melawan pihak kepolisian ini adalah orang-orang
sederhana. Mereka melakukan itu demi mendapatkan rupiah atau karena didorong
oleh keyakinan tentang mati syahid yang
telah dikumandangkan oleh para bos nya. Para bos itu bisa menggerakkan mereka
karena mereka memiliki duit (uang) untuk membayar mereka dan juga memiliki
doktrin tentang mati syahid. Tetapi apakah para bos itu ikut turun ke jalan dan
berjuang? TIDAK. Mereka semua duduk diam di rumah, menyaksikan para pionnya
bertumbangan diterjang kekerasan yang dibuat mereka sendiri. Bahkan pihak
kepolisian sendiri menegaskan bahwa mereka tidak pernah menggunakan peluru
tajam, karena pendemo itu merupakan warga negara yang dijamin haknya untuk
menyampaikan aspirasi. Namun jika jalan kekerasan dipilih, maka kekerasan itu
sendiri yang akan memakan korban dari para pelakunya. Dan ketika akhirnya para
perusuh itu berhasil ditangkap oleh petugas kepolisian, mereka ditetapkan sebagai
tersangka seturut hukum yang berlaku di negeri ini. Meski sebenarnya, aku
merasa kasihan sungguh dengan orang-orang itu. Mereka hanyalah pion yang
digerakkan oleh para bos. Mereka tidak layak untuk dihukum.
Harapannya,
pemerintah segera bisa menguak dalang dari kerusuhan itu yang sebenarnya sangat
membahayakan kehidupan berbangsa kita. Sebab hasutan oleh doktrin mati syahid
yang konyol serta membayar orang untuk melakukan kekerasan sungguh mengancam
dasar negara dan hukum kita. Para pendemo yang akhirnya tertangkap tersebut
jangan dihukum, tetapi diberi pemahaman baru supaya tidak mudah terhasut serta
mau dibayar untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan dasar negara dan
hukum. Pihak yang harusnya dihukum adalah mereka para bos yang telah menghasut
mereka serta membayar mereka. Siapakah itu? Tentu kita semua sebenarnya tahu,
sebab di Indonesia ini semuanya serba terbuka. Ketika agama sudah berkolaborasi
dengan kepentingan politik, maka agama itu mulai mengalami pembusukan. Dan
itulah yang sebenarnya terjadi, maka orang dengan mudah menyatakan akan mati
syahid meski yang dibuat justru bertentangan dengan nilai sejati agamanya. Ada
hal yang harus segera diatasi bagi bangsa ini yakni meletakkan kembali
Pancasila ke tempat sejatinya dalam setiap sanubari rakyat bangsa ini. Agama
bukanlah sebuah alat untuk meraih kekuasaan tetapi sebagai penuntun kehidupan.
Dan tentu saja tidak ada agama di dunia ini yang mengajak umatnya untuk
menggunakan kekerasan dalam meraih kekuasaan.
Semoga
peristiwa kerusuhan tanggal 22 Mei 2019 menjadi pembelajaran kita bersama
sebagai bangsa bahwa jihad sebenarnya adalah perjuangan berdasarkan Pancasila,
berdasarkan hukum yang adil, bukan karena hasutan doktrin irasional yang
mengijinkan kekerasan, ataupun membayar orang untuk melakukan kekerasan demi
merebut kekuasaan. Semoga peristiwa tanggal 22 Mei 2019 juga menyadarkan para
bos untuk tidak lagi memperlakukan warganya hanya sekedar pion yang pantas
untuk dikorbankan demi melenggangkan langkah mereka menguasai negeri ini. Dan
semoga peristiwa 22 Mei 2019 ini menjadi pembelajaran bagi kita untuk semakin
memahami kebenaran sejati tanpa harus ada jatuh korban lagi. Semoga mereka yang
menjadi korban mendapatkan tempat yang sesuai dengan kasih Tuhan maha pengampun
dan para bos itu berani mengakui diri secara ksatria sebagai pihak yang
bertanggung jawab. Semoga peristiwa 22 Mei 2019 semakin menegaskan bahwa Pancasila benar-benar sakti, sebagai jalan jihad bagi setiap agama dan kepercayaan yang tinggal di negeri ini, dan bukan dengan menggantikannya. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar