Pernah terlontar dari seorang Karl
Marx, filsuf kebangsaan Jerman tentang agama yang disebutnya sebagai opium bagi
masyarakat. Ia menulis gagasannya itu dalam sebuah tulisan berjudul: “A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right”. Ia menulis karyanya ini pada
tahun 1843. Konteks tulisan Karl Marx ini adalah sebuah introduksi untuk sebuah
buku kecil yang mengkritisi Filsuf Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang menulis
Elements of The Philosophy of Right pada tahun 1820. Tulisan Marx ini awalnya
tidak terkenal karena tidak diterbitkan hingga setelah kematiannya. Tulisan itu
diterbitkan dalam sebuah jurnal yang hanya dicetak sebanyak 1000 salinan saja.
Kutipan ini mulai terkenal setelah pemikiran Marx banyak diikuti pada sekitar
tahun 1930-an.
Perlu dilihat lebih jauh, bahwa
kutipan terkenal dari Karl Marx ini lebih sering diambil secara sepotong-potong
tanpa menyertakan keseluruhannya. Dalam tulisannya tentang agama sebagai opium
masyarakat, Marx sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa agama sebagai
sebuah hal yang membuat manusia mengalami ketergantungan semacam candu, tetapi
lebih melihat sebagai sebuah cara untuk melepaskan diri dari rasa sakit dan
penderitaan sebagaimana cara kerja opium. Kutipan Marx ini secara lengkap
berbunyi demikian: “
The
foundation of irreligious criticism is: Man makes religion, religion does not
make man. Religion is, indeed, the self-consciousness and self-esteem of man
who has either not yet won through to himself, or has already lost himself
again. But man is no abstract being squatting outside the world. Man is the
world of man – state, society. This state and this society produce religion,
which is an inverted consciousness of the world, because they are an inverted
world. Religion is the general theory of this world, its encyclopaedic
compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneur, its
enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, and its universal basis
of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human
essence since the human essence has not acquired any true reality. The struggle
against religion is, therefore, indirectly the struggle against that world
whose spiritual aroma is religion.
Religious
suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a
protest against real suffering. Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the
soul of soulless conditions. It is the opium of the people.
The abolition
of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their
real happiness. To call on them to give up their illusions about their
condition is to call on them to give up a condition that requires illusions.
The criticism of religion is, therefore, in embryo, the criticism of that vale
of tears of which religion is the halo.
Dalam tulisan itu, menurut Marx, Agama adalah desah napas
keluhan (sigh) dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati,
jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah opium bagi masyarakat. Agama dipahami sebagai bagian dari usaha
manusia untuk menemukan kebahagiaan di tengah situasi dunia yang penuh dengan
penderitaan. Justru sebenarnya inilah kritik Marx terhadap agama yang seakan
membuat manusia tidak berani berhadapan dengan realitas hidupnya. Dalam arti
tertentu, opium/candu yang dimaksud oleh Marx bukanlah realitas agama yang
membuat orang kecanduan atau ketergantungan, tetapi lebih sebagai bentuk
pelarian untuk menemukan sebuah ilusi “kesempurnaan” di tengah dunia yang tidak
sempurna ini. Mungkin maksud Marx menulis pernyataan itu adalah sebagai kritik
atas posisi agama yang ditempatkan sebagai jalan pintas manusia untuk mengatasi
realitas ketidaksempurnaannya.
Atau dengan kata lain, selama ini agama
diciptakan untuk memberikan “tempat persembunyian yang nyaman” bagi manusia
yang seharusnya berhadapan dengan realitas dunia yang penuh perjuangan ini.
Dengan demikian, agama membuat daya juang seseorang menjadi lemah atas
perjuangan kemanusiaannya. Berhadapan dengan rimba raya ketidakpastian dunia
ini, manusia merasa menemukan kepastiannya melalui agama, dan itu menurut Marx
hanyalah sebuah ilusi. Sama seperti kita mengkonsumsi opium untuk menghilangkan
rasa sakit dan penderitaan yang keberadaannya sungguh-sungguh nyata. Opium
memang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan, namun itu bersifat ilusi dan
sementara
Jadi, menurutku, kritik Marx terhadap
agama tidak ditujukan secara langsung tentang eksistensi agama, tetapi soal
posisi agama. Kritik Marx tidaklah mempertanyakan tentang realitas agama tetapi
soal fungsi agama yang lebih sebagai candu daripada sebagai sebuah jiwa dari perjuangan ke arah kesempurnaan
dunia.
Bagaimana menurutmu?
Sungguh menarik untuk kembali menggali
pemikiran Karl Marx tentang agama yang disebutnya sebagai candu masyarakat.
Tidakkah itu memang benar-benar nyata? Atau kata-kata Marx ini sekedar ilusinya
karena candu itu sudah sedemikian memberangus kesadaran manusia atas dirinya di
tengah dunia ini? Jika kita melihat secara global tentang kisah-kisah agama
hingga zaman ini, tidakkah kita melihat kritik Marx terhadap agama ini masih
relevan?
Memang agama-agama berkembang pesat
hingga saat ini, tetapi keadilan apakah berkembang pesat? Ketika teknologi
melaju secepat pesawat supersonic dalam membuka tabir keunikan manusia, apakah
agama turut berkembang sebagai bagian dari perjuangan itu? Seringkali yang
terjadi justru sebaliknya, kemanusiaan seringkali dihambat oleh agama karena
perubahan ke arah eksistensi manusia yang begitu unik dan menakjubkan melalui
sains dan teknologi menempatkan manusia berhadapan langsung dengan situasi
penderitaan serta kesendirian. Manusia lebih suka berada dalam zona nyaman dan
pasti sebagaimana ditawarkan dalam agama. Situasi ini persis seperti seorang
yang lebih suka memandang agama seperti narkoba yang memberikan efek nyaman, energi
yang pasti, daripada memandang agama sebagai daya alami manusia yang
memungkinkannya untuk berada dalam ketidakpastian, penuh perjuangan, dan
berhadapan langsung dengan ketidakberdayaan.
Ketika sains dan teknologi berevolusi maju
menampakkan pancaran keunikan manusia tanpa apologi, agama justru sering
membuat manusia lebih banyak protes dan menghakimi proses evolusi itu dengan
dalil-dalilnya yang bernada apologi? Lalu apa yang sebenarnya dibela agama
dengan dalil-dalilnya itu? Lalu kebenaran semacam apakah yang ditawarkan oleh
agama ketika masing-masing mengklaim sebagai jalan lurus kepada kebahagiaan
lalu menafikan lainnya, termasuk rasionalitas manusia?
Tidakkah sebenarnya agama berjalan
seiring dengan rasionalitas? Tidakkah agama sebenarnya mengasah jiwa manusia
hingga sampai kepada realitas kemanusiaannya yang paling sejati? Tidakkah agama
sebenarnya berperan sebagai penunjuk jalan manusia untuk berani berhadapan
dengan realitas sebagai manusia di tengah dunia. Tidakkah agama adalah sarana
untuk memahami evolusi ke arah kemanusiaan yang sebenarnya? Tidakkah agama
menuntun manusia untuk tidak menjadi pecundang dalam hidup ini, yang berani
dengan fair berhadapan dengan segala kemajuan dan keprihatinannya?
Semoga kritik Marx ini membuat kita
bermenung sejenak, supaya kita tidak mabuk agama, tidak menempatkan agama
sebagai opium yang ilutif, sehingga kemanusiaan kita benar-benar mengalami
kemerdekaan. Mungkin Marx berpesan: “sebelum jadi manusia beragama yang
sempurna, jadilah manusia yang benar-benar manusia terlebih dahulu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar