Di
Indonesia, agama menjadi salah satu status sosial yang melekat erat dalam
setiap diri warganya. Hampir setiap warga negara di Indonesia menganut agama
tertentu, hingga di Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya dicantumkan tentang agama si
pemiliknya. Meski dalam Pancasila sebagai dasar negara hanya disebutkan dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa, namun agama tetap mendapatkan tempat yang begitu
istimewa. Dengan memiliki identitas agama tertentu, maka setiap orang tergabung
dalam sebuah kelompok tertentu yang juga memiliki identitas yang sama. Dengan
memiliki agama, orang tidak akan merasa sendirian di negeri ini. Mungkin karena
manusia Indonesia ini merasa harus sama dengan yang lainnya, ia tetap memilih agama
tertentu untuk menjadi tempatnya berlindung agar tidak sendirian. Manusia
Indonesia tetap takut sendirian, entah ia bergabung dalam agama mayoritas
maupun minoritas. Agama menjadi isu sosial yang seringkali melanggar area
privat seseorang yang benar-benar merdeka.
Lalu
dimanakah tempatnya orang-orang Indonesia yang tidak beragama atau tidak menganut
keyakinan religius tertentu? Apakah mereka patut untuk disingkirkan dan berada
dalam kegamangan identitas sebagai warga negara? Apakah mereka tidak punya
tempat berlindung yang mampu menyelamatkan jiwa baik di dunia maupun akhirat?
Entahlah. Tapi seringkali orang-orang seperti itu hampir tidak pernah didengar adanya
di negara ini. Apalagi mereka yang jelas-jelas atheis, bakal tidak dianggap ada
di negeri ini.
Lalu apakah
sebenarnya motivasi orang-orang Indonesia ini beragama? Apakah mereka
benar-benar menyakini bahwa dengan menganut agama tertentu, hidupnya bakal
selamat di dunia maupun di akhirat? Mungkin orang Indonesia ini beragama karena
mewarisi dari para pendahulunya yang telah lebih dahulu menganut agama
tertentu. Pewarisan ini mengajak orang-orang yang mewarisinya terus meyakini
tentang kebenaran di dalam agama, dan berusaha mempertobatkan orang-orang lain
yang belum yakin dengan agama tertentu. Ketika itu terjadi, soal keyakinan dan
kebenaran untuk menganut suatu agama tertentu bukan lagi menjadi hak bebas dari
masing-masing orang tetapi menjadi sebuah status sosial dan identitas sosial.
Jika s udah demikian, maka perlulah untuk menandai orang-orang itu dengan
identitas agama tertentu. Padahal, soal keyakinan agama sebenarnya adalah
menjadi hak bebas dan privat dari masing-masing orang, apakah ia mau beragama
atau tidak, dan menganut agama ini atau itu.
Karena
agama mulai menjadi status sosial dan identitas sosial, lantas orang mulai
mengurusi soal identitas orang lain. Apabila ada yang tidak memiliki status
sosial yang terkait dengan agama tertentu, orang selalu ingin membuat mereka menjadi
bagian dari mereka. Dan apabila ada orang yang benar-benar berbeda dengan agama
yang dimilikinya, seolah nilai persaudaraannya menjadi berkurang karena
dianggap tidak memiliki identitas sosial yang benar. Sudah sedemikian
mengkhawatirkankah orang Indonesia ini dalam menghayati soal agama?
Apakah
agama itu hanya sebuah pakaian yang apabila dikenakan, akan membuat kita
menjadi bagian dari sebuah kelompok tertentu dengan segala fasilitasnya? Apakah
agama itu sarana agar kita tidak merasa sendirian dan memperoleh
fasilitas-fasilitas hidup dengan mudah karena berada dalam sebuah lingkungan
yang sama? Apakah agama lalu meninggalkan kemanusiaan yang sejatinya menjadi
bahasa persaudaraan universal bagi setiap manusia, apapun agamanya?
APAKAH SEORANG ATHEIS YANG DENGAN TEKUN
MENGUPAYAKAN KEBAIKAN BAGI SETIAP ORANG APAPUN AGAMANYA, APAPUN KONDISINYA,
TIDAK AKAN MASUK SURGA DIBANDINGKAN DENGAN SEORANG AGAMAWAN YANG MEYAKINI BAHWA
SI ATHEIS DAN PEMELUK AGAMA LAINNYA TIDAK AKAN SELAMAT SERTA HANYA MENGUTAMAKAN
MENOLONG MEREKA YANG SEAGAMA DENGANNYA?
Lalu bagaimana
sekarang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar