17 Agustus 2007
Badanku masih saja terasa tidak enak. Awalnya hanya batuk kecil namun ternyata badan pun mulai terasa lungkrah dan panas. Akhirnya aku tetap memutuskan untuk berangkat ke kursus (karena hari ini adalah hari terakhir kursus). Aku berangkat dengan memakai sweater. Tak ada yang istimewa. Semuanya berjalan seperti biasanya. Jogja tetap panas dan sibuk. Seolah tidak ada celah sedikitpun untuk diam dan berteduh. Jalan-jalan semakin sesak dengan motor dan mobil yang saling berlomba kecepatan. Setiap hari, orang-orang yang berjalan di jalanan Jogja dipaksa menghirup bermacam-macam gas beracun yang keluar dari pembakaran kendaraan. Itu belum ditambah dengan beberapa got yang berbau busuk karena sampah.
Setelah selesai kursus TOEFL, aku merasa lega namun juga merasa was-was. Aku lega karena hari-hariku tidak lagi diisi dengan menghirup polusi udara Jogja dan belajar Inggris sepanjang hari. Namun juga was-was karena tes TOEFL belum terlaksana, apalagi kursus ini adalah salah satu bentuk perutusan, apakah aku akan tidak setia dengan perutusan? Apakah aku merasa terbebani dengan adanya kursus ini? Sudahkah aku menggunakan kesempatan kursus ini sebagai suatu perutusan yang mengembangkan?
Malam, ada Misa Kudus Kemerdekaan pukul 20.00. Tak ada yang istimewa. Masih saja tetap dirayakan secara sederhana dengan Misa Kudus. Meski begitu aku begitu terkesan dengan kotbah dari Romo Purwatmo yang begitu mengusik relung kesadaranku sebagai manusia Indonesia sekaligus terpanggil. Sudahkah aku terlibat dalam kasih hidup bersama sebagai suatu bangsa Indonesia ini bentuk perwujudan imanku terhadap DIA? Lalu dalam permenungan singkat yang muncul saat Misa, aku membayangkan bahwa Indonesia ini memerlukan Re-install. Sebagaimana dalam komputer (tapi tentu Indonesia bukan komputer), Re-install berarti menginstall/mendesain ulang program-program yang sudah ketinggalan zaman, tidak berfungsi entah karena usia atau virus, atau ingin menambahi program baru yang sesuai dengan tujuan di-install program tersebut. Mengapa aku bilang di Re-install? Mungkin ada beberapa hal yang memang harus diganti dan diperbarui, entah dari sisi hardware ataupun software. Perbaikan hardware misalnya : perbaikan gizi dan kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana yang memadai (infrastruktur yang merata), dsb-nya yang berhubungan dengan kebutuhan fisik. Dengan kata lain, kebutuhan dasar seluruh manusia Indonesia hendaknya dipenuhi terlebih dahulu, entah bagaimana caranya. Mungkin kemiskinan masih akan tetap ada tetapi dapatkah kemiskinan itu dimanage sedemikian rupa sehingga dapat menjalankan software terbaru yang akan mendukung tercapainya tujuan bersama. Lalu apa arti software? Software berarti semangat, spirit dan system yang mengatur jalannya peziarahan bangsa. Software ini dapat dibentuk dari adanya pendidikan, kekuatan nilai luhur tradisi, kekayaan kebudayaan Indonesia yang masih dijunjung tinggi, dan tentu saja jiwa Pancasila sebagai salah satu manifestasinya. Apakah software ini telah menjalankan peran dan tugasnya dengan baik, ataukah masih ada semacam ‘membajak’ dari software asli sehingga berkualitas rendah?
Kiranya inspirasi ini yang aku dapatkan dari mengikuti Misa Kudus Kemerdekaan, Tirakatan 17-an, dan akhirnya menonton film Naga Bonar Jadi 2 yang begitu lucu. Tentu ini hanya pertanyaan singkat dariku tentang kemerdekaan bangsa ini yang telah mencapai usia 62 tahun. Entah sampai kapan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pancasila itu akan menjadi software yang membakar semangat? Entah sampai kapan. Mungkin sampai ketika orang tidak tahu lagi ia apakah ia harus memperjuangkan cinta atau uang, materialisme individualistis atau spiritualisme kebersamaan, on going formation atau budaya instan, solitude atau loneliness, ketulusan atau bisnis, bonum commune hati nurani atau utilitarian sektarian. Mungkin tidak perlu mere-install, tapi tune-up, atau apalah yang penting Bendera Merah Putih tetap berkibar di langit Indonesia dengan kumandang Indonesia Raya menggema dari mulut-mulut manusia yang hidup di dalamnya. Sebab dengan begitu, mereka sadar dan mengerti bahwa mereka telah mengalami apa artinya memiliki negeri, yang kata orang telah merdeka, namun masih tetap harus ditegakkan tiangnya, agar Bendera itu sungguh-sungguh dapat berkibar dengan tegak dan berwibawa.
17 Agustusan biasanya selalu menarik buatku tapi untuk tahun ini terasa biasa saja. Aku diam di seminari tanpa punya kegiatan apa-apa. Upacara bendera seperti tahun lalu pun tidak. Tahun lalu, aku mendampingi para seminaris mengikuti upacara bendera di Lapangan Pandansari Mertoyudan. Meski begitu, sebenarnya aku ingin sekali menuangkan ide-ideku tentang kemerdekaan ini. Rasanya masih banyak sekali hal yang harus dikerjakan untuk membuat kemerdekaan yang telah diraih Indonesia 62 tahun silam ini menjadi lebih berarti. Namun aku belum tahu, hal apa yang mesti aku kerjakan.
Dari pagi hingga siang, aku diam di seminari. Menghabiskan waktu untuk membereskan hal-hal persiapan kuliah. Mulai dari menata kamar hingga persiapan yang lebih bersifat mental. Terlebih ketika akhirnya aku harus mengawali perjalanan kuliah tahun ini dengan mengalami sakit flu terlebih dahulu. Oleh karena itu, aku berusaha memanfaatkan hari ini untuk beristirahat setelah selama kurang lebih dua minggu aku mengikuti kursus toefl yang begitu menguras pikiran dan tenaga. Aku berusaha untuk menikmati itu semua karena anugerah ini begitu istimewa.
Setelah aku merasa cukup istirahat, aku mencoba untuk menikmati hari terlebih dahulu. Mengalir bersama angin yang datang berhembus riang disela-sela pohon kering karena kemarau. Siang begitu terik, matahari enggan berkompromi. Tapi itulah dunia, semuanya mengalir riang sesuai alur sang hukum alam. Siang berganti malam dan malam berganti siang. Hingga akhirnya usia mengatakan bahwa sudah seharusnya tubuh ini beristirahat dalam pangkuan bumi tercinta. Aku bersyukur padaMu ya Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar