Pengantar
Pada hari Sabtu, tanggal 28 Juli 2007, Rm. Pujasumarta memberikan ceramah tentang laicologi bagi staf intern, guru, dan karyawan sekolah (30 orang) di Seminari Menengah Mertoyudan. Ceramah ini digelar sebagai bagian dari proses pencarian format baru bagi pendidikan calon imam yang lebih kontekstual dengan situasi zaman ini. Secara khusus, Rm. Puja memberi catatan bahwa Abad XXI bagi Gereja adalah Abad Kaum Awam. Wacana ‘Abad Kaum Awam’ ini bergulir sejak Konsili Vatikan II dengan dokumen Lumen Gentium-nya yang memaknai Gereja sebagai Umat Allah. Perubahan paradigma dalam memahami eklesiologi dari eklesiologi societas perfecta pre-Vatikan II ke arah eklesiologi Umat Allah pasca-Vatikan II turut mempengaruhi wacana Abad Kaum Awam ini. Dengan demikian, pemahaman dan posisi, serta peran imam dalam Gereja pun mulai ditinjau dan ditegaskan kembali. Konsekuensi lebih lanjut, format pendidikan para calon imam Gereja pun hendaknya ditinjau dan ditegaskan kembali.
Meski Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis masih menekankan tentang peran sentral imam dalam Gereja, namun peran sentral ini hendaknya dimengerti secara baru. Tentu harapannya, setelah dipahami secara baru, peran imam pun mendapatkan kekhasannya yang semakin berdaya guna dalam rangka melanjutkan pewartaan Gereja akan Kerajaan Allah di sepanjang sejarah. Dengan demikian, Gereja yang adalah umat Allah dan mulai memasuki era Abad Kaum Awam akan semakin mampu menjalankan tugas perutusan hakikinya dalam mengikuti Kristus. Dalam hal ini, dengan mengemukakan bahwa Abad XXI sebagai Abad Kaum Awam bukan berarti mengeliminasi peran imam (imamat jabatan) dalam Gereja Katolik, akan tetapi justru dengan semakin melibatkan peran umat awam (christifideles laici) dalam kehidupan iman Gereja inilah posisi, fungsi dan peran imam (imamat jabatan) ditinjau dan ditegaskan kembali dalam rangka pewartaan Injil yang semakin kontekstual dan relevan di tengah dunia saat ini. Pembedaan antara peran imam dan awam ini bukan dimaksudkan untuk semakin memperlebar jarak antara imam dan awam tetapi justru semakin mempertegas relasi unik mereka yang saling melengkapi (collaborative) dalam mewartakan Injil Tuhan sebagaimana Gereja sebagai umat Allah.
Untuk itulah pendidikan calon imam di Abad XXI harus ditinjau dan ditegaskan kembali. Secara khusus saya mengambil titik pijak peninjauan dan penegasan kembali format pendidikan calon imam tingkat menengah. Apakah selama ini, dalam rangka menuju paradigma baru tentang eklesiologi pasca Vatikan II dengan karakter dialogisnya terhadap realitas dunia, seminari menengah sungguh memiliki relevansi yang konkrit bagi pendidikan imam yang kontekstual? Bagaimana selama ini pendidikan seminari menengah telah membawa para seminarisnya pada pemahaman tentang paradigma baru tentang posisi, fungsi dan peran imam bagi Gereja masa kini? Bagaimanakah pendidikan seminari menengah diupayakan sejalan dengan gerak Gereja ke arah masa depan yang semakin kontekstual?
Seminari Menengah Mertoyudan dan Gereja Keuskupan Agung Semarang Abad XXI
Dalam konteks luas, Gereja Keuskupan Agung Semarang menjadi bagian dari Gereja Asia yang memiliki konteks khas tertentu. Sebagaimana terumus dalam kongres para Uskup Asia (FABC), Gereja Asia adalah Gereja yang hidup di tengah situasi keanekaragaman agama (tradisi religius), keanekaragaman budaya dan kemiskinan. Konteks sosial budaya dan religiositas masyarakat Asia tersebut menjadi ‘lahan’ dimana benih Sabda Allah dalam Kristus disemaikan dan dipupuk agar menghasilkan buah (berdirinya Kerajaan Allah). Dalam konteks Asia, pewartaan Kerajaan Allah berhadapan dengan realitas keanekaragaman tradisi religius, keanekaragaman budaya dan juga kemiskinan. Berhadapan dengan konteks tersebut, proses inkulturasi Injil Kerajaan Allah yang menjadi hakikat perutusan Gereja pun hendaknya ditinjau dan ditegaskan kembali. Hal ini berkaitan juga dengan pemahaman baru mengenai eklesiologi khas Asia. Hal ini masih ditambah pula dengan karakter khas masyarakat Asia abad XXI.
Dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinodal New Delhi 6 November 1999 tentang Gereja di Asia (Ecclesia in Asia), yang ditujukan kepada para uskup, Imam dan diakon, pria maupun wanita dalam Hidup Bakti serta segenap umat awam, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan kembali tentang kenyataan-kenyataan religius, budaya, sosial, ekonomi dan politik kawasan Asia. Beliau menyatakan bahwa Gereja Asia adalah Gereja yang hidup berhadapan dengan kenyataan-kenyataan Asia: keanekaragaman agama dan tradisi religius kuno, kenyataan masyarakat Asia yang negara-negaranya belum begitu maju dengan ancaman urbanisasi, adanya problem kependudukan dan pengembangan kesejahteraan manusiawi yang masih menampakkan ketidakadilan, serta adanya realitas penindasan politik dari beberapa sistem pemerintahan diktator dari beberapa negara di Asia[1]. Untuk itu, pewartaan Kerajaan Allah dalam diri Kristus di Asia hendaknya mulai menyentuh kenyataan-kenyataan tersebut.
Gereja Keuskupan Agung Semarang adalah bagian dari Gereja Asia tersebut. Keanekaragaman tradisi religius, budaya dan realitas kemiskinan pun menjadi medan hidup Gereja Keuskupan Agung Semarang. Secara khusus, Gereja Keuskupan Agung Semarang hidup dalam konteks masyarakat plural Indonesia yang masih bergelut dengan masalah-masalah moral hidup dan kemiskinan. Berhadapan dengan konteks tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana Injil Kerajaan Allah dalam Kristus hadir dan mengakar pada realitas hidup umat beriman di Keuskupan Agung Semarang yang merupakan bagian dari realitas masyarakat Indonesia? Bagaimanakah Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah itu sungguh hadir menjadi garam dan terang sebagai murid Kristus yang menyelamatkan? Bagaimanakah Gereja yang adalah sakramen keselamatan Allah bagi manusia ini sungguh menjadi relevan dan signifikan bagi pengembangan kesejahteraan manusiawi dan rohani bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan Keuskupan Agung Semarang pada khususnya? Pertanyaan-pertanyaan berikut menjadi salah satu usaha untuk meninjau dan menegaskan kembali pewartaan Kerajaan Allah bagi masyarakat khas Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia pada umumnya.
Secara khusus, Konferensi Wali Gereja Indonesia (Konferensi Para Uskup Indonesia) telah mencoba untuk mengenal keprihatinan mendasar masyarakat Indonesia awal abad XXI ini yakni tiadanya keadaban publik. Tiadanya keadaban publik ini disebabkan karena terjadinya kesalahan urus ruang publik dan arus globalisasi-sekularisasi yang memiskinkan[2] Tiadanya keadaban publik yang disebabkan oleh salah urus ruang publik dan arus globalisasi-sekularisasi yang memiskinkan ini menyebabkan begitu banyak keprihatinan sosial yang melanda masyarakat Indonesia di awal abad XXI. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa kerusakan mental bangsa karena habitus korupsi, gaya hidup konsumtif hedonis, eksploitasi lingkungan hidup, politik sektarian, dan kemiskinan struktural. Kenyataan ini tentu menjadi ancaman bagi terjadinya perpecahan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Keprihatinan yang dimunculkan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia ini pun menjadi keprihatinan Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai gereja lokal bagian dari Gereja Indonesia. Sebagai umat beriman Kristiani yang berpusat pada Kristus, Gereja Keuskupan Agung Semarang pun terpangil untuk terlibat dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah Yesus Kristus yang menyelamatkan dengan terlibat konkret untuk mengusahakan sebuah transformasi sosial ke arah keadaban publik. Keterlibatan ini lalu ditegaskan salah satunya di dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2006-2010 dengan Membangun Habitus Baru berdasarkan semangat Injil (bdk. Mat 5-7). Dalam membangun habitus baru tersebut, Gereja berusaha untuk melibatkan semua pihak, terutama menjadikan keluarga sebagai basis hidup beriman. Setiap pihak yang berkehendak baik turut dilibatkan dan diberdayakan demi membangun habitus baru, terlebih bagi mereka yang miskin dan tersingkir. Hal ini termasuk menekankan dialog dengan kenyataan pluralitas tradisi religius dan budaya yang ada dalam masyarakat Keuskupan Agung Semarang. Arah dari perjuangan membangun habitus baru ke arah keadaban publik ini adalah membangun Gereja yang hidup; Gereja yang relevan dan signifikan bagi perjuangan keadilan sosial dan kesejahteraan rohani dan manusiawi bangsa Indonesia. Dalam membangun Gereja yang hidup ini, Gereja Keuskupan Agung Semarang mulai terbuka pula dengan wacana ‘Abad XXI sebagai Abad Kaum Awam’. Melibatkan sebanyak mungkin orang-orang yang berkehendak baik dengan menjadikan keluarga sebagai basis hidup beriman menjadi salah satu karakter khas Gereja Keuskupan Agung Semarang dalam menanggapi semangat ‘Abad XXI sebagai Abad Kaum Awam’.
Semangat membangun Gereja yang Hidup melalui pembangunan habitus baru yang semakin melibatkan kaum awam ini tentu memunculkan pendalaman lebih lanjut mengenai peran imam dalam Gereja sebagai pemimpin jemaat. Selama ini, Gereja Katolik dipandang oleh tradisi religius lain sebagai sebuah agama dengan kepemimpinan hirarkis model monarki yang amat menjunjung tinggi ortodoksi ajaran dari otoritas Gereja yang ditempati oleh para klerus. Hal ini pulalah yang sering menjadi kritik bagi Gereja mengenai signifikansi dan relevansinya bagi sebuah pembangunan bangsa ke arah keadaban publik. Pemahamannya, selama struktur hirarkis monarkional dan ortodoksi dogmatis klerikal masih memegang peranan sentral dalam kepemimpinan Gereja abad ini, usaha untuk melibatkan sebanyak mungkin pribadi dalam membangun Gereja yang hidup hanya akan berhenti sebagai slogan kosong yang tetap saja tidak menyentuh realitas hidup umatnya yang adalah bagian utama dari Gereja sebagai Umat Allah. Keprihatinan yang muncul pun tidak berasal konkret dari umat Allah tetapi muncul dari pihak otoritas Gereja yang diwakili oleh para klerus. Tentu pandangan seperti ini ada benarnya namun masih perlu sebuah refleksi lebih lanjut. Hal ini juga berkaitan dengan pemahaman baru yang mesti diletakkan bagi peran serta fungsi otoritas Gereja dalam usaha membangun Gereja yang hidup. Pemahaman baru tentang peran serta fungsi otoritas Gereja yang dimiliki oleh kaum klerus ini tentu memunculkan sebuah konsekuensi bagi peninjauan dan penegasan kembali proses formatio para calon klerus. Dalam konteks Keuskupan Agung Semarang, pendidikan para calon klerus ini sebagian besar dilakukan di Seminari Menengah Mertoyudan. Proses formatio Seminari Menengah Mertoyudan sebagai tempat pendidikan para calon klerus di Indonesia pada umumnya dan Keuskupan Agung Semarang pada khususnya harus ditinjau dan ditegaskan kembali. Apakah model formatio yang selama ini terjadi bagi para calon klerus tersebut sungguh telah menyediakan sebuah proses formatio yang kontekstual dengan realitas Gereja Indonesia dan juga pemahaman baru tentang eklesiologi pasca Vatikan II?
Mengapa Seminari Menengah?
Dekrit De Reformatione dari Konsili Trente yang disahkan pada tanggal 15 Juli 1563 merupakan tonggak awal berdirinya pendidikan seminari bagi para calon imam. Dekrit ini menjadi semacam bentuk tanggapan Gereja atas gerakan reformasi Gereja era Luther yang mencoba menanggapi keprihatinan situasi Gereja saat itu berkaitan dengan kualitas imam. Keseluruhan isi dekrit De Reformatione dalam konsili Trente itu adalah tentang pendidikan calon imam yang diadakan di seminari. Tujuan awal dari pendidikan calon imam di dalam sebuah seminari ini adalah demi menjaga dan melindungi para seminaris ini dari pengaruh duniawi dan para reformator. Dengan mendidik mereka secara khusus (dalam sebuah seminari), para calon imam yang masih sangat itu dipersiapkan sejak dini agar memiliki hati yang murni dan teguh dalam memegang iman Kristiani serta panggilan mereka sebagai pelayan Gereja. Itulah asalan dasar mengapa pendidikan seminari diadakan demi mendidik para calon imam, termasuk seminari menengah dimana para seminaris dijaga dan dilindungi benih panggilan imamatnya yang telah muncul di masa remaja.
Pasca Konsili Vatikan II, pendidikan seminari menengah ini diperbarui dan ditegaskan kembali (salah satunya) dalam Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II: Pastores Dabo Vobis. Disebutkan dalam anjuran tersebut bahwa tujuan pendidikan seminari menengah adalah demi mendukung pada saat yang tepat dan secara bertahap pembinaan manusiawi, budaya dan rohani, yang akan menghantar orang muda untuk memulai perjalanan di Seminari Tinggi dengan dasar yang memadai dan andal[3]. Hal yang sama ditegaskan dalam Dekrit Optatam Totius yang menyajikan garis besar berikut tentang aspek pendidikan: hendaknya para seminaris di bawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerjasama para orang tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Sementara itu hendaklah diperhatikan juga perlunya pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka sendiri[4].
Dari Dekrit Optatam Totius dan Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis tersebut jelas dinyatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan seminari menengah adalah demi menjaga dan mengembangkan benih panggilan imamat dalam diri kaum muda sesuai dengan usia dan perkembangan psikologis mereka. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, diharapkan para seminaris dapat memiliki dasar yang memadai dan andal dalam menjalani pendidikan imamat selanjutnya di seminari tinggi. Selain itu, seminari menengah dapat menjadi pendidikan dasar bagi panggilan imamat yang semakin kontekstual dengan situasi Gereja yang dihadapi.
Dalam konteks Gereja Indonesia, bagaimanakah pendidikan calon imam tingkat menengah ini telah diupayakan sedemikian rupa sesuai dengan pernyataan dari dekrit serta anjuran tersebut? Secara khusus di Keuskupan Agung Semarang yang memiliki Seminari Menengah Mertoyudan sebagai bagian dari formatio para calon imamnya, bagaimana hal ini telah diupayakan terus menerus sesuai dengan realitas zaman yang berubah? Bagaimana mensinkronkan antara pembinaan manusiawi dengan tuntutan relevansi dan signifikansi Gereja di tengah realitas masyarakat Indonesia yang memiliki begitu banyak keprihatinan sosial sebagaimana telah dimunculkan dalam Konferensi Para Uskup Asia (FABC) serta Konferensi Wali Gereja Indonesia saat ini? Kualitas macam apa yang hendak dibangun di dalam diri para seminaris muda berkaitan dengan pengembangan panggilan imamat mereka di tengah situasi zaman yang berubah (tantangan membangun keadaban publik dan adanya ancaman sekularisasi-globalisasi yang memiskinkan)?. Selain itu, bagaimanakah para calon imam itu dipersiapkan untuk dapat bekerjasama dengan Kaum Awam yang adalah salah satu pilar pokok Gereja sebagai umat Allah saat ini?
Mencari Format Baru Pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan
Dalam konteks hidup Gereja Keuskupan Agung Semarang abad XXI, bagaimanakah pendidikan seminari menengah Mertoyudan dibangun untuk mempersiapkan para kader Gereja yang semakin mendukung berdirinya Kerajaan Allah? Bagaimanakah formatio para calon imam itu dilaksanakan sedemikian rupa demi semakin relevan dan signifikan-nya Gereja di tengah konteks Indonesia dan Keuskupan Agung Semarang Abad XXI?
Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan sebuah usaha menggali lebih lanjut dalam meninjau dan menegaskan kembali pendidikan calon imam yang lebih kontekstual dengan zaman ini. Untuk itu, pendidikan calon imam tidak dapat tidak memperhatikan juga konteks eklesiologi baru yang menjadi medan hidup pelayanan para calon imam itu kelak. Dalam usaha pembaharuan terus menerus, Seminari Mertoyudan hendaknya mulai memperhatikan beberapa aspek formasi berikut ini dalam rangka mempersiapkan para kader Gereja yang sesuai dengan kebutuhan zaman:
1. Sesuai dengan Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, Seminari Mertoyudan hendaknya mulai memperkembangkan dan menjaga benih panggilan imamat dalam diri para remaja itu sesuai dengan perkembangan psikologi dan kepribadian para calon imam itu secara wajar dan peka zaman. Perkembangan manusiawi hendaknya mulai mendapat perhatian lebih[5]. Tujuan akhir dari pendidikan Seminari Mertoyudan adalah membawa para seminaris ke arah kedewasaan iman dan kemerdekaan dalam menanggapi panggilan mereka sebagai imam atau kader Awam yang handal (pendidikan seminari tidak lagi ekslusif bagi para calon imam).
2. Seminari mulai mengarahkan model pendidikannya ke arah eklesiologi kolaboratif (antara imam dan awam) serta semangat dialog dengan tradisi religius lain, budaya-budaya yang beranekaragam, dan realitas kemiskinan. Hal ini dapat dijabarkan dalam pembaharuan terus menerus dalam bidang kurikulum dan pendampingan hidup sehari-hari di komunitas. Bagaimana kurikulum menjabarkan semangat untuk mempertanggungjawabkan iman Kristiani dalam konteks sosial yang real[6].
3. Seminari Mertoyudan hendaknya mulai berani menemukan model pendidikan inkulturatif yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia dan Keuskupan Agung Semarang. Apakah model pendidikan seminari Mertoyudan dengan gaya Eropasentris masih relevan bagi konteks Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia?
4. Selain itu, Seminari Mertoyudan hendaknya mulai memperhatikan bidang pengembangan sisi spiritual kontekstual otentik dari diri para seminaris sesuai dengan dinamika perkembangan psikologis mereka. Spiritualitas kontekstual otentik nan mendalam sungguh diperlukan dalam rangka membangun ‘Gereja yang Hidup’ di tengah situasi masyarakat dunia Abad XXI saat ini[7].
Penutup
Dasar dari segenap usaha untuk memperbarui model pendidikan calon imam sebagai calon klerus dan kader Gereja abad XXI di Seminari Mertoyudan dalam rangka membangun ‘Gereja yang hidup’ di Keuskupan Agung Semarang dan Gereja Indonesia adalah kesaksian iman akan Kristus. Setiap seminaris diajak untuk mengembangkan dan mempertanggungjawabkan imannya dalam kerangka meniti panggilan sebagai calon imam. Harapannya, visi panggilan imamat yang ditekuni dan dijalani oleh para seminaris itu merupakan wujud pertanggungjawaban iman mereka yang merdeka dan membebaskan. Dengan demikian, para seminaris dapat menghayati panggilan menjadi imam sebagai panggilan untuk memberikan diri secara khusus kepada Kristus dan Gereja demi Kerajaan Allah yang real sesuai konteks sosialnya. Dan panggilan ini muncul karena dorongan iman yang mulai matang serta mendalam untuk terlibat dalam Kerajaan-Nya.
Daftar Pustaka
1. Dekrit “Optatam Totius” tentang Pembinaan Imam, Dokumen Konsili Vatikan II
2. DKP KAS, Baharuilah Seluruh Muka Bumi: Nota Pastoral Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2006-2010, 2006
3. Gerard S. Sloyan (ed), “Secular Priest in the New World, New York: Herder and Herder, 1967
4. KWI, “KEADABAN PUBLIK : MENUJU HABITUS BARU BANGSA. Keadilan Sosial Bagi Semua : Pendekatan Sosio-Budaya”, Nota Pastoral KWI 2004
5. Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Asia: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, New Delhi, 6 November 1999
6. Paus Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis: Anjuran Apostolik tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman Sekarang, 23 Maret 1992
[1] Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Asia: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal New Delhi, 6 November 1999, art. 5-8
[2] KWI “KEADABAN PUBLIK : MENUJU HABITUS BARU BANGSA. Keadilan Sosial Bagi Semua : Pendekatan Sosio-Budaya”, Nota Pastoral KWI, 2004
[5] Henry Fehren, “The Human Side” dalam Secular Priest in the New World, New York: Herder and Herder, 1967, hal. 219-231
[6] John V. Coffield, “ The Social Mission of The Secular Priest” dalam Secular Priest in the New World, New York: Herder and Herder, 1967, hal. 176-185
[7] Gerard S. Sloyan, “Spirituality for The Secular Priest” dalam Secular Priest in the New World, New York: Herder and Herder, 1967, hal. 55-76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar