Wacana dari
Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 ini tentang perpindahan Ibu Kota Negara
Republik Indonesia ke Pulau Kalimantan sempat menyita perhatian banyak pihak.
Tentu Presiden dan stafnya tidak asal saja melontarkan wacana tersebut, dan
tentu bukan hanya akan berhenti sebagai wacana tetapi merupakan program
pemerintah untuk diwujudnyatakan pada tahun-tahun mendatang. Aku pribadi tidak
begitu heran dengan wacana tersebut dan mendukung sepenuh hati jika ibu kota
negara benar-benar dipindahkan dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Untuk
persisnya di provinsi dan kota mana, hal itu belum benar-benar diketahui secara
pasti oleh segenap rakyat Indonesia. Namun, di luar adanya pro dan kontra atas
wacana tersebut, tentunya segenap bangsa ini akan menyambut baik kebijakan
pemerintah tersebut.
Hanya saja, lantas terlontar
pertanyaan dari benakku terkait dengan rencana perpindahan ibu kota negara itu.
Kenapa Pulau Kalimantan yang dipilih dan bukan pulau lainnya? Tentu pemerintah
telah melakukan banyak kajian tentang dipilihnya Pulau Kalimantan sebagai
tempat ibu kota negara yang baru. Aku berusaha berhipotesis tentang jawaban
itu. Menurutku, benar pilihan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota
negara ke Pulau Kalimantan. Sebab Pulau Kalimantan dengan segenap penghuninya
dapat dianggap sebagai penjaga keutuhan NKRI. Kenapa Jawa tidak? Meski tidak
secara langsung dapat dikatakan juga bahwa Jawa tidak mampu menjaga keutuhan
NKRI, namun semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, Jawa yang menjadi
tempat ibu kota NKRI belum begitu berhasil menyatukan Indonesia seturut dengan
cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Yang terjadi di Jakarta justru adalah
pertarungan kekuasaan di antara sesama saudara sebangsa. Kita ingat, peristiwa
kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru, begitu banyak intrik politik dan
perebutan kekuasaan di antara sesama anak negeri. Setelah rezim Orde Baru
berkuasa pun, cita-cita Pancasila dan UUD 1945 belum begitu diperjuangkan
dengan baik, karena yang terjadi justru munculnya sosok penguasa tunggal yang
akhirnya ditumbangkan oleh Rezim Reformasi. Dan setelah bergulir Reformasi,
lagi-lagi, pertikaian tentang kekuasaan itu terus berlanjut. Beberapa anak
terbaik negeri ini pun menjadi korban dari drama perebutan kue kekuasaan itu.
Sungguh miris kan?
Memang Jakarta adalah ibu kota
negara Indonesia, namun anak bangsa ini semuanya mengamini bahwa kota yang
paling mengerikan di negara ini adalah Jakarta. Di Jakartalah bergelut segala
macam persaingan anak bangsa ini untuk sekedar menyambung hidup. Di Jakarta
orang bisa meraih kesejahteraan, namun di Jakarta pula orang bisa menjadi
pemangsa bagi sesama warga bangsa. Tidak mudah untuk hidup di Jakarta. Ada
banyak kepentingan yang saling bertubrukan di Jakarta. Biang segala kepentingan
itu adalah kekuasaan dan pundi-pundi uang semata. Jakarta telah begitu renta
untuk menanggung segala tingkah polah anaknya yang tak tahu hormat pada ibu
pertiwi. Dan Jakarta itu letaknya di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Pulau
Jawa adalah orang Jawa, meski terbagi dalam berbagai sub suku seperti Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sunda, Baduy dan Betawi. Di tangan mereka, ibu kota negara
tidak lagi menjadi ibu kandung, tapi lebih mirip ibu tiri yang kejam.
Lalu kenapa ibu kota negara ini
dipindahkan di Pulau yang sebagian besarnya dihuni oleh orang Dayak? Menurutku,
orang Dayak adalah penjaga NKRI yang benar-benar bisa diandalkan. Tidak seperti
orang Jawa yang penuh intrik dan kepentingan, orang Dayak selalu bangga dengan
tradisi, budaya dan identitasnya sebagai bangsa Dayak yang adalah bagian dari
orang Indonesia. Ketika sumber daya alam mereka dieksploitasi untuk kepentingan
ibu kota di Jawa, mereka dengan lapang dada menerima dan mendukung demi
kemajuan Indonesia. Mereka tidak ingin terlibat langsung dalam pertarungan
kekuasaan yang disadari akan merugikan bangsa. Sementara itu, orang Jawa sibuk
dengan berbagai perbenturan kepentingan, mulai dari kepentingan kekuasaan,
bisnis, dan juga agama. Dimanakah terjadinya serentetan serangan teroris karena
latar belakang kepentingan golongan tertentu, dimanakah terjadinya pertentangan
kekuasaan yang seringkali ricuh dan menimbukan korban jiwa? Dimanakah muncul
ormas-ormas garis keras yang melawan Pancasila? Dimanakah timbul gagasan tentang ideologi negara yang berambisi untuk
menggantikan Pancasila? Itu semua terjadi di Jawa, dan pelakunya sebagian besar
orang Jawa.
Dewasa ini, orang-orang Jawa
terlalu terlena dengan kepentingan dirinya sendiri sehingga melupakan identitas
asali sebagai orang Jawa. Orang Jawa lebih suka dengan tradisi dan budaya orang
luar sehingga lupa terhadap nilai luhur masyarakatnya. Meski di Jawa terdapat
banyak tradisi dan warisan budaya yang luhur, namun mereka lebih memilih
meninggalkan itu dan menggantikannya dengan tradisi budaya lainnya yang
dianggap bisa membuka pintu surga yang entah dimana. Aksara Jawa pun
ditinggalkan dan diganti dengan huruf-huruf lain yang diyakini sebagai penanda
kebenaran. Dan anehnya, orang Jawa dengan mudahnya menerima itu sebagai kebenaran
absolut. Orang Jawa jatuh pada sebuah situasi “kedangkalan dan kegamangan
identitas”. Mereka tidak lagi bangga terhadap nilai nilai tradisi, aksara Jawa,
Seni budaya Jawa, dan falsafah Jawa. Bahkan nama-nama Jawa pun dianggapnya
sebagai hal yang kuno dan kampungan, lalu mengganti nama dengan nama yang entah
diambil dari tradisi mana. Tentu boleh belajar dari tradisi dan budaya lain,
ataupun ajaran dari budaya lain, namun meninggalkan tradisi sendiri dan
menggantikannya dengan hal itu bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana. Para
bijaksana orang Jawa dahulu pun tentu sudah meramalkan, bahwa ketika orang Jawa
kehilangan Jawa-nya, saat itu juga orang Jawa tidak mampu lagi menjaga NKRI
ini. Maka sudah selayak dan sepantasnya tugas itu diberikan kepada saudara
mudanya, dan aku setuju jika tugas itu diberikan tanggungjawab lebih kepada saudara kita orang
Dayak.
Tentu aku tidak mau membuat
perbandingan budaya antara orang Jawa dan orang Dayak. Aku tidak pernah bisa
menilai tentang masing-masing kebudayaan sebab setiap kebudayaan dan karakter
itu unik, tidak pernah bisa diperbandingkan. Namun jika melihat situasi seperti
yang telah aku gambarkan di atas tadi, tentu orang Jawa hendaknya bisa belajar
dari orang Dayak. Jika menurutku, orang Jawa tengah berada dalam situasi “kedangkalan
dan kegamangan identitas” sebagai orang Jawa, orang Dayak justru tengah
berbangga dengan identitasnya sebagai Dayak. Semboyan “hidup beradat dan mati
pun beradat” tetap dipegang oleh orang Dayak sampai kapanpun dan dimanapun.
Apabila terdapat kelunturan tentang falsafah itu, aku bisa mengatakan bahwa
pengaruh orang luar Dayak mulai meracuni mereka. Orang Dayak selama ini tetap
bangga dengan identitas mereka. Mereka tidak malu mengakui diri sebagai orang
Dayak dengan segala situasinya. Kebudayaan lain memang menggempur mereka dari
segala sisi, terutama budaya penguasa yang adalah orang Jawa, namun mereka bisa
berbaur tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang Dayak. Mereka bisa menerima
budaya dari luar tanpa harus menggantikan budaya mereka dengan budaya baru itu.
Bahkan soal ajaran-ajaran tentang surga pun, mereka bisa menyesuaikan dengan
kebudayaan mereka. Menerima ajaran itu tanpa harus meninggalkan identitas
asalinya. Mereka menghormati kebudayaan mereka dengan menempatkan kebudayaan
dan identitas di atas segala kepentingan pribadi.
Mungkin tulisanku ini berbau
SARA, namun setidaknya aku sebagai orang Jawa sangat merindukan kembalinya
orang Jawa sebagai sejatinya orang Jawa. Untuk itu aku mengungkapkan rasa
hormatku kepada saudaraku Orang Dayak dan juga orang-orang di luar Jawa,
termasuk Papua. Semestinya, orang Jawa sekarang ini belajar dari mereka dalam
menjaga NKRI. Sebagai orang Jawa, aku memohon maaf kepada saudara-saudariku di
luar Jawa, yang karena kerakusan orang Jawa, pembangunan dan juga pemerataan
Indonesia belum terlaksana dengan baik. Itu semua terjadi karena orang Jawa
tidak lagi bangga sebagai orang Jawa, tidak seperti saudara-saudariku di luar
Jawa. Semoga dengan perpindahan ibu kota NKRI di luar Jawa, orang Jawa mulai
menyadari bahwa sudah saatnya tugas menjaga NKRI ini dilanjutkan secara estafet
kepada saudara-saudari di luar Jawa. Sebagai kakak tertua, sudah sepantas dan
selayaknya orang Jawa kembali kepada ke-Jawa-annya. Melepaskan segala
kepentingan, bahkan kepentingan yang mengatasnamakan surga, demi tegaknya NKRI
tercinta yang begitu kaya dengan berbagai macam budaya, identitas suku, dan
sumber daya alamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar