Dalam Konstitusi
tentang Liturgi Suci, Konsili Vatikan II menulis demikian: Sebab
melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan
kita”. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan
penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang
sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja
bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang
tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk
kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu
sedemikian rupa, sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan diabdikan
kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang
termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota
yang akan datang, yang sedang kita cari. Maka dari itu Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi
kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mereka
mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus. Maka Liturgi
sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus,
dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang diluarnya sebagai
tanda yang menjulang diantara bangsa-bangsa. Dibawah tanda itu putera-putera
Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu, sampai terwujudlah satu
kawanan dan satu gembala. (SC 1).
Dari tulisan tersebut,
kita memahami bahwa liturgi suci merupakan pelaksanaan karya penebusan kita
sebagai umat beriman. Secara khusus dalam Perayaan Ekaristi, kita merayakan
Misteri Paskah Kristus yang telah mengorbankan diri bagi keselamatan kita. Pada
perayaan liturgi itu kita menerima Tuhan yang hadir dan menyelamatkan kita. Dan
pada saat itu kita pun mempersembahkan seluruh diri kita untuk dipersatukan
dalam karya penebusan itu, bersama-sama dengan seluruh umat beriman lainnya.
Dalam Perayaan Liturgi pula, Gereja mengungkapkan diri sebagai anak-anak Allah
yang tengah berziarah mengarungi samudera kehidupan untuk menuju ke tanah air
surgawi. Dalam perayaan Liturgi itu pula, kita mendengarkan sabda Tuhan, menerima
Diri Tuhan sendiri, dan kemudian kita mengungkapkan pujian kepadaNya sebagai
bagian dari cinta mesra antara Allah dan manusia. Dari persatuan cinta mesra
ini, mengalirlah berkat berlimpah yang memampukan kita untuk berbagi hidup
dengan dunia. Kita pun dipersatukan di dalam Roti yang satu, dan kemudian
dibagikan kepada dunia, demi hidup dunia. Melalui perayaan liturgi itulah kita
selalu terhubung dengan kasih Tuhan yang selalu diberikan kepada kita, seperti
Roti yang dipecah dan dibagikan kepada kita untuk dimakan, agar kita hidup.
Dengan demikian, liturgi
tidak hanya berdimensi transendental, tetapi juga imanen. Liturgi tidak hanya
menyangkut persatuan kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama dan alam
sekitar. Karya penebusan umat oleh Tuhan dalam Liturgi ini ditegaskan oleh
Konsili Vatikan II dengan tulisan berikut: “Oleh
karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul
yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya untuk mewartakan Injil
kepada makhluk, dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan
kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan dan maut, dan telah
memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban
dan Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup Liturgis. Demikianlah
melalui babtis orang-orang dimasukkan kedalam misteri Paska Kristus : mereka
mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia; mereka menerima Roh pengangkatan
menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15);
demikianlah mereka menjadi penyembah
sejati, yang dicari oleh Bapa. Begitu pula setiap kali mereka makan
perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang. Oleh karena
itu pada hari Pentekosta, ketika Gereja tampil didepan dunia, mereka yang
menerima amanat Petrus “dibabtis”. Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul
serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah,
dan mereka disukai seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah
lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca
“apa yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka
merayakan Ekaristi, yang menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”, dan sekaligus
mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan” (2Kor
9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan
kekuatan Roh Kudus.” (SC 6).
Selain itu Konsili Suci
juga menegaskan bahwa Liturgi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja: Akan tetapi Liturgi itu puncak yang dituju
kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya kekuatannya. Sebab
usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan
babtis menjadi putear-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah
ditengah Gereja, ikut serta dalam Korban dan menyantap perjamuan Tuhan. Dilain
pihak Liturgi sendiri mendorong Umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan
Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam
kasih”.
Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang
mereka peroleh dalam iman”. Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia
dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus
yang membara. Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber,
mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh
pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya
Gereja lainnya. (SC 10)
Liturgi:
Perayaan Iman yang Hidup
Dalam
Katekismus Gereja Katolik, Kata "liturgi" pada mulanya
berarti "karya publik", "pelayanan dari rakyat dan untuk
rakyat". Dalam tradisi Kristen, kata itu berarti bahwa Umat Allah
mengambil bagian dalam "karya Allah" (Bdk.
Yoh 17:4). Melalui liturgi, Kristus Penebus dan
Imam Agung kita, melanjutkan karya penebusan-Nya di dalam Gereja-Nya, bersama
dia dan oleh dia. ( KKGK, 1069). Dalam Perjanjian Baru kata - liturgi - tidak hanya berarti
"perayaan ibadat" (Bdk. Kis
13:2; Luk 1:23), tetapi juga pewartaan Injil (Bdk. Rm 15: 16; Flp 2:14-17; 2:30)
dan cinta kasih yang melayani (Bdk.
Rm 15:27; 2 Kor 9:12; Flp 2:25).
Segala hal itu menyangkut pelayanan kepada Allah dan manusia. Dalam perayaan
liturgi, Gereja adalah pelayan menurut teladan Tuhannya, "pelayan" (Bdk.
Ibr 8:2.6) satu-satunya, karena dalam ibadat,
pewartaan, dan pelayanan cinta ia mengambil bagian pada martabat Kristus
sebagai imam, nabi, dan raja.
"Maka memang sewajarnya juga liturgi
dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan
manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara
yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang
seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para
anggota-Nya. Oleh karena itu setiap
perayaan liturgis, sebagai karya Kristus Sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja,
merupakan kegiatan suci yang sangat
istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya
dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama" (SC 7). (KKG , 1070).
Dengan demikian, Perayaan
liturgi adalah perayaan karya penebusan Kristus yang menjadi daya dari iman
kita kepada Tuhan. Segenap umat mempersatukan diri dalam iman yang sama untuk
terlibat dalam karya penebusan Tuhan. Dalam perayaan tersebut, hidup dan iman
umat dikuduskan serta diutus untuk melanjutkan karya penebusan Tuhan itu di
tengah-tengah dunia. Perayaan liturgi bukanlah perayaan ritual yang rutin dan
legalistis, namun merupakan perayaan iman yang hidup, yang menghubungkan
realitas insani dengan ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar