Judul tulisan ini terinspirasi dari kumpulan
cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Aku tidak akan mengulas kumpulan
cerpen tersebut, namun bagiku, penggalan kalimat itu bisa dijadikan inspirasi
bagi kita bangsa Indonesia saat ini, ketika kebenaran seolah-olah menjadi bahan
permainan, dan godaan untuk saling bertikai di antara sesama anak bangsa seakan
diambang pintu. Apakah kita akan membiarkan Sang Iblis itu masuk rumah kita?
Salah satu hal yang membuatku tergelitik untuk
membuat tulisan ini adalah ketika aku menonton beberapa film genre perang yang
terinspirasi dari kisah nyata. Salah satunya adalah film dengan judul Where
Hands Touch. Film ini dibuat pada tahun 2018 oleh sutradara Amma Asante. Film
ini menceritakan tentang kejamnya Hitler dengan Partai Nazi-nya ketika
menguasai Jerman dan menghendaki Jerman dibersihkan dari segala ras yang bukan
ras Arya. Dalam film itu, dikisahkan tentang seorang ibu, darah asli Jerman,
yang memiliki dua anak. Satu anaknya, berdarah campuran karena si ibu
mengandung dari seorang tentara Perancis keturunan Senegal yang menduduki kita
Rhineland pada Perang Dunia I. Ketika meletus Perang Dunia II, si anak itu,
Leyna Schlegel telah berusia 17 tahun. Di kota Rhineland, Hitler bersama Nazi
mulai mengadakan pembersihan orang-orang yang bukan ras Arya, terutama keturunan
Yahudi. Pada awalnya, hanya orang Yahudi saja yang ditangkap dan dikirim ke
kamp, namun orang-orang negro dan keturunannya pun mulai diperlakukan sama
dengan orang Yahudi. Si ibu pun berusaha menyelamatkan putrinya dengan membawa
keluarganya ke Berlin. Namun di Berlin, keadaan tidak semakin membaik. Meski
akhirnya si gadis menjalin hubungan cinta dengan seorang anak perwira Nazi dan
seorang anggota Hitler Youth, namun hal itu tidak dapat mengubah situasi bahwa
dia tetap terancam dari “pembersihan” itu.
Gadis itu, Leyna Schlegel, jelas-jelas adalah
seorang Jerman tulen, meski bapaknya adalah seorang negro dan ibunya ras Arya
asli. Namun ideologi Nazi dengan doktrinnya tentang pembersihan Jerman dari
segala ras di luar ras Arya, telah membuatnya menjadi orang asing. Ia dipaksa
untuk tidak mengakui jati dirinya, dan menganggapnya bukan bagian dari Jerman.
Demikian pula yang terjadi pada orang Jerman keturunan Yahudi. Mereka
ditangkap, dikirim ke kamp-kamp konsentrasi dan kemudian dibunuh, dilenyapkan.
Ideologi Nazi telah membuat kemanusiaan berada dalam posisi serendah-rendahnya.
Dan itu digunakan oleh Hitler bersama kawanannya untuk mempertahankan
kekuasaannya. Berapa juta orang mati karena doktrin tersebut, dan berapa juta
pula orang Jerman kehilangan hati nurani kemanusiaannya. Hitler dengan doktrin
Nazi telah membutakan manusia terhadap martabatnya, dan mengijinkan Iblis
berpesta pora hanya demi mempertahankan kekuasaan yang tak bermakna.
Kiranya, pola “pembersihan” semacam doktrin
ideologi Nazi ini masih tetap ada, meskipun sekarang ini bentuknya
berbeda-beda. Iblis masih saja bergentayangan mencari mangsa. Dan tujuannya
adalah tetap sama, menempatkan martabat manusia pada posisi serendah-rendahnya.
Alurnya pun bisa dibaca, yakni ketika manusia terpecah-pecah hanya karena
berbeda golongan, berbeda warna kulit, berbeda status sosial, berbeda agama,
dan berbeda kepentingan. Iblis mulai masuk melalui doktrin-doktrin itu. Setelah
Jerman, ada beberapa negara yang dihinggapi Sang Iblis, sehingga banyak korban
berjatuhan sia-sia. Yang paling jelas contohnya adalah Peristiwa Perang Saudara
di Suriah. Sesama anak bangsa saling bertempur, sesama pemeluk agama Islam
saling mengangkat senjata dan saling membunuh, dan saling menghujat, bahwa
golongan satu lebih lurus, lebih benar daripada golongan lainnya. Dengan
mengatakan bahwa darah orang lain yang berbeda itu halal hukumnya, Sang Iblis
mulai melongok masuk ke dalam rumah hati orang-orang itu. Demikianlah kiranya
Sang Iblis yang berpesta pora saat Perang Dunia II terjadi, mulai mengetuk
pintu-pintu hati manusia sekarang ini. Jika diijinkan melangkah melewati pintu,
maka terjadilah bencana perang, dimana kemanusiaan selalu diposisikan di titik
terendah dalam kehidupan.
Di Indonesia, Sang Iblis sudah sering kali
menyambangi, tapi mungkin kita hanya sekedar tahu, sekedar mengerti, namun tak
paham apa yang harus dilakukan. Mulai sejak terjadi pertikaian tahun 1965, lalu
muncul pemerintah Orde Baru yang terasa begitu diktator, hingga muncul era
Reformasi dengan Demokrasi yang terlalu absurd. Pertikaian dan pertumpahan darah
sering terjadi karena bangsa ini mulai tergoda dengan Iblis. Bahkan Iblis
menjelma dalam doktrin-doktrin yang katanya suci, dengan menghalalkan membunuh
sesamanya yang berbeda suku, berbeda agama, berbeda aliran. Ketika terjadi
begitu banyak kasus intoleransi di bangsa ini, Iblis tengah mengatur strategi
untuk kembali beraksi, dan sepertinya Iblis tidak pernah kehabisan cara.
Berbagai macam hal dilakukan agar manusia mau mengikuti jebakannya. Ketika
korupsi merajalela, ketika politik uang dianggap lumrah saja, ketika politik
sektarian dan berhaluan radikal semi kekerasan tetap hidup tenang di negeri
ini, Sang Iblis tengah menyusun kekuatannya. Kini, ketika hendak Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2019, sepertinya Iblis tengah mencari
celah untuk mendeklarasikan diri ketika Indonesia ini ternyata mudah tergoda
untuk dipecah belah. Caranya tentu dengan menebar Hoax tanpa henti, kebencian
macam doktrin Hitler dengan intoleransi dan diskriminasinya. Sekarang ini,
Iblis makin pintar, karena bersembunyi dibalik jubah-jubah dan kubah-kubah.
Tempat-tempat ibadah digunakan untuk menebarkan kebencian, bahkan dengan tegas
menyuruh memusuhi bangsa sendiri, saudara sendiri, karena berbeda pilihan calon
pemimpin. Iblis memang tak pernah mati. Ia hanya seperti ular yang selalu
berganti kulit, dan mungkin sekarang ini makin cerdik dan berbelit-belit.
Kebenaran ditelikung sedemikian rupa, kejujuran digempur habis-habisan dengan
iming-iming kekayaan dan kekuasaan. Tidakkah bangsa ini merasa? Dan Iblis akan
semakin tertawa-tawa gembira, ketika manusia saling tuding, lantas mengatakan
bahwa saudaranyalah yang kepanjingan/kerasukan Iblis.
Saudaraku, aku cuma mengingatkan, Iblis itu tak
pernah mati, tapi harus selalu ada orang yang melawannya. Bukan dengan saling
memecahbelah, saling menghakimi, membiarkan intoleransi dan diskriminasi, bukan
dengan menebar hoax dan korupsi, bukan dengan saling bertikai dan berperang,
tetapi dengan bersatu dan saling melayani. Apapun pilihanmu, janganlah
membiarkan bangsa ini tenggelam seperti saat Jerman dikuasai Hitler, ataupun
Suriah karena ISIS-nya. Lawanlah Iblis, agar selalu jayalah negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar