Beberapa
tulisan tentang Nabi Khidir menceritakan hal yang sama tentang kisah perjumpaan
dengan Sunan Kalijaga itu. Tetapi ada sesuatu yang membuatku tertarik ketika
ada sebuah tulisan yang mencoba menjelaskan keberadaan dan identitas Nabi
Khidir ini berdasarkan Alquran. Kisah tentang Sang Khidir dalam Alquran
digambarkan dengan sebuah kisah misterius tentang seorang hamba yang oleh Allah
SWT diberi rahmat dari sisiNya dan diberiNya ilmu. Kisah itu terdapat dalam
surah al-Kahfi dimana ayat-ayatnya dimulai dengan kisah Nabi Musa: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua
buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS.
al-Kahfi: 60). Musa mengatakan hal itu kepada muridnya karena ia hendak
berjumpa dengan hamba Allah yang diberi rahmat dari sisiNya dan diberi ilmuNya.
Pertemuan dengan hamba Allah itu terjadi disebuah tempat dimana dua buah lautan
bertemu. Mengenai tepatnya dimana tempat itu, tidak ada seorang pun yang tahu.
Alquran pun tak pernah dengan jelas menyebutkan dimanakah tempat itu, demikian
pula nama hamba itu. Al-Qur'an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini.
Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65). Meskipun Nabi
Musa adalah seorang Nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah, pemilik
mukjizat tongkat dan tangan bercahaya serta Taurat diturunkan kepadanya tanpa
perantara, namun dalam cerita ini, Nabi Musa digambarkan sebagai seorang sosok
pencari ilmu yang sederhana, yang dengan tekun hendak belajar dari hamba Allah
itu dan berhadapan dengan berbagai macam penderitaan selama belajarnya. Nama
guru bijaksana itu tidak pernah disebutkan, serta tempat pertemuannya dengan
sang guru pun tidak pernah diungkapkan dengan jelas. Sebab kisah ini memuat
sebuah pesan tersembunyi tentang kebijaksaan Tuhan yang tidak bisa dimengerti
begitu saja. Dalam Alquran, nama hamba Allah yang kepadanya Nabi Musa hendak
berguru ini tidak pernah disebutkan, tetapi dalam hadist yang suci, disebutkan
bahwa nama hamba itu adalah Khidir.
Dalam kisah itu, Nabi Musa diceritakan
tengah berbicara kepada umat Israel tentang kebenaran dan juga ajakan untuk
menyembah Allah. Kata-kata nabi begitu tepat dan lengkap. Lalu setelah nabi
Musa berbicara, ada seorang umat yang bertanya: “wahai Nabi, siapakah orang di dunia ini yang ilmunya paling dalam?”.
Dengan agak emosi, nabi Musa menjawab: “akulah orang yang ilmunya paling dalam”.
Allah tidak berkenan dengan jawaban nabi Musa ini, maka Tuhan mengutus
malaikatNya, Jibril untuk mendatangi nabi Musa dan bertanya: "Wahai Musa,
tidakkah engkau mengetahui di mana Allah meletakkan ilmu-Nya?”. Nabi Musa tersadar, ia
terlalu tergesa-gesa memberikan jawaban. Lantas malaikat Jibril mengatakan
bahwa sesungguhnya Allah mempunyai
seorang hamba yang berada di majma'
al-Bahrain (pertemuan dua lautan) yang ilmunya lebih dalam daripada Musa.
Jiwa nabi Musa yang merasa rindu untuk menambah ilmu, akhirnya berkeinginan
untuk menemui hamba Allah itu dan bertanya dimanakah kiranya ia dapat
menemukannya. Malaikat Jibril lantas mengatakan bahwa Musa dapat menemukan
hamba Allah itu di sebuah tempat dimana dua lautan bertemu (majma’ al-Bahrain). Untuk menemukannya,
Musa disuruh membawa ikan dalam keranjang. Apabila ikan di dalam keranjang itu
hidup dan masuk ke air, disitulah ia dapat menemukan hamba Allah yang diberi
rahmat dan ilmu dari sisi-Nya.
Dalam tulisan itu dikisahkan,
akhirnya Nabi Musa berangkat bersama dengan seorang pembantunya. Mereka membawa
ikan di dalam keranjang sesuai dengan perintah malaikat Jibril. Setelah jauh
berjalan, mereka berjumpa dengan sebuah batu besar di tepi pantai. Karena
merasa lelah, Nabi Musa lalu tertidur. Saat Nabi Musa tidur, ikan dalam
keranjang yang dibawa pembantunya itu tiba-tiba hidup dan melompat ke laut. Si
pembantu menyaksikan peristiwa itu. Tetapi karena digoda oleh setan, si
pembantu lupa memberitahu Nabi Musa. Setelah Nabi Musa terbangun, mereka
melanjutkan perjalanan. Saat Sang Nabi merasa lapar, ia bertanya kepada si
pembantu apakah ikan yang jadi bekal mereka bisa dimakan. Teringatlah si
pembantu bahwa ikan itu kembali hidup dan telah melompat ke laut. Betapa girang
hati Nabi Musa mendengarnya. Ia lantas mengajak pembantunya untuk kembali ke
tempat dimana ikan itu hidup dan melompat ke lautan.
Akhirnya Nabi Musa dapat
berjumpa dengan Sang Hamba Allah. Pada pertemuan itu, Sang Hamba tidak
mengatakan siapakah nama dirinya. Ia mengatakan kepada Nabi Musa bahwa Sang
Nabi tidak akan mampu bersabar dalam mengikuti dirinya. Lalu Sang Hamba Allah
mengajukan persyaratan jika Nabi Musa hendak mengikutinya, syaratnya adalah
Sang Nabi tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan apapun hingga Sang Hamba
menerangkannya sendiri. Dalam mengikuti perjalanan Sang Hamba, Nabi Musa
mendapati peristiwa yang membuatnya melanggar persyaratan itu. Peristiwa itu
antara lain: ketika berjumpa dengan seorang anak kecil yang lelah tertidur di
tepi pantai, Sang Hamba Allah itu mendatangi si anak dan membunuhnya. Nabi Musa
protes dan mengajukan pertanyaan. Sang Hamba Allah pun mengingatkan bahwa Sang
Nabi sudah melanggar persyaratan. Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Peristiwa
kedua, ketika mereka naik ke sebuah perahu, Sang Hamba Allah perlahan-lahan
merusak perahu yang tengah mengapung. Lagi, Sang Nabi mengajukan protes, kenapa
Sang Hamba Allah merusak perahu, apakah
Sang Hamba Allah berniat mengajak bunuh diri? Lalu Sang Hamba mengingatkan
kembali bahwa Sang Nabi sudah melanggar untuk kedua kali. Kali ketiga, Sang
Hamba Allah mengajak Nabi Musa untuk membangun dinding sebuah rumah yang nyaris
roboh. Siang malam Sang Hamba membangunnya hingga membuat Sang Nabi berpikir
bahwa tindakan Sang Hamba itu hanyalah tindakan yang tidak berguna dan sia-sia.
Nabi Musa protes sekali lagi hingga akhirnya Sang Hamba mengatakan bahwa itulah
batas terakhir pertemuannya dengan Sang Nabi. Di akhir pertemuan itu, Sang
Hamba hanya mengatakan bahwa segala tindakan yang dibuatnya bukanlah
inisiatifnya sendiri melainkan inisiatif dari Sang Hyang Kuasa yang ditujukan
untuk Nabi Musa. Ia hanyalah perantara dari Sang Hyang Kuasa itu yakni Allah.
Cerita ini begitu menarik
bagiku. Nama Sang Hamba Allah itu tidak pernah diungkapkan di dalam Al-Quran,
tetapi seorang Nabi besar seperti Musa bahkan dengan rendah hati ingin belajar
darinya dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Sang Hamba. Aku mencoba mencari
kembali apa artinya kisah tentang Hamba Allah ini. Lalu aku menemukan sebuah
tulisan yang mengulas tentang cerita itu. Tulisan itu tentang tafsir Syekh Siti
Jenar berkenaan dengan sosok Nabi Khidir. Bagi Syekh Siti Jenar, pertemuan Nabi
Musa dan Nabi Khidir, Sang Hamba Allah, seperti yang tertulis di Al-Quran bukanlah
sebuah peristiwa sejarah. Peristiwa itu adalah peziarahan rohani yang
berlangsung di dalam diri Nabi Musa sendiri. Tempat dimana Nabi Musa bertemu
dengan Nabi Khidir adalah perbatasan alam kasatmata dan alam tak kasatmata.
Sementara pembantu Nabi Musa, yang membawa bekal makanan adalah simbol
terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Selubung gaib yang menyelubungi manusia
dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, Sang Pembuka (al-Fattah). Pada saat Sang Nabi berjumpa
dengan Sang Khidir, maka si pembantu tidak disebut-sebut lagi karena pintu
menuju alam kasatmata sudah terbuka. Lalu bekal makanan yang dibawa oleh si
pembantu memiliki makna pahala perbuatan baik yang berguna untuk bekal menuju
tanah Surgawi (al-Jannati). Bagi para
pencari kebenaran sejati, pahala perbuatan baik justru akan menghalangi
penemuan Sang Kebenaran. Sebab apabila Sang Nabi ketika merasa lapar dan tahu
bahwa ikannya sudah pergi lalu memerintahkan untuk mencari bekal lain, apalagi
memburu ikan yang kembali hidup itu, maka Sang Nabi tidak akan pernah berjumpa
dengan Sang Khidir. Artinya, dalam menuju kebenaran sejati, tidak diperkenankan
memburu pahala dari perbuatan baik.
Menurut Syekh Siti Jenar, sosok Nabi
Khidir adalah jati diri sejati di dalam diri manusia itu sendiri. Setiap manusia akan mengalami peziarahan
rohani yang berbeda
sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Nabi Musa bertemu
dengan Sang Khidir di alam tak kasatmata, yaitu alam
yang tidak jelas batas-batasnya. Alam yang tidak bisa dinalar dengan kekuatan akal. Itu sebabnya, Sang Khidir melarang Nabi Musa bertanya sesuatu dengan akalnya dalam
perjalanan tersebut. Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa terhadap perbuatan yang dilakukan
Khidir benar-benar bertentangan dengan hukum dan akal sehat yang berlaku di
dunia, seperti melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak
bersalah, dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar