Kasus ditolaknya warga yang beragama Kristen
dimakamkan di tanah wakaf muslim di Mojokerto, pemotongan salib makam di
Pringgolayan, DIY dan juga perusakan makam Kristen di Magelang beberapa waktu
lalu menyisakan sebuah pertanyaan tentang krusial tentang toleransi hidup
beragama di negeri ini. Apakah agama yang sejatinya adalah jalan hidup untuk
mencapai kesempurnaan jiwa justru membuat bangsa ini saling terkotakkan dan
terfragmentasi ke dalam kerangka surga masing-masing? Atau kenapa peristiwa itu
harus terjadi sementara persaudaraan sebagai sesama manusia telah ada jauh
sebelum agama-agama itu muncul? Menjadi semakin miris ketika dogma agama pun
dikenakan bagi mereka yang telah meninggal sebagai sesama manusia? Dimanakah
rasa kemanusiaan? Atau agama telah memperbudak kemanusiaan dan meletakkan
kemanusiaan di sisi tepi yang sewaktu waktu bisa didorong masuk ke jurang?
Lantas siapakah sesamaku manusia? Apakah sesamaku manusia hanyalah mereka yang
se-bangsa, se-agama, se-jenis kelamin, dan se-aliran politik yang sama? Apakah
surga juga sudah ditentukan bagi mereka yang beragama anu, sementara di luar
agama anu semuanya akan menjadi penghuni neraka? Jika memang benar demikian,
apakah ada bukti yang bisa menguatkan argumen tersebut sehingga berhak untuk
mengkotakkan manusia ke dalam kotak-kotak tertentu antara surga dan neraka,
termasuk bagi mereka yang sudah meninggal?
Kasus ini tentu menjadi keprihatinan kita
bersama sebagai warga yang beriman dan beragama. Ketika setiap orang meyakini
bahwa setiap agama membawa manusia kepada perjalanan menuju kepada Tuhan,
mengapa lantas pada prakteknya, terdapat pemisahan yang begitu melukai martabat
sebagai sesama manusia? Tidakkah martabat manusia lebih rendah dari agama?
Peristiwa itu tentu akan menimbulkan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak akan
pernah habis. Untuk memperoleh jawaban, kita perlu mendalami kasus per kasus
mengapa hal itu terjadi. Tentu juga harus dengan menyertakan pemahaman tentang
posisi agama sebagai bagian dari pranata sosial yang mengelompokkan manusia ke
dalam tatanan tertentu. Konteks sosial dimana dogma itu dihayati dan diterapkan
juga perlu ditelaah lebih mendalam hingga menjadi nada dasar dari situasi
sosial masyarakat yang menjadi locus terjadinya peristiwa tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang religius. Dari sejarahnya, kehidupan sehari-hari dan
sosial orang Indonesia tidak bisa terpisah dari penghayatan religius. Mulai
dari sejak agama-agama dari tanah seberang belum masuk ke Nusantara, manusia
Indonesia telah memiliki kebiasaan serta adat istiadat yang terkait dengan
kepercayaan tentang adanya Yang Numinus (Tuhan). Meski orang Indonesia saat itu
belum memahami apa itu monotheisme dan politheisme, namun kebiasaan religius
dan kepercayaan terhadap Sang Misteri Agung Kehidupan itu telah ada. Dan ketika
agama-agama dari tanah seberang itu berdatangan ke bumi Nusantara ini, sejarah
menyatakan bahwa orang Indonesia dapat menerima dan menghidupinya dengan
mengalir begitu saja. Lambat laun, kebiasaan dan kepercayaan ini semakin
membawa bangsa ini untuk terbiasa mengatur hidup sosialnya berdasarkan
kebiasaan serta kepercayaan tersebut. Indonesia era Kerajaan Hindu dan Budha
telah membentuk identitas sosial yang
identik dengan keagamaan. Demikian pula ketika masuk agama Islam dan Kristen,
bangsa ini seakan terkotakkan dengan kebiasaan dan kepercayaan itu ke dalam
tatanan sosial yang berbeda-beda berdasarkan agama yang dianutnya. Pengkotakan
ini terjadi karena pola pikir bangsa ini yang lebih lekat dengan hal religius
daripada sekular. Cara berpikirnya lebih mengedepankan intuisi dan emosi
daripada nalar atau logika. Maka, bagi mereka yang memiliki pola pikir sekular
berdasarkan logika nalar tentu akan menjadi pribadi yang kesepian atau dianggap
sebagai stranger (aneh/asing). Mereka dengan cepat akan dihakimi sebagai bukan
bagian dari komunitas. Demikian juga yang terjadi pada kaum LGBT. Para kaum
LGBT akan dianggap sebagai pesakitan karena memang dengan jelas dogma keagamaan
menyangkal adanya realitas tersebut. Lambat laun, keyakinan ini menjadi laten
dan iman dipisahkan dari akal sehat serta keadilan sebagai sesama manusia yang
setiap orangnya unik. Agama menjadi alat yang menentukan apakah seseorang bisa
dijadikan teman atau lawan.
Dengan pemahaman akan pengkotakan kelompok
sosial atas dasar agama inilah, kasus terjadinya intoleransi di Indonesia ini
dapat dipahami satu persatu. Lantas apakah ada yang salah dengan ber-agama atau
ber-agama itu menimbulkan manusia bersalah? Tentu kesalahan bukan terletak pada agama tetapi lebih kepada
kurang sempurnya bangsa ini dalam menempatkan agama sebagai the path of becoming true human.
Ibaratnya, penghayatan hidup beragama orang Indonesia kebanyakan masih seperti
mengenakan kacamata kuda yang hanya mengenal satu arah saja. Jika demikian,
arah yang tidak bisa dilihat melalui kacamata kuda itu, dengan mudah dikatakan
sesat dan salah. Orang lain yang berada di luar komunitas agamanya akan dengan
mudah dikatakan sebagai “orang yang berada di luar jalur keselamatan”.
Parahnya, pemahaman ini dikenakan tidak hanya bagi mereka yang hidup tetapi
juga bagi mereka yang mati. Tidakkah hal itu sungguh memprihatinkan?
Kasus yang terjadi di Mojokerto, Pringgolayan
dan Magelang menurutku adalah bagian dari proses panjang tentang penghayatan
hidup beragama gaya “kacamata kuda” ini. Meski dalam dogma tertentu mungkin
mengatur tentang boleh tidaknya orang beragama lain dimakamkan di makam yang
telah dikhususkan untuk agama tertentu, namun konteks hidup sosial
kebersamaannya sebagai sesama warga bangsa jelas telah dibuang jauh-jauh. Dan
biasanya, penghayatan hidup agama model “kacamata kuda” ini lebih sering
terjadi pada masyarakat yang disitu terdapat adanya kelompok masyarakat dengan “agama mayoritas dan agama minoritas”, apapun
agamanya.
Peristiwa adanya pembedaan pemakaman antara
agama satu dengan agama lainnya pernah aku jumpai di tempat aku tinggal selama
kurun waktu tahun 2013-2018. Kasus yang terjadi hampir mirip dengan yang
terjadi di Mojokerto, namun kebalikannya. Aku pernah tinggal di suatu
masyarakat dimana mayoritas warganya adalah orang Dayak dan beragama Katolik.
Tepatnya di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Perbandingan mayoritas dan minoritas ini bisa diterjemahkan demikian: 90% orang
Dayak dan Katolik, sementara 10%-nya adalah orang Melayu dan Muslim. Meski
dalam hal toleransi hidup sehari-hari terjalin dengan baik, namun soal makam,
kedua masyarakat dengan identitas masing-masing ini memiliki makam yang khusus.
Dengan sendirinya, orang Dayak Katolik memiliki makam khusus yang hanya
diperbolehkan bagi mereka yang beragama Katolik. Apabila ada warga Muslim,
meski orang Dayak, tetap dimakamkan di tempat lain: makam Muslim. Memang dalam
aturan agama Katolik tidak pernah ada dogma yang mengatur tentang pemakaman
Katolik, namun dengan sendirinya masyarakat telah membuat pembedaan ini
berdasarkan kebiasaan, tradisi, identitas dan akhirnya soal kepercayaan
beragama. Meski ada kemiripan dengan kasus di Mojokerto, namun sebenarnya kasus
di Simpang Hulu, Ketapang, Kalbar ini didasari dengan pengertian dari setiap
warganya tentang adanya perbedaan itu sejak awal. Dengan demikian, kasus
penolakan-penolakan itu tidak pernah terjadi, meski tetap saja memisahkan
antara komunitas agama yang berbeda-beda.
Pemisahan tentang makam itu terjadi
pertama-tama bukan karena alasan agama tetapi soal menjaga tradisi dan
identitas suku, meski akhirnya lalu dipertajam lagi oleh agama yang menegaskan
bahwa hanya agama tertentu yang bisa menerima adat budaya nenek moyang mereka.
Daripada identitas tradisi dan budaya ini luntur karena agama tertentu tidak
mampu mengakomodasi, maka lebih baik diadakan pemisahan secara langsung. Adanya
pemisahan ini mungkin bisa dikategorikan sebagai penghayatan agama model
“kacamata kuda”, meski dengan kadar yang berbeda karena disertai dengan
penguatan identitas tradisi dan budaya. Selain itu, pemisahan ini terjadi
dengan dasar kesepakatan bersama dengan tidak saling menuntut ataupun menolak.
Meski pemisahan makam berdasarkan agama ini
telah disepakati bersama demi tujuan saling memurnikan ajaran agama serta
tradisi budaya masing-masing komunitas sosial masyarakat tertentu, adanya
pengkotakan ini tentu tetap memiliki resiko terjadinya penghayatan agama
semacam mengenakan “kacamata kuda”. Keberagaman yang tertuang dalam hidup
sehari-hari akan digagalkan oleh kematian dengan dipisah-pisahkannya makam
khusus oleh masing-masing kelompok. Akibatnya, apabila ada salah seorang dari
kelompok minoritas benar-benar tidak memiliki akses yang memadai dari
komunitasnya, ia tetap akan terpinggirkan dan terasingkan. Makam “umum” akan
tinggal cerita, dan yang ada adalah klaim tentang sesama adalah mereka yang
mati dengan tata cara seagama serta sekomplek makam. Bisa dibayangkan apabila
satu keluarga dengan anggotanya yang menganut berbagai macam agama, tentu tidak
mungkin ada yang namanya makam keluarga. Bahkan orang mati pun, masih
dipisah-pisahkan oleh karena dogma. Sungguh memprihatinkan.
Pada akhirnya, toleransi yang terjadi lebih
karena pihak mayoritas mendapatkan haknya sebagai kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas menerima begitu saja kenyataan itu sebagai dalih untuk
menjaga keamanan dan stabilitas sosial. Apakah keadilan benar-benar dijunjung
tinggi, hal itu tidak lagi diperdebatkan dan diperjuangkan lebih lanjut.
Konsensus yang terjadi pun lebih didasari oleh kehendak untuk menjaga keamanan
dan ketentraman, dan bukan atas dasar keadilan serta keanekaragaman.
Semoga, kasus-kasus penolakan pemakaman
orang kristen di tanah wakaf muslim seperti yang terjadi di Mojokerto tidak
terulang kembali. Semoga, kasus-kasus tersebut justru menjadi dorongan bagi
segenap warga bangsa yang beragama dan beriman untuk semakin menjunjung tinggi
martabat setiap manusia, dengan keadilan sebagai nilai utama yang pantas
diperjuangkan oleh dan untuk setiap orang yang hidup di negeri ini. Sehingga
menghayati agama, bukan seperti sedang mengenakan “kacamata kuda”, namun
seperti kerjasama antara si buta dan si lumpuh yang menuntun dan menggendong
agar sampai ke tujuan akhir, Sang Maha Kuasa, yang memberikan matahari dan
hujan kepada segala makhluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar