Sabtu, 13 April 2019

SEANDAINYA KAMU JOKOWI ATAU PRABOWO



Aku tergerak untuk membuat tulisan ini sebagai pengingat saja bahwa di tahun 2019, bangsa Indonesia pernah mengadakan pesta demokrasi, Pemilu Legislatif dan Pilpres (tanggal 17 April 2019) yang calon presidennya adalah Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto. Kedua orang ini adalah putra-putra terbaik bangsa. Bapak Jokowi, panggilan akrab Bapak Joko Widodo sebenarnya adalah orang baru di politik bangsa ini, sementara Bapak Prabowo termasuk orang yang telah berkiprah di kalangan ring satu pemerintahan. Bapak Jokowi adalah seorang rakyat biasa yang terpanggil untuk menerima amanat rakyat di mulai dari Solo, sementara Bapak Prabowo adalah prajurit TNI sejak zaman Orde Baru. Nama pak Jokowi belum seterkenal Pak Prabowo saat era Orde Baru berakhir karena digantikan oleh gerakan Reformasi tahun 1998. Saat itu, Pak Jokowi adalah seorang warga biasa yang tidak terkenal. Dia juga bukan keturunan dari orang besar negeri ini selain menjadi pengusaha biasa dari Solo dan lulusan Kehutanan UGM. Sementara Pak Prabowo, saat reformasi 1998 bergejolak, beliau adalah menantu dari mantan Presiden Suharto yang telah menjadi presiden hingga 32 tahun. Bapak Prabowo juga memiliki pangkat dalam TNI sebagai bagian dari pejuang pembela negara. Nama beliau mulai dikenal oleh masyarakat negara ini.


Namun semenjak 1998, arah gerak negara ini seringkali masih belum stabil meski mulai tampak maju dengan perlahan. Sebelum era presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 pun, di Indonesia ini telah terjadi tiga kali pergantian presiden. Setelah Pak Harto lengser, lantas diangkatlah Presiden Habibie yang menerima mandat menggantikan Presiden Suharto. Setelah beliau tidak lagi menjadi presiden, terpilihlah Presiden Abdurrahman Wahib atau Gusdur dan kemudian digantikan Ibu Megawati Soekarno Putri. Dalam waktu enam tahun telah terjadi pergantian 3 kali Presiden, sebuah ketidakstabilan yang menandakan bahwa demokrasi di bangsa ini baru saja terlahir. Dan itu semua terjadi karena warganya sendiri. Ternyata rakyat Indonesia masih memerlukan pemersatu dan sistem yang bisa merangkul setiap jiwa yang di dalamnya. Lalu setelah itu muncullah Bapak SBY sebagai presiden terpilih. Meski sampai dua periode kepempimpinan, tetap saja rakyat merasakan ketidakpuasan. Pada periode itu, Bapak Prabowo sebenarnya sudah tampil di kancah politik Indonesia dengan mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra pada tanggal 6 Februari 2008. Mungkin agak sedikit terlambat dari Bapak SBY yang juga adalah seorang TNI untuk tampil di kancah perpolitikan negeri ini. Maka ketika akhirnya Pak SBY terpilih pada Pemilu tahun 2004 sebagai Presiden, Bapak Prabowo mulai juga muncul dengan Partai Gerindra-nya untuk turut berkompetisi pada pemilu tahun 2009. Saat itu beliau sudah mulai dicalonkan sebagai calon wakil Presiden bersama Ibu Megawati Soekarno Putri dari PDIP. Namun sayang, pada pemilihan umum tahun 2009, Bapak SBY kembali terpilih sebagai Presiden bersama Bapak Boediono sebagai wakilnya. Saat itu Bapak Jokowi dimana ya?

Ketika Bapak Prabowo mulai aktif di dunia politik dengan Partai Gerindra-nya sebagai ketua umum, Bapak Jokowi mulai muncul juga tapi dalam tingkat lokal di Kota Solo. Bapak Jokowi bukanlah politikus murni. Beliau ini dipilih oleh rakyat Solo untuk menjadi Walikota mereka. Dan karena dasarnya dari rakyat biasa serta seorang pengusaha biasa (bukan skala nasional), beliau hanya melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai Walikota yang berusaha memperhatikan warganya. Apakah saat itu Bapak Jokowi berharap bisa jadi presiden Republik ini? Kiraku, Pak Jokowi tidak punya niat itu sama sekali. Ketika sejenak aku berusaha merenungkan seandainya aku jadi Pak Jokowi, mungkin yang beliau pikirkan saat itu adalah yang penting dapat melayani warga Solo dengan baik. Sebab beliau adalah seorang pengusaha, maka beliau ingin agar kota yang dipimpinnya tidak bangkrut dan rugi. Jika kota seperti perusahaan, maka Pak Jokowi mungkin ingin kotanya makmur sejahtera dan setiap warganya merasa hidup tenang damai sejahtera pula. Itupun sudah cukup. Jika akhirnya jalan hidup membawa beliau ke Jakarta untuk dipercaya sebagai Gubernur, tentu Pak Jokowi justru merasa semakin besar tanggungjawabnya. Itu artinya, semakin besar kepercayaan yang diberikan, semakin diri sendiri harus dikorbankan. Betul-betul sebuah pilihan yang tidak mudah, sebab bukan kemauan beliau sendiri untuk hijrah ke Jakarta.

Sementara itu, saat kiprah Pak Jokowi di kota Solo mulai viral, Pak Prabowo sebagai ketua umum Partai yang mulai besar setelah pemilu tahun 2009, perlu berjuang pula demi kebaikan DKI yang sedang mencari Kepala Daerah. Beliau tidak bisa mengajukan diri beliau sendiri sehingga meminta Pak Jokowi untuk bersedia menjadi Gubernur DKI yang didukung oleh partainya. Sungguh mulia niat Pak Prabowo ini, dan niat ini disambut baik pula oleh Bapak Jokowi dan Pak Ahok saat itu. Akhirnya Pak Jokowi dan Pak Ahok terpilih sebagai gubernur DKI. Entah apa yang ada di benak pak Jokowi saat terpilih itu, namun aku kira beliau sebenarnya merasa alur hidupnya tidak lagi miliknya sendiri, tetapi milik rakyat melalui partai yang mengusungnya. Dengan demikian, Bapak Jokowi akan selalu hormat dengan Bapak Prabowo yang telah membuka jalan hidup pengabdiannya bagi negeri ini. Lalu apa yang dirasakan Pak Prabowo ketika melihat Pak Jokowi terpilih jadi gubernur DKI?

Tentu sebagai seorang negarawan, beliau Pak Prabowo akan sujud syukur karena orang yang beliau dukung ternyata dipercaya oleh rakyat. Ini semua demi kebaikan bangsa yang dimulai dari DKI Jakarta. Tetapi apakah memang itu yang dirasakan, aku benar-benar tidak tahu. Yang jelas beliau telah turut membangun bangsa melalui partainya dengan mengajukan orang yang dipercaya oleh rakyat. Harapannya, partainya akan semakin mendapat tempat di hati rakyat. Dengan begitu, partainya akan memenangkan pemilu dan memerintah negeri ini. Jika begitu, tujuannya menang pemilu apakah demi kebaikan negeri ini atau untuk berkuasa?

Tapi politik Indonesia itu lucu. Tak bisa dirahasiakan bahwa para politikus itu seringkali bermanis bibir hendak membangun negeri, tetapi sebenarnya hanya ingin berkuasa. Sebuah fenomena aneh yang terjadi ketika akhirnya Pak Jokowi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada Pemilu tahun 2014. Dan semakin aneh ketika lawan yang menjadi calon presiden adalah orang yang dulu membawa beliau ke Jakarta, Bapak Prabowo Subianto. Bagaimana ya perasaan Pak Jokowi saat itu? Tentu perasaan Pak Jokowi sudah remuk redam karena dihadapkan pada pilihan untuk menghormati seniornya atau menghormati kehendak rakyat. Pilihan beliau sudah jelas, Pak Jokowi lebih memilih mengemban amanat rakyat meski dirinya sekarang ini menyadari bahwa jalan hidupnya tentu akan makin berat. Mengapa berat? Sebab menjadi Presiden bukanlah tujuannya untuk kepentingan pribadi tetapi demi menjalankan amanat rakyat. Dan semakin berat lagi karena berhadapan dengan seseorang yang dihormati beliau, seseorang yang telah membuka jalan beliau untuk pengabdian yang lebih besar kepada negeri ini. Sampai kapanpun Bapak Jokowi akan tetap hormat kepada Bapak Prabowo.

Mengenai perasaan Pak Prabowo bagaimana ketika Pak Jokowi terpilih, aku tidak berani mengira-ira. Mungkin beliau merasa bersyukur karena orang yang dibawanya dari Solo akhirnya boleh mengabdi sebagai pemimpin negeri ini. Namun di sisi lain, beliau juga mungkin merasa ditinggalkan karena sebenarnya tujuan beliau membawa Jokowi ke Jakarta adalah untuk kepentingan Partainya. Mengapa orang yang dibawa ke Jakarta untuk membantu beliau untuk lebih dipercaya lagi oleh rakyat ternyata justru membuatnya kalah dalam Pilpres tahun 2014. Tentu ada hal yang mungkin tidak dilihat oleh Pak Prabowo bahwa partai politik itu bukan melulu untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh rakyat, tapi sebagai sarana pelayanan bagi rakyat. Kenapa niat yang telah tertanam dulu demi kebaikan DKI dan itu sudah terlaksana, tidak tetap diperjuangkan dengan tidak mengusung diri sendiri tetapi memberikan alternatif lain demi semakin baiknya negeri ini. Sudah jelas bahwa Bapak Jokowi itu dipercaya rakyat, kenapa tidak justru mendukung rakyat yang sudah jelas merasakan pelayanan Pak Jokowi.

Tapi politik Indonesia itu memang begitu lucu. Rakyat Indonesia ini selalu merasa kurang puas dengan kerja baik seseorang, siapapun itu, karena setiap orangnya pengin menjadi yang terkenal, yang paling hebat, dan paling menang. Jadi jika akhirnya Bapak Jokowi bisa melaksanakan tugasnya di Solo dan di DKI dengan baik, justru tidak akan diterima karena banyak yang pada tidak percaya tentang kinerja baik. Lihat saja di sekelilingmu, jika ada orang yang benar-benar baik, kenapa malah justru banyak dimusuhi? Satu-satunya yang dapat diterima adalah orang yang bisa diajak berbuat jahat bersama seperti misalnya korupsi berjamaah. Sejauh diri sendiri mendapatkan keinginannya, seseorang yang tidak mengusiknya akan dijadikan temannya, sementara mereka yang berusaha untuk mengingatkan dan menuntun kepada kebenaran justru akan dimusuhi.

Dan itulah yang terjadi sekarang ini dengan lahirnya istilah Cebong dan Kampret. Sebenarnya niat mereka adalah demi kebaikan Indonesia. Bukankah itu sebuah niat yang luhur? Tapi kenapa harus membenci Pak Jokowi, membenci Pak Prabowo? Kedua Putra terbaik bangsa ini hanya ingin berjuang demi kebaikan negeri ini tapi kenapa harus diwarnai dengan kebencian? Bagaimana perasaan Pak Jokowi dan Pak Prabowo menyaksikan pertentangan di antara rakyatnya sendiri? Tapi setelah kita melihat lebih jauh atas peristiwa itu, ada hal lain yang perlu dilihat lebih dalam: siapakah dan kelompok manakah yang benar-benar ingin mengabdi dan siapa serta kelompok manakah yang hanya ingin mendapatkan kekuasaan? Aku kira Pak Jokowi dan Pak Prabowo tahu akan hal itu. Semoga bangsa ini dibebaskan dari sikap dan sifat rakus dari rakyatnya untuk berkuasa, entah karena individu, karena kepentingan ekonomi, ideologi, golongan agama, suku atau apapun. Sebab Indonesia adalah sebuah keluarga besar. Sebagai saudara, tentu seorang kakak bahkan akan mengalah pada adik yang lebih bisa membawa keluarga itu kepada kebahagiaan. Demikian juga, seorang adik akan mengemban tugas membahagiakan keluarga dan menghormati kakaknya dengan tulus demi kejayaan keluarga. Semoga.

BEDA BOLEH, TAPI BENCI JANGAN
MENGHORMATI PERBEDAAN DENGAN TULUS ADALAH PANCASILA,
SEMENTARA KEBENCIAN ADALAH NEO-NAZI SEPERTI ZAMAN HITLER DI JERMAN
DAN INGATLAH, BUKAN NAZI YANG MEMBUAT JERMAN BERJAYA,
NAZI TELAH MENEMPATKAN JERMAN DI JURANG KEHANCURAN


Salam,
Yohanes Ari Purnomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar