Aku tergerak untuk membuat tulisan ini sebagai
pengingat saja bahwa di tahun 2019, bangsa Indonesia pernah mengadakan pesta
demokrasi, Pemilu Legislatif dan Pilpres (tanggal 17 April 2019) yang calon presidennya adalah Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo
Subianto. Kedua orang ini adalah putra-putra terbaik bangsa. Bapak Jokowi,
panggilan akrab Bapak Joko Widodo sebenarnya adalah orang baru di politik
bangsa ini, sementara Bapak Prabowo termasuk orang yang telah berkiprah di
kalangan ring satu pemerintahan. Bapak Jokowi adalah seorang rakyat biasa yang
terpanggil untuk menerima amanat rakyat di mulai dari Solo, sementara Bapak
Prabowo adalah prajurit TNI sejak zaman Orde Baru. Nama pak Jokowi belum
seterkenal Pak Prabowo saat era Orde Baru berakhir karena digantikan oleh
gerakan Reformasi tahun 1998. Saat itu, Pak Jokowi adalah seorang warga biasa
yang tidak terkenal. Dia juga bukan keturunan dari orang besar negeri ini
selain menjadi pengusaha biasa dari Solo dan lulusan Kehutanan UGM. Sementara
Pak Prabowo, saat reformasi 1998 bergejolak, beliau adalah menantu dari mantan
Presiden Suharto yang telah menjadi presiden hingga 32 tahun. Bapak Prabowo
juga memiliki pangkat dalam TNI sebagai bagian dari pejuang pembela negara.
Nama beliau mulai dikenal oleh masyarakat negara ini.
Namun semenjak 1998, arah gerak negara ini
seringkali masih belum stabil meski mulai tampak maju dengan perlahan. Sebelum
era presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 pun, di Indonesia ini
telah terjadi tiga kali pergantian presiden. Setelah Pak Harto lengser, lantas
diangkatlah Presiden Habibie yang menerima mandat menggantikan Presiden
Suharto. Setelah beliau tidak lagi menjadi presiden, terpilihlah Presiden
Abdurrahman Wahib atau Gusdur dan kemudian digantikan Ibu Megawati Soekarno Putri.
Dalam waktu enam tahun telah terjadi pergantian 3 kali Presiden, sebuah
ketidakstabilan yang menandakan bahwa demokrasi di bangsa ini baru saja
terlahir. Dan itu semua terjadi karena warganya sendiri. Ternyata rakyat
Indonesia masih memerlukan pemersatu dan sistem yang bisa merangkul setiap jiwa
yang di dalamnya. Lalu setelah itu muncullah Bapak SBY sebagai presiden
terpilih. Meski sampai dua periode kepempimpinan, tetap saja rakyat merasakan
ketidakpuasan. Pada periode itu, Bapak Prabowo sebenarnya sudah tampil di
kancah politik Indonesia dengan mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau
Gerindra pada tanggal 6 Februari 2008. Mungkin agak sedikit terlambat dari
Bapak SBY yang juga adalah seorang TNI untuk tampil di kancah perpolitikan
negeri ini. Maka ketika akhirnya Pak SBY terpilih pada Pemilu tahun 2004
sebagai Presiden, Bapak Prabowo mulai juga muncul dengan Partai Gerindra-nya
untuk turut berkompetisi pada pemilu tahun 2009. Saat itu beliau sudah mulai
dicalonkan sebagai calon wakil Presiden bersama Ibu Megawati Soekarno Putri
dari PDIP. Namun sayang, pada pemilihan umum tahun 2009, Bapak SBY kembali
terpilih sebagai Presiden bersama Bapak Boediono sebagai wakilnya. Saat itu
Bapak Jokowi dimana ya?
Ketika Bapak Prabowo mulai aktif di dunia
politik dengan Partai Gerindra-nya sebagai ketua umum, Bapak Jokowi mulai
muncul juga tapi dalam tingkat lokal di Kota Solo. Bapak Jokowi bukanlah
politikus murni. Beliau ini dipilih oleh rakyat Solo untuk menjadi Walikota mereka.
Dan karena dasarnya dari rakyat biasa serta seorang pengusaha biasa (bukan
skala nasional), beliau hanya melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai
Walikota yang berusaha memperhatikan warganya. Apakah saat itu Bapak Jokowi
berharap bisa jadi presiden Republik ini? Kiraku, Pak Jokowi tidak punya niat
itu sama sekali. Ketika sejenak aku berusaha merenungkan seandainya aku jadi
Pak Jokowi, mungkin yang beliau pikirkan saat itu adalah yang penting dapat
melayani warga Solo dengan baik. Sebab beliau adalah seorang pengusaha, maka
beliau ingin agar kota yang dipimpinnya tidak bangkrut dan rugi. Jika kota
seperti perusahaan, maka Pak Jokowi mungkin ingin kotanya makmur sejahtera dan
setiap warganya merasa hidup tenang damai sejahtera pula. Itupun sudah cukup. Jika
akhirnya jalan hidup membawa beliau ke Jakarta untuk dipercaya sebagai
Gubernur, tentu Pak Jokowi justru merasa semakin besar tanggungjawabnya. Itu
artinya, semakin besar kepercayaan yang diberikan, semakin diri sendiri harus
dikorbankan. Betul-betul sebuah pilihan yang tidak mudah, sebab bukan kemauan
beliau sendiri untuk hijrah ke Jakarta.
Sementara itu, saat kiprah Pak Jokowi di kota
Solo mulai viral, Pak Prabowo sebagai ketua umum Partai yang mulai besar
setelah pemilu tahun 2009, perlu berjuang pula demi kebaikan DKI yang sedang
mencari Kepala Daerah. Beliau tidak bisa mengajukan diri beliau sendiri
sehingga meminta Pak Jokowi untuk bersedia menjadi Gubernur DKI yang didukung
oleh partainya. Sungguh mulia niat Pak Prabowo ini, dan niat ini disambut baik
pula oleh Bapak Jokowi dan Pak Ahok saat itu. Akhirnya Pak Jokowi dan Pak Ahok
terpilih sebagai gubernur DKI. Entah apa yang ada di benak pak Jokowi saat
terpilih itu, namun aku kira beliau sebenarnya merasa alur hidupnya tidak lagi
miliknya sendiri, tetapi milik rakyat melalui partai yang mengusungnya. Dengan
demikian, Bapak Jokowi akan selalu hormat dengan Bapak Prabowo yang telah
membuka jalan hidup pengabdiannya bagi negeri ini. Lalu apa yang dirasakan Pak
Prabowo ketika melihat Pak Jokowi terpilih jadi gubernur DKI?
Tentu sebagai seorang negarawan, beliau Pak
Prabowo akan sujud syukur karena orang yang beliau dukung ternyata dipercaya
oleh rakyat. Ini semua demi kebaikan bangsa yang dimulai dari DKI Jakarta. Tetapi
apakah memang itu yang dirasakan, aku benar-benar tidak tahu. Yang jelas beliau
telah turut membangun bangsa melalui partainya dengan mengajukan orang yang
dipercaya oleh rakyat. Harapannya, partainya akan semakin mendapat tempat di
hati rakyat. Dengan begitu, partainya akan memenangkan pemilu dan memerintah
negeri ini. Jika begitu, tujuannya menang pemilu apakah demi kebaikan negeri
ini atau untuk berkuasa?
Tapi politik Indonesia itu lucu. Tak bisa
dirahasiakan bahwa para politikus itu seringkali bermanis bibir hendak
membangun negeri, tetapi sebenarnya hanya ingin berkuasa. Sebuah fenomena aneh
yang terjadi ketika akhirnya Pak Jokowi terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia pada Pemilu tahun 2014. Dan semakin aneh ketika lawan yang menjadi
calon presiden adalah orang yang dulu membawa beliau ke Jakarta, Bapak Prabowo
Subianto. Bagaimana ya perasaan Pak Jokowi saat itu? Tentu perasaan Pak Jokowi
sudah remuk redam karena dihadapkan pada pilihan untuk menghormati seniornya
atau menghormati kehendak rakyat. Pilihan beliau sudah jelas, Pak Jokowi lebih
memilih mengemban amanat rakyat meski dirinya sekarang ini menyadari bahwa
jalan hidupnya tentu akan makin berat. Mengapa berat? Sebab menjadi Presiden
bukanlah tujuannya untuk kepentingan pribadi tetapi demi menjalankan amanat
rakyat. Dan semakin berat lagi karena berhadapan dengan seseorang yang
dihormati beliau, seseorang yang telah membuka jalan beliau untuk pengabdian
yang lebih besar kepada negeri ini. Sampai kapanpun Bapak Jokowi akan tetap
hormat kepada Bapak Prabowo.
Mengenai perasaan Pak Prabowo bagaimana ketika
Pak Jokowi terpilih, aku tidak berani mengira-ira. Mungkin beliau merasa
bersyukur karena orang yang dibawanya dari Solo akhirnya boleh mengabdi sebagai
pemimpin negeri ini. Namun di sisi lain, beliau juga mungkin merasa
ditinggalkan karena sebenarnya tujuan beliau membawa Jokowi ke Jakarta adalah
untuk kepentingan Partainya. Mengapa orang yang dibawa ke Jakarta untuk
membantu beliau untuk lebih dipercaya lagi oleh rakyat ternyata justru
membuatnya kalah dalam Pilpres tahun 2014. Tentu ada hal yang mungkin tidak
dilihat oleh Pak Prabowo bahwa partai politik itu bukan melulu untuk memperoleh
kekuasaan dan pengaruh rakyat, tapi sebagai sarana pelayanan bagi rakyat.
Kenapa niat yang telah tertanam dulu demi kebaikan DKI dan itu sudah
terlaksana, tidak tetap diperjuangkan dengan tidak mengusung diri sendiri
tetapi memberikan alternatif lain demi semakin baiknya negeri ini. Sudah jelas
bahwa Bapak Jokowi itu dipercaya rakyat, kenapa tidak justru mendukung rakyat
yang sudah jelas merasakan pelayanan Pak Jokowi.
Tapi politik Indonesia itu memang begitu lucu.
Rakyat Indonesia ini selalu merasa kurang puas dengan kerja baik seseorang,
siapapun itu, karena setiap orangnya pengin menjadi yang terkenal, yang paling
hebat, dan paling menang. Jadi jika akhirnya Bapak Jokowi bisa melaksanakan
tugasnya di Solo dan di DKI dengan baik, justru tidak akan diterima karena banyak
yang pada tidak percaya tentang kinerja baik. Lihat saja di sekelilingmu, jika
ada orang yang benar-benar baik, kenapa malah justru banyak dimusuhi?
Satu-satunya yang dapat diterima adalah orang yang bisa diajak berbuat jahat
bersama seperti misalnya korupsi berjamaah. Sejauh diri sendiri mendapatkan
keinginannya, seseorang yang tidak mengusiknya akan dijadikan temannya,
sementara mereka yang berusaha untuk mengingatkan dan menuntun kepada kebenaran
justru akan dimusuhi.
Dan itulah yang terjadi sekarang ini dengan
lahirnya istilah Cebong dan Kampret. Sebenarnya niat mereka adalah demi
kebaikan Indonesia. Bukankah itu sebuah niat yang luhur? Tapi kenapa harus
membenci Pak Jokowi, membenci Pak Prabowo? Kedua Putra terbaik bangsa ini hanya
ingin berjuang demi kebaikan negeri ini tapi kenapa harus diwarnai dengan
kebencian? Bagaimana perasaan Pak Jokowi dan Pak Prabowo menyaksikan
pertentangan di antara rakyatnya sendiri? Tapi setelah kita melihat lebih jauh
atas peristiwa itu, ada hal lain yang perlu dilihat lebih dalam: siapakah dan
kelompok manakah yang benar-benar ingin mengabdi dan siapa serta kelompok
manakah yang hanya ingin mendapatkan kekuasaan? Aku kira Pak Jokowi dan Pak
Prabowo tahu akan hal itu. Semoga bangsa ini dibebaskan dari sikap dan sifat
rakus dari rakyatnya untuk berkuasa, entah karena individu, karena kepentingan
ekonomi, ideologi, golongan agama, suku atau apapun. Sebab Indonesia adalah
sebuah keluarga besar. Sebagai saudara, tentu seorang kakak bahkan akan
mengalah pada adik yang lebih bisa membawa keluarga itu kepada kebahagiaan.
Demikian juga, seorang adik akan mengemban tugas membahagiakan keluarga dan
menghormati kakaknya dengan tulus demi kejayaan keluarga. Semoga.
BEDA BOLEH, TAPI BENCI JANGAN
MENGHORMATI PERBEDAAN DENGAN TULUS ADALAH
PANCASILA,
SEMENTARA KEBENCIAN ADALAH NEO-NAZI SEPERTI
ZAMAN HITLER DI JERMAN
DAN INGATLAH, BUKAN NAZI YANG MEMBUAT JERMAN
BERJAYA,
NAZI TELAH MENEMPATKAN JERMAN DI JURANG KEHANCURAN
Salam,
Yohanes Ari Purnomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar