Suatu ketika, bapakku duduk di ruang tengah
keluarga. Beliau tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Aku mencoba untuk
lebih dekat, melihat apa yang sedang dikerjakan bapak. Rupanya beliau sedang
membuat sebuah sarung senjata. Senjata itu berupa pisau kecil, menyerupai keris
kecil yang katanya beliau temukan di sebuah sungai. Senjata itu tampak jelek,
kusam dan terlihat kuno. Namun bapak menurut bapak, senjata itu tampak unik dan
seperti bertuah. Lalu beliau merawat dan membuatkan sarungnya. Beberapa kali,
bapak menggunakan senjata itu untuk menebak angka togel. Tapi selalu saja,
bapak tidak pernah berhasil menebak dengan benar angka togel yang keluar. Meski
begitu, bapak tetap merawat senjata itu dan setiap kali tampak membersihkannya.
Semenjak bapak seda (meninggal) senjata itu pun tak kelihatan lagi, entah
dimana sekarang senjata itu.
Kadang aku merasakan kangen dengan bapak yang
sudah meninggal ketika usia beliau baru 45 tahun. Ingin sepertinya untuk bisa
bercengkerama lebih lama dengan beliau, namun Sang Hyang Hidup telah menyatakan
tugasnya di dunia selesai dan harus kembali kepada-Nya. Saat itu aku baru kelas
tiga SMP, dan merasa begitu sedih ketika ditinggal bapak untuk menghadapNya.
Meski begitu, kenangan-demi kenangan masih tersimpan dalam benakku, meski tidak
banyak. Memang, bapak dulu tidak serumah denganku dalam waktu yang cukup lama.
Beliau merantau di Jogja, sementara aku tinggal di Klaten. Semenjak aku lahir
hingga aku kelas lima SD, bapak bekerja di Jogja. Hanya sesekali beliau pulang
ke Klaten, atau aku bersama ibu dan adik berkunjung ke Jogja, ke rumah kakek
dimana bapakku tinggal. Selalu saja, pengalaman bersama beliau membuatku
mengerti tentang tanggungjawab, kasih sayang dan juga kegembiraan dalam menjalani
hidup yang tidak ringan ini.
Setelah aku kelas lima SD, bapak kembali
bersatu di rumah Klaten. Beliau mencari pekerjaan di sekitar rumah. Berpeluh
dan berjerih lelah untuk memelihara keluarga. Pernah suatu kali aku dan adik
dibelikan baju oleh beliau. Bajunya warna biru dan merah, dan aku serta adikku
sangat senang menerimanya. Selama itu pula, bapak tidak pernah malu dengan
anak-anaknya bahwa dirinya adalah seorang yang tidak punya apa-apa. Selama SD,
aku dan adikku jarang sekali dibelikan baju oleh bapak, hanya seragam sekolah
dan alat-alat sekolah lainnya. Baju-baju kami adalah pemberian “lungsuran”
(baju bekas) dari tetangga yang memiliki anak seumuranku. Aku tetap bersyukur
oleh karena itu, dan aku tak pernah menuntut bapak untuk memenuhi segala
keinginanku. Sebab aku tahu, bapak tetaplah seorang pekerja keras, meski
hasilnya kadang tidak bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga.
Meski begitu, menurutku, bapakku adalah seorang
bapak yang benar-benar menyayangi keluarganya. Kesukaan beliau adalah
memelihara burung dan membuat sangkar burung. Selepas bekerja sebagai buruh
kasar di peternakan ayam, beliau membuat kandang ayam di samping rumah. Lalu
sewaktu gajian, beliau membeli sepasang ayam kampung dan berpesan pada ibu
serta anak-anaknya untuk memelihara ayam. Karena kesukaan beliau membuat
sangkar burung, beberapa kali juga beliau bisa menjual sangkar burungnya, untuk
sekedar memberi uang saku untuk aku dan adikku. Biasanya beliau membuat sangkar
burung pada malam hari, sementara aku dan adikku belajar, ibu membatik sambil
diiringi sandiwara radio. Ah, aku benar-benar kangen saat itu.
Suatu ketika bapak pulang dari pasar selepas
gajian, beliau membawa sebuah kotak dengan warna kotak-kotak hitam putih. Hore,
bapak membeli catur. Aku dan adikku segera menyukai permainan catur yang
diajarkan bapak selepas kami belajar. Biasanya, aku bertanding dulu dengan
adik, lalu pemenangnya melawan bapak. Aku selalu kalah dari bapak dan adikku.
Namun bapak selalu kalah dengan adikku. Permainan catur menjadi permainan yang
begitu mengasikkan jika bersama dengan bapak. Permainan itu menjadi semacam
oase di tengah-tengah kelelahan beliau setelah bekerja keras seharian.
Sementara kami bermain catur, ibu tetap membatik untuk mendapatkan tambahan
pendapatan bagi keluarga.
Aku masih ingat, ketika aku sakit flu dan
demam, aku tidak perlu obat-obatan sebab obatku hanyalah dipijit oleh bapak.
Ajaibnya, flu yang kuderita cepat sekali pergi setelah dipijit bapak dan minum
jamu perasan daun pepaya buatan ibu. Selama hidup beliau, bapak tidak pernah
memukul, mencubit, ataupun menendang kami. Sebab ketika bapak marah dan
menghardik kami, aku dan adikku langsung takut. Bapak memang tidak pernah
memukul, termasuk saat bertengkar sama ibu.
Bapakku bukanlah orang yang hebat. Sekolahnya
hanya sampai SD saja. Badannya kurus dan seperti lemah sekali. Namun bapak
selalu memiliki kemauan keras dan prinsip yang teguh. Hal itulah yang
diwariskan kepada anak-anaknya. Pernah suatu ketika bapak berpesan kepadaku dan
adikku, bahwa beliau hanya bisa menyekolahkanku hingga sampai SMA saja, setelah
itu, aku dan adikku disuruh berjuang sendiri. Kata-kata bapak itu terpatri
dalam dalam di hatiku. Dan benar, bapak akhirnya dipanggil Tuhan sebelum aku
lulus SMP. Untuk bisa melanjutkan SMA saja, aku dan adikku sudah harus berpikir
sendiri, karena ibu juga tidak mampu untuk menggantikan peran bapak. Namun aku
tidak pernah menyalahkan bapak dan ibu. Justru aku berbangga dengan mereka,
atas warisan keteladangan hidup yang mereka berikan kepadaku serta adikku.
Bapak dan ibu selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki dan diperjuangkan.
Bahkan ketika mereka tidak bisa membelikan selalu baju baru kepada
anak-anaknya, mereka tidak malu untuk jujur kepada anak-anaknya tentang situasi
keluarga.
Soal sekolah, bapak dan ibu tidak pernah
memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, sebab mereka menyadari bahwa mereka
tidak sampai lulus SD. Pesan mereka kepada kami hanyalah supaya menjadi orang
yang menaruh hormat pada sesama, menjadi orang baik, jujur dan rendah hati.
Petuah bapak ibu ini sekarang kupahami sebagai petuah orang Jawa tulen yang
narimo ing pandum (penuh syukur), prasaja (jujur dan sederhana), dan tekun.
Jika akhirnya kami berdua berhasil mendapat juara kelas, bapak dan ibu hanya
berpesan supaya tetap menjadi orang baik. Mereka tidak terbutakan oleh
keinginan agar anaknya jadi orang pintar, tapi menjadi orang baik. Bagi mereka,
sekolah tinggi tidak ada artinya apa-apa jika orang tidak menjadi baik dengan
kepintarannya. Jadi, sebelum menjadi orang pintar, hendaknya jadi orang baik dulu.
Dan jika sudah jadi orang baik, tetaplah dipertahankan dengan tulus, bahkan
jika kepintaran menggoda untuk mengorbankan kebaikan.
Maka, setiap kali kami berhasil juara kelas
saat di SD, bapak dan ibu tidak akan memberi hadiah yang mewah-mewah, cukup
menraktir kami makan mie ayam atau bakso, dan sesekali mengajak kami berdua ke
rumah kakek di Jogja saat Sekaten tiba. Jadi, aku dan adikku selalu berlomba
untuk bisa makan mie ayam setiap catur wulan (waktu itu sekolah masih
menggunakan sistem evaluasi/ujian catur wulan). Meski kalau yang berhasil juara
itu hanya aku, adik juga ikut dibelikan mie ayam. Itupun sudah cukup memacu
diriku untuk selalu bisa ditraktir mie ayam setiap habis terima raport. Oleh
karena itu pula lalu aku mendapatkan beasiswa Supersemar dari pemerintah hingga
lulus SMP, karena secara akademik, aku bisa bertanggung jawab, meski tidak
selalu menjadi juara. Itu juga karena ajaran dari bapak ibu.
Bapakku memang bukan seorang Katolik yang taat.
Beliau jarang berangkat ke gereja, karena pada hari Minggu, peternakan tempat
beliau bekerja tidak memperbolehkan libur. Sebab jika libur, lantas ayam ayam
itu siapa yang memberi makan. Namun aku tahu, bapak sangat percaya kepada
Tuhan. Hal itu ditunjukkan dengan tanggungjawab untuk menghidupi keluarga dan
menyayangi anak-anaknya. Pernah suatu ketika aku menitikkan air mata, ketika
bapak mulai sakit kakinya (seperti rematik) tetap memaksa diri bekerja sebagai
buruh bangunan. Aku mengantar beliau dengan sepeda ke tempat kerja. Dan kulihat
bapak menahan sakit sambil menyeret kakinya mengaduk semen dan mengantarnya ke
tukang. Hingga akhirnya bapak jatuh lumpuh, tidak pernah kudengar keluhan
keluar dari mulut beliau. Demikian juga ketika aku tahu bapak sering bertengkar
dengan ibu saat menjelang beliau sakit, akhirnya beliau meminta maaf pada ibu
sebelum meninggalnya. Kemarahan bapak pada ibu disadari beliau sebagai bagian
dari masa lalu beliau yang harus menderita bekerja sejak kecil karena ditinggal
meninggal oleh ibunda beliau (nenekku) saat bapak masih usia SD kelas 1.
Bapak memperlakukanku dan adik seperti seorang
sahabat. Diajak main catur, diajak bertemu dengan keluarga besar bapak, dan
terkadang pula diajak untuk bekerja membantu beliau. Suatu ketika pas main
catur, aku belajar melinting rokok bapak dan merokoknya. Bapak tidak melarang,
namun ibu memarahiku. Namun setelah aku terbatuk-batuk, bapak berpesan padaku: “Le
(putraku), besok kamu jangan merokok ya, kalau minum (minuman keras) ndak
apa-apa”. Aku kaget mendengar penuturan bapakku. Bapak memang seorang perokok
berat, namun kenapa aku justru diijinkan kalau minum minuman keras. Aku
benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran bapakku ini. Bapak macam apa itu
yang malah mengijinkan anaknya minum minuman keras. Namun setelah aku
ditahbiskan jadi pastor, aku baru mengerti apa arti pesan bapak itu. Aku
sekarang ini jika memimpin misa harian atau misa minggu, aku hampir setiap hari
meminum anggur. Sungguh tergetar aku mengenang kembali pesan bapak itu. Namun
aku merasa berdosa pada bapak karena tidak bisa menunaikan pesan beliau untuk
tidak merokok.
Aku teringat, suatu kali bapak membelikan aku
sepeda. Aku senang sekali meski sepeda yang dibeli itu sepeda seken yang sudah
tidak begitu bagus. Tapi oleh bapak dipermak jadi sepeda yang kokoh. Aku pun
diajari beliau naik sepeda, dan sepeda itu akhirny menemaniku berangkat sekolah
hingga aku lulus SMP. Setelah lulus SMP dan aku sekolah di Seminari, sepeda itu
tetap dirawat ibu, namun akhirnya dijual karena sudah jarang digunakan.
Dari bapak aku boleh belajar banyak hal,
terutama tentang tanggungjawab, tentang persahabatan, tentang kejujuran. Pernah
suatu ketika, aku bersama adik diajak untuk bertemu dengan keluarga bapak di
sebuah makam leluhur keluarga besar bapak. Pertemuan itu diadakan pada malam
hari. Makam dengan rumah tidak begitu jauh, sekitar 1 kilometer. Setelah
selesai bertemu dengan keluarga besar, mereka menginap di penginapan sekitar
makam sementara kami bertiga pulang ke rumah. Di tengah jalan kampung, kami
bertiga berjalan beriringan. Ketika melewati sebuah jembatan dekat rumah yang
di dekat jembatan itu tumbuh sebatang pohon gayam, tiba-tiba ada suara seperti
benda jatuh mengenai daun-daun gayam kering. Bapak lalu memberitahu kami supaya
tidak takut, karena menurut beliau itu hanya buah gayam yang jatuh. Namun
setelah beliau berkata demikian, beliau lari duluan menuju rumah. Setelah
sampai rumah dengan terengah-engah, aku lantas tanya kepada bapak, kenapa bapak
lari duluan kalau itu hanya buah gayam yang jatuh. Dan jawaban beliau pun
membuatku tersenyum senyum saat mengingatnya kembali. Beliau menjawab: “aku yo
wedi je le” (aku juga takut, nak). Bapak tidak malu mengakui kejujurannya dan
kerapuhannya. Dan itu aku maknai setelahnya sebagai wujud rasa persahabatan
yang tulus kepada aku dan adikku.
Sekarang bapak sudah damai bersama Sang Hyang
Hidup. Namun kenangannya akan selalu abadi di benakku, dan adikku,
anak-anaknya. Mungkin secara materi, bapakku bukanlah seorang bapak yang
spektakuler seperti bapak-bapak super lainnya, namun sebagai seorang bapak,
sahabat dan guru, beliau tetap luar biasa bagiku. Perkataan-perkataan beliau
lebih mirip seperti nubuat bagiku meski hidup beliau tidak begitu lama. Pernah
ada seseorang dari keluarga bapakku yang menyampaikan kepadaku bahwa bapak dulu
sering mengatakan kepada mereka jika kelak aku akan jadi pastor. Dan ketika aku
benar-benar boleh ditahbiskan, barulah mereka menyampaikan kepadaku. Tak
kusadari, bapak ternyata mendoakanku dan memberiku semacam sugesti untuk tetap
percaya kepada alur Sang Hyang Widi tentang perjalanan hidup puteranya. Doa
orang tua ternyata begitu luar biasa, meski itu diungkapkan dengan sangat
sederhana hanya dikalangan keluarganya sendiri. Aku tak pernah menyadarinya
karena saat itu aku masih dalam gendongan ibuku.
Aku hanya ingin mengenang sejenak beliau
bapakku. Semoga aku tidak mengecewakan beliau, meski telah melanggar salah satu
pesan beliau. Semoga aku tidak lagi melewatkan warisan-warisan beliau yang amat
berharga, lebih berharga dari warisan harta benda berlimpah-limpah sekalipun.
Bapakku, seorang bapak biasa, seorang desa yang tak pintar dan terpelajar,
seorang bapak yang banyak kelemahan, seorang bapak yang berani mengakui
kekurangannya, seorang bapak yang ditempa oleh penderitaan di sepanjang
hidupnya, seorang bapak yang singkat hidupnya, seorang bapak yang kurus seperti
penyakitan, seorang bapak yang tidak ganteng dan pemuja penampilan, seorang
bapak yang tak punya ambisi apapun terhadap anak-anaknya, dan akan tetap
seperti itu hingga akhir perjalanan hidupnya. Namun bagiku, bapakku adalah guru
spiritualku, bapak adalah panutanku, bapak adalah sahabatku, bapak adalah
bapakku, bapak adalah pendoaku, bapak adalah pahlawanku.
Aku kangen bapak. Maaf jika aku menulis ini
dengan hati mengharu biru hampir menangis. Aku tidak mau menangis lagi, pak.
Sebab tangisanku sudah kucurahkan semuanya ketika Sang Hyang Hidup menitahkan
SabdaNya untuk memanggil bapak kembali kepadaNya. Tangisanku saat itu adalah
tangisan kesedihan, tapi keharuan sekarang adalah rasa syukur kepada Tuhan
karena boleh menjadi anakmu. Sekarang, Rudi sudah punya putra, Emmanuel Jendra
Wirasena yang dibaptis juga dengan nama baptis Bapak, Emmanuel. Doakanlah kami
anak-anakmu, pak.
Mengenang bapak: Emmanuel Prapto Mulyono
Dari anakmu
Yohanes Ari Purnomo
Agustinus Rudi Winarto
Romo menulis hampir menangis, saya membaca sambil berlinang air mata,terlahir dari keluarga sederhana membuat Romo dan Mas Rudi menjadi orang orang keren namun tetap rendah hati,doa orangtua itu istimewa, dan Allah itu luar biasa..
BalasHapustetap semangat ya, hormat dan cinta kepada orang tua menjadi bagian dari perjalanan iman...
Hapus