Menyaksikan anggota keluarga Suparman, korban penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Pandeglang, hati ini terusik miris karena sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anak. Ketika mendengar isu bahwa akan terjadi serangan kembali, mereka diungsikan di Polres Pandeglang dengan situasi mental dan fisik terancam. Mereka, yang sehari-harinya sebagai petani, tak mengerti sama sekali tentang politik, tentang ormas, tentang koruptor, tentang pemerintahan, tentang wakil rakyat, harus menanggung beban derita terlunta-lunta, terusir dari tanah tumpah darah mereka. Mereka juga orang Indonesia, yang sehari-hari menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menumbuhkan padi, ataupun tanaman pangan lainnya. Mereka hanya tahu bekerja dan beribadah, sebab mereka sadar bahwa Tuhanlah yang memberi kecukupan segala sesuatu kepada mereka melalui karya mereka. Mereka hanya ingin hidup damai, hidup rukun meski mereka memiliki cara berbeda dalam menghayati kecintaan mereka pada Tuhan.
Semenjak terjadinya kerusuhan itu, menjadi warga negara di negeri ini seolah-olah menjadi warga asing. Semenjak kejadian itu, menjadi warga negara di negeri ini seolah-olah selalu menjadi pesakitan ketika kita memiliki pandangan yang berbeda. Tetapi itulah kenyataannya dan selalu ada. Dan korbannya pun selalu sama: rakyat kecil.
Di samping kerusuhan-kerusuhan yang menyesakkan dan meneror itu, masih ada lagi peristiwa-peristiwa tragis yang menimbulkan korban dari rakyat kecil. Kasus korupsi, mafia hukum, kebohongan publik, dan lain sebagainya. Korbannya pun sama: rakyat kecil. Atas peristiwa itu semua, kadang saya malu menjadi warga negara ini, tapi itulah negara saya. Ada banyak misteri yang melingkupinya. Kepentingan demi kepentingan terkadang tidak mampu dikomunikasikan secara baik karena jika menyangkut kekuasaan, kadang proses komunikasi diabaikan. Dan sebenarnya juga tidak terlalu jelas, mau dibawa ke mana negara ini yang memiliki berbagai macam hal orang di dalamnya. Memiliki tujuan utama apakah pemilikan kekuasaan itu.
Mungkin ini semua berawal dari kekurangan gizi pendidikan mental spiritual moral bangsa ini. Atau juga karena istilah-istilah itu dicitrakan sedemikian rupa untuk sesuatu hal yang tidak sungguh-sungguh merepresentasikan kebaikan mental, kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Mungkin secara fisik lahiriah, bangsa ini sudah mulai terselamatkan dari bahaya kelaparan atau kekurangan gizi. Namun dari segi kebutuhan pendidikan batiniah dan religiusitas, bangsa ini masih dalam taraf terucapkan di bibir saja. Maka dengan mudahnya orang mengatakan sebagai pembela kebenaran dengan jalan mengingkari kebenaran itu sendiri karena menggunakan pemaksaan dan kekerasan. Oleh karena kekurangan gizi dalam hal-hal tadi, maka proses komunikasi sejatinya sebagai bangsa akan selalu terluka. Bahkan identitas keindonesiaan pun terpinggirkan hanya demi memperjuangkan sesuatu yang amat dangkal: kekuasaan.
Atas peristiwa menyedihkan ini, peristiwa yang telah mendegradasi kemanusiaan ini, marilah kita bersikap arif. Memperjuangkan kemanusiaan sebagai jalan menuju keluhuran Tuhan. Membela keagungan Tuhan tidak dapat dilakukan dengan menyengsarakan rakyat kecil, apalagi sampai melanggar hak hidup mereka. Bukankah negara ini mengakui Tuhan dan ber-Tuhan? Memuliakan dan mengagungkan Tuhan hanya bisa dilakukan dengan memuliakan sesamanya. Jika Tuhan menghendaki kita sengsara atau mati, biarlah Tuhan sendiri yang melakukannya dan kuyakin Tuhan tidak pernah menghendaki itu, mengapa kita justru menghendaki agar sesama kita menderita, sengsara, bahkan mati dengan dalih membela DIA? Gloria Dei Homo Vivens: Keagungan Tuhan terletak dalam hidup dan kesejahteraan manusia satu sama lain. Oleh karena itu, dengan sangat saya memohon kepada para ‘Penguasa’ negeri ini agar komunikasi politik, kebangsaan dijalankan, difasilitasi dengan baik. Mengapa saya memohon kepada para ‘penguasa’? Ya, karena mereka memiliki ‘kekuasaan’ untuk melindungi rakyat yang hatinya amat sederhana, bahkan saking sederhananya, mereka kadang mudah terprovokasi untuk menghentikan proses komunikasi ini dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan. Para ‘penguasa’* itulah yang memiliki akses utama dalam mengatur dan menjalankan kesejahteraan bagi bangsa, bukannya menggunakan kekuasaan itu untuk mempermainkan rakyat, apalagi mengorbankan mereka demi mempertahankan kekuasaannya. Jika memang kekuasaan itu harus diperjuangkan secara politik, berpolitiklah yang terbuka, komunikatif, dan adil. Jika harus dengan menggunakan pengalihan isu atau semacamnya, buatlah pengalihan isu yang tidak mengorbankan rakyat, meski sejatinya pengalihan isu itu sendiri mengorbankan rakyat. Maka, sudahilah cara-cara yang mengorbankan rakyat: isu tentang permasalahan keistimewaan Jogjakarta, Crop Circle, atau kerusuhan-kerusuhan berbau SARA. Sudah jelas, komunikasi yang seperti itu bukan sebuah komunikasi, tetapi mengorbankan rakyat. Sudahilah korban jiwa, baik yang mati, maupun yang mengalami kekosongan berpikir sehingga menutup komunikasi. Sudahilah penderitaan seperti ibu-ibu dan anak-anak yang harus menangis dan terlunta-lunta di tanah airnya sendiri dengan segala keunikannya.
*Penguasa: para pejabat pemerintah, pemuka agama, pemuka masyarakat, pemimpin ormas, tokoh kharismatis, aktor intelektual, pemimpin partai, penentu kebijakan, dan orang-orang penting lainnya. (bahkan yang disebut sebagai ‘nabi’).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar