Setelah menonton Film Silence,
adaptasi dari Novel berjudul sama karangan seorang novelis Jepang, Shusako
Endo, terbersit dalam benakku sebuah pertanyaan: apa itu kebenaran? Pertanyaan
ini terlahir dari secuil pemahaman bahwa ternyata pewartaan iman Kristen telah
melukai hati sebagian orang Jepang. Lantas dari luka itu, otoritas yang
berkuasa mengambil kebijakan untuk menyerang balik dengan memotong akar
pewartaan iman Kristen. Bagi mereka, tindakan memotong akar ini adalah sebuah
kebenaran, sama halnya pewartaan para misionaris bagi orang Jepang. Pada
akhirnya, kebenaran tetap menjadi sebuah pertanyaan. Ketika beberapa imam,
bahkan imam terakhir yang berkarya di Jepang akhirnya berujung pada kemurtadan,
di sisi lain tidak sedikit orang Jepang yang rela mati sebagai martir demi iman
Kristen, kebenaran tetap menjadi sebuah misteri. Inilah kegelisahan para pastor
yang akhirnya murtad itu. Kenapa kebenaran begitu berliku jalannya, kenapa
keberadaannya begitu tersembunyi? Bagi orang Jepang yang memurtadkan para imam
itu, tindakan kemurtadan para imam merupakan jalan penuh rahmat yang mengantar
pada Tuhan, sementara bagi para martir asli Jepang, kemartiran merupakan jalan
menuju Firdaus (Paraiso). Dan kebenaran tetaplah bungkam, sehening Kristus yang
tidak melawan ketika dibawa ke penyaliban. Itukah kebenaran?
Bagiku, film itu sungguh mengena.
Sekarang ini aku tengah berjuang sebagai misionaris domestik di Pulau
Kalimantan. Meski Kalimantan tidak seperti di Jepang, namun renungan para
misionaris Jesuit dalam Film “Silence” semacam P. Sebastian Rodriguez, P.
Ferreira, P. Fransisco Garupe pernah singgah dalam dalam kegelisahanku. Kadang
aku bertanya: kehadiranku lebih banyak membantu atau mengganggu? Membawa
perdamaian dan kesejahteraan atau pertentangan? Tidakkah iman Kristen justru
melukai orang-orang lugu yang dipercayakan kepadaku untuk digembalakan? Atau
akhirnya akan berujung ke manakah perjuangan pewartaan iman Kristen di tanah
Borneo ini? Meski aku sadar dan yakin bahwa karya ini bukan semata karyaku
sendiri, namun kegelisahan itu tentu pernah mengusikku. Lalu pertanyaan tentang
kebenaran kembali mengemuka. Apakah orang-orang lugu yang tidak pernah mengenal
iman Kristen adalah orang-orang yang jauh dari kebenaran?
Tapi kebenaran itu universal. Ia
melampaui segala macam atribut duniawi yang pernah dikenakan oleh manusia. Dan
selama kebenaran itu hadir dalam setiap keunikan identitas adat istiadat dan
kebiasaan manusia, ia tidak pernah bisa dikatakan jauh dari kebenaran. Melalui
hal ini pulalah, kebenaran yang sekarang ini tengah kuperjuangkan di bawah
panji Kekristenan akan menampakkan kekayaan dan keberpihakannya terhadap
manusia. Kebenaran tidak pernah bisa dibatasi oleh atribut, oleh golongan, oleh
identitas adat istiadat, dan oleh keyakinan diri sendiri. Kadang kebenaran itu
meluluhlantakkan kepongahan diri, dan membawa diri kepada kekalahan yang
memalukan. Namun yang jelas, kebenaran tidak pernah sia-sia. Dalam
keheningannya, kebenaran tidak pernah bungkam. Ia seperti Yesus yang terdiam, ketika
orang-orang Kristen justru menginjak-injakNya dengan kepura-puraan menyembahNya
dalam pembelaan mati-matian atribut-atribut luaran. Seperti Kristus yang tetap
mengampuni Khicijiro yang berkali-kali menyangkalNya dan kembali bertobat,
meski akhirnya hidup Khicijiro berakhir sebagai seorang yang bertobat.
Kebenaran itu terungkap dengan kesetiaan untuk mengupayakan kebaikan, meski
dalam upaya itu, ia seolah bertemu dengan Tuhan yang bungkam. Kebenaran itu
terungkap pada kesetiaan kepada Yesus tanpa harus menyandang gelar sebagai
martir yang setia sepanjang hidupnya. Kebenaran itu seperti Petrus yang
menyandang atribut Sang Penyangkal, namun akhirnya kembali ke Sang Cinta.
Kebenaran itu terletak kesetiaannya memegang salib Kristus di hatinya, meski
harus kehilangan diri sendiri dan dianggap sang pengkhianat seumur hidupnya.
Itukah kebenaran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar