Begitu banyak pertentangan di
dunia ini disebabkan oleh karena manusia tidak lagi mencari kebenaran, tetapi
penampakan kebenaran. Ide tentang kehendak Tuhan, itulah penampakan kebenaran.
Dan pertentangan terjadi ketika setiap orang memiliki ide tentang
pengetahuannya terhadap kehendak Tuhan. Orang merasa mengetahui apa yang Tuhan
kehendaki, dan ketika itu diyakini dengan begitu kuatnya, terkadang tak segan
ia “meniadakan” kebenaran lainnya yang juga mengatakan bahwa ia mengetahui apa
yang Tuhan kehendaki. Padahal, siapakah di dunia ini yang benar-benar Tuhan
kehendaki? Dengan klaim bahwa seseorang mengetahui kehendak Tuhan, maka ia
merasa memiliki kebenaran itu. Padahal, yang ia miliki bukan kebenaran, tetapi
hanya penampakannya saja. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang Tuhan
kehendaki, yakni kebenaran itu sendiri.
Itulah yang menjadi salah satu
pergulatan Lucifer dalam Film Serial Lucifer Morningstar. Bagiku, sang pembuat
film itu sungguh beriman, karena menampilkan Lucifer, Sang Malaikat Yang Jatuh
(Fallen Angel) sebagai Bintang Kejora (Morningstar). Pemberontakannya terhadap
Sang Ayah (Tuhan) lebih terkait dengan persoalan tentang kritik terhadap
manusia yang “bloodyhell” selalu merasa tahu akan kehendak Tuhan. Lucifer
mengkritik kedegilan hati manusia, tetapi sekaligus mencintainya. Manusia itu
bodoh, tetapi begitu “complicated” sehingga pantas dicintai. Namun yang selalu
menjadi pergulatannya adalah tentang permainan Sang Ayah, yang bahkan ia
sendiri, putera kesayanganNya, tak mampu memahaminya. Maka ia memilih untuk
memberontak, mengambil jalan lain dari jalan yang sering dilihat oleh manusia,
tentang bagaimana ketaatan harus dijalankan. Dialah Sang Pemberontak sejati,
tetapi juga Sang Putera Taat paling utama. Aku benar-benar tak mampu
membayangkan, bagaimana rasanya menaati perintah Sang Ayah Yang Agung dengan
menjadi Pemberontak Selamanya. Ketaatannya justru tampak dalam peran yang harus
dijalaninya senantiasa yakni sebagai Sejatinya Pemberontak. Bukankah itu sebuah
ketaatan yang mengagumkan?
Sang Pembuat Film begitu
mendalami konflik internal tentang kepastian dari kehendak Tuhan dengan
menampilkan ketidakberdayaan Sang Malaikat dalam memahami kehendak Sang Ayah.
Ketidakberdayaan itu justru memberikan Sang Malaikat kekuatan, untuk melakukan
pemberontakan. Meski dibalik pemberontakan itu, Si Malaikat sangat paham bahwa
Ia tak pernah mampu memahami kehendak sejati Sang Ayah. Ia tak berusaha untuk
memahami, tetapi Ia berusaha untuk menjalankannya. Maka dari itu, ia begitu heran
ketika manusia saling mempertentangkan tentang klaim mereka bahwa mereka
mengetahui benar apa itu kehendak Tuhan (Sang Ayah).
Aku tidak berusaha membenarkan
apa yang dirasakan oleh Sang Malaikat, tetapi juga tak menyalahkannya. Yang
akhirnya kupahami, kebenaran itu bukan soal mengklaim kepastian pengetahuan
tentang kehendak Tuhan, tetapi menjalankannya dengan menerima alur permainanNya
yang memang tak dapat diketahui dengan pasti. Apakah Sang Ayah menghendaki kita
berada di jalur putih, atau hitam, itu bukan persoalan yang harus
dipertentangkan. Tetapi menjalankan alur permainanNya dengan keteguhan hati,
itulah Sang Morningstar. Seperti matahari yang selalu terbit setiap pagi,
seperti malam yang sejatinya pasti gelap, seperti kematian yang tak terelakkan
bagi sekian makhluk hidup. Termasuk juga dengan menjadi pemberontak, supaya
terbit pahlawan, menjadi Iblis supaya
makin bersinar Sang Penyelamat. Dan alurNya pun, bukan sebuah kepastian
bagi akal budi manusia. Hanya pengharapanlah yang pasti, untuk tetap menjaga
berlangsungnya Alur Agung Sang Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar