Melalui tulisan ini, aku hendak
sedikit curhat tentang keberadaan perusahaan perkebunan sawit yang ada di
daerah dimana aku tinggal sekarang. Aku tak hendak menilai, apalagi menghakimi,
atau membuat analisis tentang itu, aku hanya ingin curhat saja. Memang ketika
muncul sebuah perusahaan tertentu, selalu ada pro dan kontra yang menyertai.
Bagi yang pro dengan munculnya perusahaan, ini pasti terkait dengan majunya
infrastruktur, terciptanya lapangan pekerjaan, dan juga pertumbuhan ekonomi
akibat dari keberadaan perusahaan tersebut. Tapi bagi mereka yang kontra, ini
lebih terkait dengan dinamika tetang bagaimana perusahaan tersebut dijalankan,
sesuai dengan prinsip keadilan atau justru penindasan. Yang kutemui di
lapangan, kedua hal ini selalu ada.
Aku tidak memungkiri, bahwa
dengan munculnya perusahaan, pembangunan infrastruktur suatu wilayah akan
diperhatikan secara khusus, dan lapangan pekerjaan pun tercipta. Namun di sisi lain, aku juga menemukan bagaimana
perusahaan itu hanya berorientasi kepada keuntungan, sehingga terkadang soal
keadilan di beberapa hal lebih sering terabaikan. Dalam kasus perusahaan sawit
di tempat dimana aku tinggal, problem yang sering muncul adalah soal jual beli
lahan, kelestarian lingkungan yang mulai terancam, dan juga problem keadilan
para pekerjanya. Perusahaan di manapun tentu tidak pernah punya niat untuk
merugi, dan dengan demikian, modal akan terus digemukkan, dengan berbagai macam
cara, termasuk mengabaikan keadilan dan kelestarian alam. Biasanya pihak perusahaan berkolaborasi
dengan pihak penguasa untuk mendapatkan ijin usaha. Pemerintah sebagai pihak
yang berwenang di suatu wilayah berhak untuk menetapkan wilayah yang termasuk
HGU (Hak Guna Usaha), termasuk soal lahan. Menjadi tidak adil jika akhirnya
wilayah yang ditentukan sebagai HGU itu merupakan tanah masyarakat yang sudah
dikelola oleh mereka turun temurun. Memang perusahaan membayar ganti beli atau
pinjam tanah (lahan) yang termasuk ke dalam wilayah HGU itu, namun terkadang
nilainya tidak sepadan dengan hasil usaha yang dilakukan di atas lahan
tersebut. Itu belum lagi jika perusahaan menyerobot tanah rakyat demi
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Secara hukum mereka kuat karena
wilayah yang mereka kerjakan sudah dipetakan oleh pemerintah sebagai wilayah
HGU dan tentu mereka mendapat ijin yang sah dari pemerintah. Namun secara
keadilan, terkadang mereka mengelabui penduduk untuk mau menyerahkan lahan
mereka demi segepok uang yang jika tidak disertai pendidikan mengelola uang,
akan habis begitu saja. Sementara tanah yang sebenarnya bisa dikelola oleh
masyarakat, telah berpindah kepemilikan dan kewenangan pengelolaannya sehingga
hasil bumi yang ada di situ berpindah tangan. Akhirnya, masyarakat menjadi kuli
di tanahnya sendiri, demi segepok uang.
Memang saat ini masyarakat tak
mampu lagi untuk melawan perusahaan dalam mengembangkan keuntungan terus
menerus. Pembangunan infrastruktur yang tadinya diperhatikan dengan baik pun
lama kelamaan hanya mengarah kepada kepentingan perusahaan demi lancarnya
operasional mereka. Jika pembangunan itu tak terkait dengan kepentingan mereka,
terkadang hal itu begitu saja mudah dilupakan dan diabaikan. Memang lapangan
kerja tercipta, namun masyarakat tak lagi memiliki hak untuk menjadi pengelola
lahan mereka tetapi menumpang hidup dengan menjadi pekerja perusahaan demi
mendapatkan rupiah. Jika perusahaan itu berhenti dan angkat kaki, mereka tak
lagi mampu mengelola lahan dengan baik karena ketergantungan itu telah
diciptakan dari hari ke hari.
Dari situasi ini, kadang aku
merasa, bahwa perusahaan itu tidak salah, yang salah adalah sistem kepemilikan
dan pengelolaannya. Jika perusahaan tidak melulu berorientasi kepada
penggemukkan modal saja, tapi juga memperhatikan aspek keadilan sosial, tentu
ini akan menyejahterakan banyak pihak, termasuk terjaganya kelestarian alam.
Tapi apa itu mungkin? Dengan sendirinya dunia ini menciptakan kelas-kelas
sosial, melanggengkan kekuasaan modal, dan membuat ketergantungan akan uang.
Sungguh kasihan para hewan dan tumbuhan yang sebenarnya hidup tenteram. Sampai
akhirnya air tercemari, tanah terbongkar dan mereka mati satu persatu karena
tergusur oleh hasrat akan keuntungan itu. Semoga surga itu masih ada, meski
sebagian darinya sudah berubah menjadi deretan pohon-pohon sawit saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar