Kebenaran itu sesuatu hal yang
menggelisahkan. Pernyataan ini mungkin ada sebagian orang setuju, namun ada
juga yang tidak setuju. Aku pun tidak ingin mempertentangkan pernyataan itu.
Aku hanya ingin merenungkan kembali tentang betapa berlikunya jalan kebenaran
itu. Mungkin di sepanjang segala abad, kebenaran akan terus mengambil jalan
berliku. Hal ini bisa dilihat dengan beragamnya agama agama yang muncul di
tengah-tengah dunia ini yang semuanya mengklaim bahwa yang dibawanya adalah
sebuah kebenaran. Klaim itu pun kadang disertai dengan tindakan-tindakan
kekerasan yang membuat kebenaran seolah berdiri gagah dengan taring dan
kuku-kuku mengerikan. Bahkan tidak segan-segan kebenaran yang diklaim oleh
berbagai macam agama itu menyerang, mencakar, menggigit, menendang, serta
memakan klaim kebenaran lainnya dan mengatakan bahwa kebenaran di luar klaim
agamanya adalah sebuah kebenaran palsu. Kita tahu, bagaimana jalan kebenaran
itu begitu berliku, ketika Martin Luther menyatakan diri meninggalkan Gereja
Katolik dan membangun gerejanya sendiri. Kita pun tahu, bagaimana jemaat
Ahmadiah dikatakan sesat oleh orang-orang Muslim. Pun ada juga pertentangan
antara Sunni serta Syiah dalam kebenaran muslimin (Islam). Belum lagi aliran
budhisme Hinayana, Mahayana. Mereka pasti punya klaimnya sendiri tentang
kebenaran, bahkan akhirnya muncul para atheis yang juga pasti punya klaim
kebenarannya sendiri.
Mungkin aku termasuk orang yang
setuju dengan pernyataan bahwa kebenaran itu memang suatu hal yang
menggelisahkan. Semua keanekaragaman agama, kebijaksanaan lokal, aliran
kepercayaan, dan segala klaim-nya yang terkadang mengandung unsur mengerikan
karena bersenjatakan kekerasan adalah bukti dari begitu berlikunya jalan
kebenaran. Bahkan orang yang tidak melibatkan diri dalam segala macam klaim
kebenaran itu, juga pasti memiliki klaim tentang kebenaran menurut dirinya
sendiri. Lalu apa itu kebenaran jika yang terjadi justru sebenarnya adalah
perang klaim tentang kebenaran? Dapatkah kebenaran itu dibela dengan menyerang,
atau bahkan meniadakan kebenaran “lainnya”?
Aku pun tidak punya jawaban atas
pertanyaan itu. Yang kupahami hanyalah bahwa kebenaran itu ternyata memang
benar menggelisahkan. Supaya orang tidak lagi digelisahkan oleh pencariannya
tentang kebenaran, maka perlu adanya kekuatan yang menjaga klaim itu sehingga
orang merasa pencariannya telah selesai dan ia menemukan kebenaran yang paling
sejati. Kekuatan itu bisa berupa doktrin-doktrin, aturan hukum, dan juga perkawinan
antara ajaran tentang kebenaran dengan kekuasaan politik ekonomi. Memang
awalnya kekuasaan ekonomi dan politik ini digunakan sebagai senjata untuk
membuat kebenaran suatu ajaran tertentu menjadi tampak menakutkan dan melampaui
kebenaran “lainnya”, tapi lambat laun, kekuasaan politik ekonomi pun menjelma
sebagai kebenaran “yang lain” pula. Ia tak mau lagi ditempatkan sebagai alat
untuk menjaga kebenaran, ia lantas malah justru balik memperalat “kebenaran”
untuk menjaga kebenaran mereka sendiri.
Bagiku, saat ini, kebenaran itu
seperti GOOGLE. Ia tak lagi memutuskan, tetapi menawarkan. Ia tak lagi
menenteramkan, tetapi menggelisahkan. Ketika kita hendak mencari informasi
tertentu di GOOGLE, GOOGLE tidak pernah memberikan sebuah kemutlakan. Ia
memberikan penawaran dari berbagai macam jawaban yang ada. Akhirnya orang yang
mencari informasi bukannya semakin mantap dengan jawaban yang ia temukan,
tetapi justru semakin gelisah, karena ternyata begitu banyak alternatif
jawaban, dan itu artinya ada begitu banyak alternatif kebenaran. Ada sebagian
yang memang benar menemukan jalan yang ia cari, namun tak sedikit pula justru
yang tersesat. Seperti itukah kebenaran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar