Dalam
perkawinan Katolik, dikenal dan diterapkan prinsip unitas dan indisollubilitas
(kesatuan dan ketakterceraian). Selain itu, dalam perkawinan Katolik tidak
mengenal apa itu poligami dan poliandri. Banyak orang Katolik setuju dan
menjalankannya dengan setia prinsip-prinsip itu, namun pada kenyataannya, ada
juga yang memilih untuk dicederai atau mencederai prinsip itu. Ada beberapa
pasangan Katolik yang akhirnya berpisah, ataupun memiliki selingkuhan. Jika
prinsip pertama disebut sebagai kebenaran, tentu tindakan dicederai dan
mencederai prinsip itu adalah tindakan mengabaikan kebenaran. Dalam ranah ini,
kebenaran adalah bagi mereka yang mampu dengan setia berpegang pada prinsip
itu, sementara yang akhirnya tak mampu setia, ia termasuk bagian dari mereka
yang tidak benar. Tetapi apakah dalam situasi dicederai dan mencederai itu
tidak terkandung kebenaran? Kenapa perkawinan di luar Katolik mengenal
perceraian dan itu dianggap wajar? Mengapa sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran dianggap sebagai suatu hal yang wajar? Apakah karena kebenaran juga
“ada” dalam sisi lain prinsip itu sehingga dianggap hal wajar?
Selama aku
menjadi pastor, ada beberapa pasangan Katolik yang akhirnya memilih untuk
bercerai. Meski mereka sudah memiliki anak, atau karena alasan salah satu
pasangan tidak mampu melahirkan anak, atau karena salah satu berselingkuh,
akhirnya mereka tetap memutuskan untuk berpisah. Sebagai orang lugu yang telah
akrab dengan prinsip itu, tentu aku langsung mengatakan bahwa orang-orang yang
memilih bercerai itu adalah orang-orang yang tidak benar. Namun keyakinanku ini
diuji lebih lanjut ketika aku mulai memahami alasan mengapa mereka bercerai.
Ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja dijadikan kriteria untuk menghakimi
bahwa mereka itu bersalah. Ternyata ada secuil kebenaran juga tentang fakta
yang terjadi, ketika prinsip diingkari. Artinya, dalam situasi itu, tidak ada
orang yang (menurutku) benar-benar jahat. Ada hal-hal yang tidak bisa mereka
lawan dari diri mereka ketika akhirnya mereka memilih untuk menyerah pada
perceraian.
Dan itulah
yang disebut dosa, ketika manusia tidak mampu bertahan pada yang ilahi, tetapi lebih memilih yang
insani. Tapi apakah dosa itu bukan sebuah kebenaran? Fakta dengan jelas
menunjukkan bahwa dosa itu ada, dan ada juga yang oleh karena kejatuhannya
dalam dosa, ia menjadi semakin memahami arti hidup dan kebenaran. Tidak sedikit
orang suci yang akhirnya menjadi suci karena pernah mengalami situasi kedosaan
yang benar-benar menyakitkan. Seperti Petrus yang akhirnya menjadi martir Tuhan
setelah ia menyangkalNya tiga kali. Ada Thomas yang akhirnya tak tergoyahkan
imannya setelah ia sempat meragukan DIA yang telah bangkit dari mati. Yesus pun dengan jelas mengatakan:
"Bukan orang sehat
yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil
orang benar, melainkan orang berdosa." Itukah kebenaran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar