Suatu ketika Sunan Kalijaga
berdiri di tepi pantai, dalam hati ia sangat merindukan bisa pergi ke Mekah
untuk melaksanakan ibadah haji. Keinginan pergi ke Mekah ini sebenarnya adalah
perintah dari gurunya, Sunan Bonang. Maka dengan cara apapun, Sunan Kalijaga
akan berjuang melaksanakan perintah gurunya itu. Ia kemudian terjun ke laut,
dan berenang menyeberangi laut. Ketika mencapai tengah samudera, Sunan Kalijaga
melihat ada seseorang berjalan di atas air, dengan tenang menghampirinya dan
menyapanya. Orang itu adalah Nabi Khidir. Nabi Khidir pun menunjukkan kepada
Sunan Kalijaga bahwa segala tindakan dalam hidup ini haruslah direnungkan
dengan sungguh-sungguh maksud serta tujuannya. Ia menjelaskan bahwa tidak ada
gunanya ke Mekah jika Sunan Kalijaga hanya ingin mengunjungi Ka’bah yang
terbuat dari batu, tanah dan kayu. Kabah sesungguhnya adalah Kabatullah (Ka’bah
Allah), dan itu letaknya di dalam hati setiap orang. Nabi Khidir menunjukkan
bahwa setiap hati manusia adalah Ka’bah Allah.
Cerita ini bagi sebagian orang
Jawa tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran, namun bagi sebagian orang Muslim
bisa dianggap pula ajaran yang tidak benar. Jika Ka’bah Allah itu ada dalam
setiap hati manusia, untuk apa lalu pergi ke Mekah untuk ibadah haji, mengunjungi
Kabah? Ternyata kebenaran mengandung begitu banyak bahaya. Perbenturan antara
“kebenaran” itu bisa menimbulkan perpecahan yang tak berujung akhirnya. Ukuran
yang dipakai untuk menguji kadar kebenaran pun terkadang berat sebelah.
Akhirnya kebenaran menyisakan sebuah ruang abu-abu yang tak terpahami. Supaya
kebenaran tidak lagi abu-abu, maka dibuatlah doktrin, ajaran, aturan hukum,
yang ditulis, disahkan kemudian diwariskan turun temurun dari generasi ke
generasi. Tetapi apakah itu sebenarnya kebenaran? Ada begitu bermacam ragam
ajaran, doktrin, aturan hukum, yang diklaim sebagai sebuah kebenaran. Namun
faktanya, kebenaran-kebenaran itu terkadang saling mengancam, saling serang dan
saling memperkuat klaimnya untuk berdiri teguh sebagai dominasi. Itu semua
terjadi karena manusia tidak ingin berada dalam area abu-abu sebagai bagian
hakiki dari kebenaran. Itu juga diakui oleh Sunan Kalijaga. Bahkan sebagai
seorang Wali, ketika berhadapan dengan Nabi Khidir, beliau mengakui
ketidaktahuan tentang benar tidaknya pengabdiannya selama ini. Kesadaran
tentang area abu-abu dari kebenaran ini seperti sebuah pintu yang menuntun
untuk masuk lebih dalam ke Sang Kebenaran itu. Sehingga penghakiman tak lagi
menjadi senjata dari kebodohan yang hanya akan semakin mengaburkan kebenaran.
Ingatlah, Yesus tidak menyalahkan orang-orang yang hendak melempari batu wanita
pendosa. Ia hanya mengatakan: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa,
hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Yesus
juga tidak menghukum wanita pendosa, Ia cukup mengatakan: "Aku pun tidak menghukum engkau.
Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Untukku, itulah
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar