Kasus ditolaknya warga yang beragama Kristen
dimakamkan di tanah wakaf muslim di Mojokerto, pemotongan salib makam di
Pringgolayan, DIY dan juga perusakan makam Kristen di Magelang beberapa waktu
lalu menyisakan sebuah pertanyaan tentang krusial tentang toleransi hidup
beragama di negeri ini. Apakah agama yang sejatinya adalah jalan hidup untuk
mencapai kesempurnaan jiwa justru membuat bangsa ini saling terkotakkan dan
terfragmentasi ke dalam kerangka surga masing-masing? Atau kenapa peristiwa itu
harus terjadi sementara persaudaraan sebagai sesama manusia telah ada jauh
sebelum agama-agama itu muncul? Menjadi semakin miris ketika dogma agama pun
dikenakan bagi mereka yang telah meninggal sebagai sesama manusia? Dimanakah
rasa kemanusiaan? Atau agama telah memperbudak kemanusiaan dan meletakkan
kemanusiaan di sisi tepi yang sewaktu waktu bisa didorong masuk ke jurang?
Lantas siapakah sesamaku manusia? Apakah sesamaku manusia hanyalah mereka yang
se-bangsa, se-agama, se-jenis kelamin, dan se-aliran politik yang sama? Apakah
surga juga sudah ditentukan bagi mereka yang beragama anu, sementara di luar
agama anu semuanya akan menjadi penghuni neraka? Jika memang benar demikian,
apakah ada bukti yang bisa menguatkan argumen tersebut sehingga berhak untuk
mengkotakkan manusia ke dalam kotak-kotak tertentu antara surga dan neraka,
termasuk bagi mereka yang sudah meninggal?
Minggu, 31 Maret 2019
Sabtu, 30 Maret 2019
Iblis Tidak Pernah Mati, Tetapi Harus Selalu Ada Orang yang Melawannya
Judul tulisan ini terinspirasi dari kumpulan
cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Aku tidak akan mengulas kumpulan
cerpen tersebut, namun bagiku, penggalan kalimat itu bisa dijadikan inspirasi
bagi kita bangsa Indonesia saat ini, ketika kebenaran seolah-olah menjadi bahan
permainan, dan godaan untuk saling bertikai di antara sesama anak bangsa seakan
diambang pintu. Apakah kita akan membiarkan Sang Iblis itu masuk rumah kita?
Selasa, 26 Maret 2019
Liturgi: Karya Penebusan Umat Beriman
Dalam Konstitusi
tentang Liturgi Suci, Konsili Vatikan II menulis demikian: Sebab
melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan
kita”. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan
penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang
sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja
bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang
tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk
kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu
sedemikian rupa, sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan diabdikan
kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang
termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota
yang akan datang, yang sedang kita cari. Maka dari itu Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi
kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mereka
mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus. Maka Liturgi
sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus,
dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang diluarnya sebagai
tanda yang menjulang diantara bangsa-bangsa. Dibawah tanda itu putera-putera
Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu, sampai terwujudlah satu
kawanan dan satu gembala. (SC 1).
Senin, 25 Maret 2019
SANG KHIDIR: SEBUAH PERMENUNGAN
Beberapa
tulisan tentang Nabi Khidir menceritakan hal yang sama tentang kisah perjumpaan
dengan Sunan Kalijaga itu. Tetapi ada sesuatu yang membuatku tertarik ketika
ada sebuah tulisan yang mencoba menjelaskan keberadaan dan identitas Nabi
Khidir ini berdasarkan Alquran. Kisah tentang Sang Khidir dalam Alquran
digambarkan dengan sebuah kisah misterius tentang seorang hamba yang oleh Allah
SWT diberi rahmat dari sisiNya dan diberiNya ilmu. Kisah itu terdapat dalam
surah al-Kahfi dimana ayat-ayatnya dimulai dengan kisah Nabi Musa: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua
buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS.
al-Kahfi: 60). Musa mengatakan hal itu kepada muridnya karena ia hendak
berjumpa dengan hamba Allah yang diberi rahmat dari sisiNya dan diberi ilmuNya.
Pertemuan dengan hamba Allah itu terjadi disebuah tempat dimana dua buah lautan
bertemu. Mengenai tepatnya dimana tempat itu, tidak ada seorang pun yang tahu.
Alquran pun tak pernah dengan jelas menyebutkan dimanakah tempat itu, demikian
pula nama hamba itu. Al-Qur'an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini.
Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
KEINDAHAN SAKRAMEN TOBAT
Setelah menerima
sakramen Tobat, aku selalu merasa damai, bahagia dan penuh harapan. Meski di
depan aku tidak tahu apakah akan jatuh dalam dosa lagi, namun aku sungguh
merasakan betapa Tuhan mengasihiku. Dengan demikian, aku tak takut lagi
mengungkapkan segala kerapuhanku kepada romo yang melayani sakramen Tobat. Saat menghadap romo tersebut, aku sungguh
merasakan kehadiran Tuhan yang menyapa lembut dan penuh kasih. Aku merasakan
kehadiran Tuhan yang berkenan menerimaku dengan segala kedosaan yang ada
padaku. Ibaratnya aku ini telah terjatuh di lumpur yang kotor dan bau, namun
Tuhan berkenan memandikanku dan membuatku bersih kembali. Saat itulah aku
memiliki kesempatan untuk memohon kepadaNya kekuatan kembali untuk bangkit dari
segala keterpurukanku. Sebab tanpa kekuatanNya, aku tak mampu bangkit dari
segala kedosaan ini.
Jumat, 08 Maret 2019
Global Transformation ( Resensi Buku)
Data Buku
Judul :
Global Transformation
Pengarang :
David Held dan Anthony McGrew (ed)
Penerbit :
Polity Press, Cambridge
Tahun Terbit :
2000
Halaman :
624 hal
Ukuran : 244 x 172
mm, 6.75 x 9.75 in
Bab 1
Globalization
Oleh George Modelski
Bab pertama buku Global
Transformation diisi oleh tulisan dari George Modelski[1] yang
berjudul Globalization. Dalam tulisan
ini, George Modelski hendak memberikan definisi atau cakupan terhadap proses
globalisasi yang terjadi pada dunia saat ini. Menurutnya, masyarakat dunia saat
ini adalah masyarakat global. Proses dimana masyarakat secara historis dibawa ke dalam satu sistem global ini
disebut sebagai globalisasi. Sifat dan bentuk yang dihasilkan oleh proses globalisasi
dalam dunia ini akhirnya juga menjadi
salah satu faktor dasar dari politik masyarakat dunia saat ini.
George
Modelski lantas merunut sejarah masyarakat beserta perkembangan peradabannya
yang menghantar masyarakat kita saat ini hingga sampai kepada proses
globalisasi. Salah satu unsurnya adalah
terjadinya perluasan atas ruang lingkup geografis dari komunitas manusia.
Perluasan ruang lingkup geografis ini pun mengakibatkan terjadinya perkembangan
ruang lingkup dari organisasi sosial. Proses
perluasan ini dimulai sejak enam ribu tahun lalu ketika sebuah ‘Masyarakat Besar’ mengambil bentuk dalam kota-kota di
Mesopotamia yang ruang lingkup wilayahnya mencapai dua atau tiga ratus mil;
hingga ketika Kekaisaran Roma menguasai lembah Mediterania. Hal yang sama
kemudian berlanjut saat kekuasaan Cina dan India mulai merambah kawasan Asia.
Proses perluasan ini terjadi di antara tahun 500 SM hingga 200 M, ketika budaya
Hellenis mulai mencapai India dan Kekaisaran Han mulai mengadakan kontak dengan
India. Situasi ini mungkin menjadi praktik awal munculnya beberapa pola
interaksi dalam masyarakat kuno. Meski secara umum, bagaimana pun juga,
interaksi ini masih bersifat jarang, tidak langsung, non-politik, dan belum
sungguh-sungguh global.
Untuk
merunut asal mulai proses globalisasi, George Modelski menampilkan
periode-periode awal peradaban masyarakat yang mulai menguasai daerah-daerah
lain di dunia. Periode tersebut adalah:
Jumat, 01 Maret 2019
MANUSIA ITU HEWAN?
Suatu ketika, dalam sebuah obrolan, seorang
sahabat berkata bahwa manusia itu juga bagian dari hewan. Manusia terikat dalam
kebutuhan material dan psikisnya untuk memperoleh kenyamanan serta kelangsungan
hidupnya. Ketika manusia didorong oleh kebutuhan itu, maka ia cenderung melihat
dunia ini sebagai arena untuk berlomba dalam memenuhi kebutuhannya, tak peduli
apakah orang lain pun akan berlomba demi kebutuhan yang sama. Dan memanglah,
dunia ini lalu menjadi seperti hutan rimba yang menerapkan prinsip rantai
makanan. Pihak pemenang adalah mereka yang mampu memakan lebih banyak
dibandingkan yang lainnya. Demikianlah pemikiran sang sahabat itu.
Langganan:
Postingan (Atom)