Sekerat
daging tumbuh dalam bisu
Menjadi
besar dalam hening
Bermandikan
hujan pertanyaan
Bernafaskan
misteri
Tawa
dan tangislah bahasanya awal mula
Sebab
terlampau banyak kata-kata yang akhirnya sirna
Ia
merengek, Ia terkekeh dalam waktu yang terus melaju
Matanya
menangkap kerlip bintang dan sorot mentari
Berdiri
mengangkang sebagai saksi berjuta tragedi
Lalu
bibirnya melafalkan litani kepedihan
Mengapa
seolah Tuhan bungkam, diam
Seperti
malam kelam, menyergapnya dalam gelap yang lebam
Dimanakah
Kau Tuhan, ketika kegelapan ini seolah kekal?
Ketika
namaMu dikumandangkan sebagai mantra pembinasaan,
Ketika
jiwa-jiwa tersesat dalam kerakusan yang mengkristal,
Ketika
kebencian mencuat sebagai nada dasar kehidupan,
Ketika
penindasan berjaya dengan tahta kesewenangannya,
Dimanakah
Engkau Tuhan?
Mengapa
Engkau seolah diam, Tuhan?
Adakah
Engkau tertidur?
Atau
mabuk anggur, karena lelah mendengar
jutaan celoteh doa, yang tampak seperti tuntutan
Adakah
Engkau menangis ketika dunia menjerit?
Adakah
Engkau menjawab setiap pertanyaan
Yang
mengalir dari kepongahan kenyataan?
Ya,
mungkin memang Kau telah bisu
Telinga-Mu
tuli karena bertubinya permohonan menggetarkan gendangnya
Mata-Mu
tak lagi melihat kisah bermilyar jiwa yang semuanya ingin Kau menyaksikannya
Dan
biarlah semuanya tetap seperti adanya
Hanya
saja, sekerat daging yang bernafas itu tak mampu berdiam
Ketika
ia menyaksikan sesosok tubuh manusia kurus kering
Berlumur
darah, bermahkota duri.
Tangan-Nya
terentang, terpaku kayu palang
Merengkuh
surga dan bumi, menyatukan yang sementara dan abadi
Kaki-Nya
terpatri pada kayu yang menghunjam bumi.
Tanpa
suara dari mulut-Nya,
hanya tetes-tetes darah yang mengalir membasuh tanah
Setiap
tetes itulah jawaban, dari setiap pertanyaan
Jawaban
yang lebih agung dari untaian kata-kata indah.
Sragen, 6
Desember 2012