Minggu, 18 November 2012

Cinta itu abadi, hidup itu singkat: Sebuah Renungan


Ketika merenungkan tentang hidup ini, kadang kita berhadapan dengan angka-angka, waktu dan segala macam kisahnya. Namun itu semua hanya sementara. Tidak ada seorang manusia pun yang hidup selamanya di bumi ini, bahkan seorang Highlander atau vampir pun bisa mati. Ketika kematian itu terjadi, semua hal tentang manusia itu seolah-olah berhenti. Tidak lagi tumbuh dan berubah, selain hancur berubah lebur menjadi debu. Dari substansi organik ke substansi anorganik. Kisah manusia itu pun berhenti. Tidak ada lagi impian, apalagi perjuangan. Dan oleh karena itulah, kematian itu tampak sangat menakutkan. Manusia takut mati, takut mengalami kemandegan, takut kisahnya tamat dan badannya hancur tak bersisa lagi. Meski menakutkan, kematian adalah kepastian yang sangat sempurna, diantara segala macam ketidakpastian hidup yang selalu menyisakan tanya. Orang lantas bilang, bahwa hidup itu begitu singkat, dan setelah kematian tiba, hidup pun berhenti. Orang pun mulai menghitung-hitung waktu yang diberikan padanya sebagai kesempatan untuk hidup.

Ketakutan akan kematian yang merupakan kepastian ini lantas ditanggapi oleh manusia yang masih hidup dengan begitu banyak hal. Salah satunya adalah dengan mengikuti ajaran agama-agama yang semuanya mengabarkan tentang kehidupan kekal, meski tidak lagi di bumi. Lalu apakah sebenarnya hidup kekal itu? Dimanakah kehidupan kekal itu berlangsung? Seberapa panjang waktu yang dibutuhkan dalam kehidupan kekal itu? Di sisi lain, manusia ada yang tidak percaya akan kehidupan kekal. Bagi orang yang tidak percaya akan hidup kekal, hidup yang singkat inilah kesempatan satu-satunya untuk mengalami berbagai macam kisah sebagai jiwa merdeka. Beberapa di antara mereka dapat berkarya dengan giat demi kebaikan, namun ada juga yang menggunakan hidupnya dengan semaunya sendiri, karena merasa yakin bahwa setelah hidup di bumi ini, tidak ada lagi yang tersisa. Yang ada hanya kemusnahan, sama seperti ketika belum dilahirkan di bumi. Gelap total, nihilo.
Namun ada posisi tengah tengah yang membuat orang sedikit paham tentang kehidupan yang tidak terikat ruang dan waktu itu, ketika mereka berjumpa dengan cinta. Cinta membuat manusia terhubung satu sama lain, menyatu, dan meyakinkan tentang kehidupan yang abadi. Meski tidak dalam arti harafiah bahwa akan memiliki tubuh yang sama seperti di bumi, tetapi cinta itu tetap terhubung dalam kenangan, dalam ingatan, dan dalam hubungan batin. Meski secara fisik tidak bisa bersama, namun cinta itu semacam energi yang terus menerus membuat manusia tetap bersama, melalui karya-karya yang dulu telah diperjuangkan oleh setiap pribadi. Ketika manusia berjumpa dengan cinta orang lain yang terungkap dalam berbagai media kehidupan ini, mereka tetap merasakan perjumpaan dengan pribadi yang mengungkapkannya. Meski manusia itu telah pergi, bahkan hilang dari bumi karena lebur bersama debu, jiwa orang itu masih ditemukan di dalam kisah cinta mereka. Dan akhirnya mereka pun berjumpa dengan sumber kekuatan cinta itu, yang senantiasa menghidupkan, menghubungkan, dan menyatukan, yakni Tuhan. Meski secara logika, kematian membuat kita terhenti, hilang, musnah, namun cinta itu senantiasa hidup di bumi, dikenang, dirasakan, dan dilanjutkan. Inilah yang disebut kehidupan abadi, meski dalam wujud yang berbeda. Maka hiduplah selalu oleh cinta, dalam cinta, karena cinta…yang terwujud dalam karya seni, pengabdian, pengorbanan, dan perjuangan untuk selalu menjadi orang baik bagi siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar