Sabtu, 22 Oktober 2011

Menjadi Guru adalah sebuah Perutusan (Renungan untuk Para Guru)

Salah satu kisah tentang kehidupan seorang guru yang begitu mengesan bagi saya adalah kisah Erin Gruwell, seorang guru bahasa Inggris di sebuah SMU di Long Beach, California. Kisah ini dimulai ketika Erin Gruwell bertugas sebagai guru baru di SMU tersebut. Beberapa guru yang sudah terlebih dahulu berada di SMU tersebut tidak percaya bahwa Erin Gruwell akan mampu merubah anak-anak yang memiliki kehidupan keras seperti tawuran antar geng, perdagangan narkoba, pertentangan ras, dan berbagai persoalan lainnya. Kelas yang diajar oleh Erin Gruwell terisi dengan anak-anak seperti itu. Hampir setiap hari terjadi perkelahian diantara mereka. Kelas tersebut selalu kacau setiap hari.
Pada awalnya, Erin Gruwell mengajar dengan gaya konvensional seorang guru, yakni mengajak anak untuk mencoba mengerti materi yang diajarkan. Namun gaya ini tidak banyak membantu perkembangan anak-anak dalam belajar, justru anak-anak ini semakin mengadakan penolakan terhadapnya. Selain itu, anak-anak ini berada dalam ancaman serius karena hidup mereka diwarnai dengan berbagai macam situasi diskriminasi ras, kriminalitas dan juga kekerasan. Berhadapan dengan situasi itu, Erin Gruwell tidak menyerah. Dia terus berusaha untuk menjadi seorang guru yang baik bagi anak-anaknya. Ia percaya bahwa anak-anak didiknya memiliki potensi yang besar, yang bisa dikembangkan bagi masa depan mereka.

Suatu ketika saat belajar, ada seorang anak yang mengejek teman lain dengan menggunakan sebuah gambar. Dan ketika hampir terjadi perkelahian, Erin melihat gambar itu dan mengajak anak-anaknya untuk memahami bahwa melalui gambar ejekan seperti itu, pernah terjadi pembantaian umat manusia yang begitu luar biasa mengerikan, yang disebut Holocaust. Mulai dari sinilah Erin berhasil menarik perhatian dan keingintahuan anak-anaknya tentang Holocaust. Mereka mulai memiliki sedikit perhatian kepada Erin karena ingin tahu apakah Holocaust itu. Situasi ini digunakan oleh Erin untuk mengajak anak-anaknya belajar bahasa Inggris, sekaligus belajar kehidupan. Ia ingin mengenalkan kepada mereka bahwa Holocaust adalah tragedi kemanusiaan yang amat melukai peradaban.

Erin mulai membelikan anak-anak itu buku-buku tentang Holocaust. Ia merelakan diri untuk bekerja lagi paroh waktu untuk membelikan buku-buku tersebut bagi anak-anak. Itu semua dilakukannya karena ia amat mencintai anak-anak didiknya. Ia bahkan merelakan waktu untuk keluarga menjadi tersita hanya demi panggilannya sebagai guru bagi anak-anak tersebut. Mulai dari membaca kisah-kisah Holocaust inilah, anak-anak itupun mulai berani terbuka pada Erin tentang permasalahan-permasalahan mereka. Mereka menjadi amat nakal karena pengalaman di dalam keluarga dan masyarakatnya telah menyebabkan anak-anak ini begitu terluka dan menjadi demikian nakal. Erin pun semakin tertantang. Panggilannya sebagai seorang guru tidak hanya mengajak anak-anak didiknya untuk mampu mengerjakan soal-soal ujian, tetapi juga mampu keluar dari situasi mereka yang menghimpit dan berubah menjadi pribadi baru yang tidak lagi dibelenggu oleh kebencian, kekerasan, dan berbagai macam hal buruk lainnya. Akhirnya, Erin mengajak mereka untuk menuliskan pengalaman mereka dari hari ke hari ke dalam sebuah diary. Dengan menulis ini, mereka bisa belajar bahasa Inggris, namun juga sekaligus mengadakan penyembuhan luka-luka batin untuk melangkah ke masa depan yang lebih cerah. Kumpulan cerita anak-anak itu pun diterbitkan dan diberi judul The Freedom Writers. Dari angkatan mereka, terlahir generasi baru yang tidak lagi diwarnai diskriminasi ras, kekerasan, narkoba, dan juga tawuran antar geng.      
    
Kisah Erin Gruwell melalui The Freedom Writers ini sangat inspiratif bagi para guru. Erin Gruwell menghayati profesinya sebagai seorang guru tidak hanya untuk status sosial ataupun demi memperoleh pekerjaan yang menjamin kelangsungan hidupnya, namun sebagai sebuah panggilan dan perutusan. Hal ini ditunjukkan dengan kecintaannya pada anak-anak didiknya hingga anak-anak itu mengalami perubahan hidup yang baik. Meski sebenarnya tugas utamanya cukup dengan memberikan materi-materi pelajaran sesuai dengan perannya, namun Erin tidak mau begitu minimalis. Ia mengenal anak didiknya satu persatu dengan segala permasalahan hidup yang mewarnai hidup anak-anak itu. Pengenalan ini memungkinkannya untuk memahami situasi anak dan mengajak mereka untuk berubah. Inilah spiritualitas seorang guru sejati. Seorang guru memiliki kecintaan terhadap anak-anak didiknya dan mau berjuang mengajak anak-anak itu berubah, lahir secara baru. Spiritualitas ini hendaknya dimiliki oleh para guru yang dipercayai untuk mendidik anak-anak agar terlahir secara baru. 

Mengenai tugas seorang guru yang adalah perutusan dan panggilan ini, marilah kita belajar dari Sang Guru Sejati, Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan Yesus menghayati tugas perutusanNya sebagai guru sejati dengan mengajak para muridNya untuk terlahir secara baru. Dalam Yoh 3:4-6, terungkap: Kata Nikodemus kepada-Nya: "Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?" Jawab Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Bahkan untuk mengajak para muridNya mengalami kelahiran baru ini, Tuhan Yesus bersedia memberikan diriNya sebagai contoh utama orang yang telah mengalami kelahiran baru dengan bersedia merelakan diri disalib demi cinta kepada manusia. Tuhan Yesus amat mencintai murid-muridNya dan mengajak murid-muridNya untuk mengalami pencerahan sepertiNya. Apakah kita juga sudah berani memiliki spiritualitas ini? Sudahkah kita menghayati tugas sebagai seorang guru ini sebagai panggilan dan perutusan?

2 komentar:

  1. Tulisan yg inspiratif.
    Perkenalkan saya Chendra, karyawan di Yayasan Sekolah di Jakarta. Saya memang sedang mencari artikel tetang profesi guru sebagai pelayanan. Izin share untuk saya masukan ke dalam Buletin di gereja saya. Terima kasih.

    BalasHapus
  2. silakan pak, mohon maaf kalo blog ini lama ndak aktif karena tempat tugas saya selama beberapa tahun ini tidak ada sinyal internet. semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

    BalasHapus