Sabtu, 17 Desember 2011

Seminaris Pertama : Catatan dari Aquila Tahun 1962

Bagaimanakah bangkitnya keinginan anak Djawa yang pertama-tama untuk menjadi pastor? Hingga tahun 1909 di Misi hanya ada pastor-pastor Belanda yang dalam pandangan anak Djawa betul-betul masih gagah dan kuat. Tetapi usianya paling muda 45 tahun, seperti R. V. Lith, Mertens, dan van Thiel. Di mata orang luar biasa hidupnya, mengherankan kalau dibanding dengan hidup umum. Tetapi tidak menarik keinginan kita: meniru menjadi pastor.
Tapi kalau tidak salah dalam tahun 1909 itu datanglah di Muntilan tiga orang frater skolastik SJ yang pertama untuk mengajar di Kweekschool, belajar bahasa Jawa. Dijajarkan dengan para pastor mereka sungguh kelihatan muda. Inilah yang menarik perhatian kami. Seperti tumbuh di dalam hati kami pikiran: Si isti et isti, quare non ego (nos) ? Hal lain yang menambahnya: P. Rector (Mertens) bila berkotbah biarpun bahasa Jawa kaku tetapi cerita dan contoh-contohnya menarik dan praktis. Semboyan-semboyan orang –orang suci dll, dalam bahasa Latin yang pendek-pendek dan mudah dihafalkan....toh masih ingat sampai tua! Rm. Van Lith sungguhpun lebih mahir bahasa Jawa, tapi bila berkotbah tidak disediakan dulu rupanya (sebab ia seorang pandai), orang-orang tidak terlalu menangkap, (sedikit-sedikit terlalu tinggi dan mistik). Pendek kata, anak-anak lebih suka mendengarkan Romo Mertens.

Pada suatu hari, satu deputasi murid-murid Kweekschool (jg lebih berani) menghadap romo van Lith di kamarnya dan mohon supaya romo Mertens diberi banyak giliran berkotbah. Sebetulnya permohonan semacam itu tidak sopan, tetapi keluar dari hati yang jujur, tidak bermaksud menyakiti hati romo van Lith. Beliau ( memang orang ‘luas hati’) tidak marah, malah menjawab: “ ya kami orang Belanda tidak dapat begitu berkotbah cara Jawa. Harap saja kapan kelak telah ada pastur Jawa!” Jawaban yang psikologis itu membuka mata dan memberi kegembiraan kepada beberapa murid Kweeks, sebab ternyata bahwa anak Djawa pun bisa jadi Pastur. Dan barangkali diinginkan pula oleh para misionaris—sedikit ragu-ragu, oleh sebab  ‘first generation’.

Tahun 1911 ujian penghabisan yang pertama kali Kweeks Muntilan. Murid kelas VI memang hanya 4 orang, dan lulus 100%. (R. Junus Doelrachim Djajaatmaja, R. Alph. Sujadiman Partasubrata, R. Petrus Semeru Darmaseputra, dan Pastor  FX. Satiman). R. M. P. Semeru dan yang belakangan ini terus ditetapkan menjadi guru Kweeks untuk bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Dan sebab keduanya terus mohon menjadi pastor, maka hanya mengajar 14 jam seminggu. Waktu lainnya untuk belajar Latin dan Yunani. Jadi kalau orang mau, ketika itulah mulainya Seminari kecil di Jawa (feitelijk di Indonesia). Keduanya tinggal di luar college, tetapi di complex college.

Rupa-rupanya menurut hukum Gereja (Soc. J. ), mendirikan Seminari harus memenuhi formaliteiten (Ijin dari atasan), tetapi romo v. Lith sambil menunggu keputusan dari Roma, terus mulai saja memberi pelajaran Latin, sedang Romo Mertens tidak berani  mengabaikan de letter van de wet, belum berani mengajar Yunani. Romo v Lith sebelumnya cari-cari buku Latin dan Yunani di Pasturan Magelang, Jogja, Muntilan sendiri, entah dimana lagi. Aduh dapat Sarton dua tiga ex. Berlainan cetakannya; Volcke (themata); sebangsa bloem lezing Junani, tebal dan tua betul! Serta kami telah mengerti sedikit-sedikit declinatie dan conjugatie terus mertal saja  Liber Machabeorum, sicut gigas.

Mula-mulanya kami berdua diajar oleh R. Van Lith di voorgalerij Pasturan Muntilan. Sepertiga voorgalerij itu kamar (kantor kerja) Romo Mertens. Kalau dipikir ya ‘nggiduhi’. Tambah-tambah ia sendiri juga ingin sekali lekas mulai mengajar Yunani. Jadi ia agak marah (tapi ia memang seorang psikolog dan pedagogis) keluar dari kantornya, bilang kepada Rm. Van Lith: “Zeg, v. Lith, als jullie zo hard praten, kan ik niet werken. Gaan jullie elders zitten”. Ya kami mengerti, P. Rector physically dan psychically ‘kebebregen’. Jadi kami orang-orang ditundung itu lalu belajar di kamar pakaian (lemari-lemari) di pojok college (bagian Normaal, di kidul-kulon sana!

Serta ijin telah datang, juga romo Mertens mulai mengajar Yunani. Ketika masih muda tentu ia seorang pandai dalam segala hal. Tetapi serta ia sudah tua tentu Yunani banyak yang lupa juga. Tetapi dengan senang dan gemar iapun mau menjadi muda lagi, buka woordenboek berulang-ulang ikut membuat themata, seolah-olah. Maka ia masih suka juga: accent! Oxytenon, paroxytenon, circumflex dan lain-lain, dalil-dalil (patokan2) paramasastra. Tetapi dia pegang kuncinya rupa-rupanya.

Tetapi kami berdua masih tinggal di Onderwijzers woningen, bangun pagi betul kurang lebih jam ½ 4; dingin-dingin, berselimut dek-bulu berdamar lampu teplok, membuat themata! Accent ya seperti bubukan merica diuwur-uwurkan.
Entah tahun ’12 atau 13’, kami mulai menjadi interners—satu ruangan dalam college, yang separoh dijadikan chambrete (tiga atau empat), yang separoh masih luas untuk meja makan dan studi. Kami masih terus mengajar Kweeks dan belajar. Kalau tidak salah gaji masih utuh f25, -- P. Superior E. Engbers mau tunjukkan kepandaiannya juga, mengajar kami Francais.

Tahun ‘13’ kalau tidak salah R. Linus Sardal Pantjasuwanda, adik R. Sujadiman tersebut lulus eindex Kweeks terus masuk  Seminari, tidak mengajar sekolah. Seminari menampung 3 murid.
Ketiga-tiganya ‘teken’ mau masuk Jesuit. Ketika kami berdua (yang pertama) telah diberangkatkan ke Eropa, tiap hari Minggu, (oh ya hanya beberapa kali) makan cara Eropa (International), dengan seorang frater Belanda (fr. Versteeg), porok kiri, sendok atau pisau kanan, dll. Vooral fr. Versteeg harus inwijden ons in de tafelwetten sebab kami akan dikirim ke Apostolieke School di Turnhout (Belgium), dan frater itu dulu juga didikan di situ.

Kira-kira bulan Februari 1914 kami berdua berangkat ke Eropa dengan kapal vondel, kami sebagai dititipkan kepada familie van Eupen, Kath, bekas Inspect. Inlands Onderwijs, yang pulang voorgoed dengan familie ke negeri Belanda. Ia bekas kanca sekolahnya  (Lag. School) romo v. Lith. Saya setengah-setengah sebagai jongosnya van Eupen itu, dan romo Piet Darmaseputra seperti jongosnya Br. Schrijne SJ.

Yang tinggal di Seminari Muntilan tahun 1914 itu hanya Linus. Kalau saya tidak salah tahun 15 disusul oleh R. M. Adr. Djajus (sekarang aduh zeg, Mg. Mahabiskop) dan Al. Soekiman (R. Prawirapratama Ambarawa adik orang di bawah ini), dan R. M. Athanasius Djajengutama. Linus dan mas Djajeng meninggal di Holland, dimakamkan jajar (meninggalnya tidak bersama-sama) di Novisiat Mariendaal. Selanjutnya perkembangan Seminari saya tidak tahu.

Pastor  FX. Satiman di Rawaseneng



2 komentar:

  1. Mas Saya Andreas Adityanto cucu dari R. Alph. Sujadiman Partasubrata yang tinggal di jalan sleko 2 muntilan. kakek saya ini saya tidak kenal karena sudah meninggal pada saat bapak saya masih kecil. dengan cerita ini saya jadi sangat tertarik.

    BalasHapus
  2. hehehe iya pak, saya hanya menuliskan kembali kisah itu yang saya temukan di majalah seminari mertoyudan. semoga bermanfaat untuk mengenang sekaligus menghormati leluhur kita yang telah banyak berjuang demi bangsa ini

    BalasHapus