Kamis, 23 Mei 2019

JANGAN HUKUM PARA PERUSUH

Sedih benar menyaksikan terjadinya kerusuhan pasca pengumuman hasil Pemilu Capres dan Cawapres tahun 2019. Pada tanggal 22 Mei 2019, di beberapa tempat di Ibukota Jakarta terjadi kerusuhan antara massa yang mendemo hasil pemilu berhadapan dengan pihak Kepolisian yang mengamankan dan menjaga kantor Bawaslu dan KPU. Kerusuhan itu terjadi ketika massa mulai melempari para petugas kepolisian dengan batu, bom molotov dan juga petasan. Pada tanggal 22 Mei 2019, sejak dini hari, beberapa tempat di Jakarta berubah seperti medan perang. Lemparan batu, petasan dan bom molotov dari para pendemo dibalas dengan tembakan water canon dan gas air mata dari petugas kepolisian. Beberapa mobil yang terparkir di sekitar tempat demo pun tak luput dari pembakaran oleh para pendemo.


Kenapa kerusuhan terjadi? Bukankah para pendemo itu juga merupakan anak bangsa Indonesia yang dasarnya adalah Pancasila dan hukum yang adil. Jika di negara ini Pancasila serta hukum menjadi dasar dari hidup berbangsa, kenapa kekerasan tetap menjadi pilihan untuk menyampaikan aspirasinya? Bukankah itu justru tindakan yang mencederai dasar negara dan juga hukum di Indonesia? Kenapa orang-orang yang berdemo itu berani mempertaruhkan nyawanya untuk melawan petugas dengan memaksakan diri melalui tindakan kekerasan? Apakah dengan melakukan tindakan kerusuhan lantas pemerintah yang sah dan juga keputusan KPU serta Bawaslu dapat dianulir? Apakah negara Indonesia ini berdasarkan hukum rimba yang selalu meminta tumbal nyawa bagi setiap pergantian rezim penguasa/pemerintahannya?

Namun dibalik kesedihan itu, kita patut bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang dengan sigap mengamankan situasi. TNI dan Polri terbukti kompak dalam mengamankan peristiwa kerusuhan itu sehingga tidak memakan korban yang lebih banyak. Selain itu, pernyataan dari pihak capres dan cawapres yang dinyatakan kalah dalam pemilu bahwa akan menempuh jalur hukum untuk memprotes hasil pemilu juga turut meredam situasi. Namun apakah demo yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2019 itu hanya karena memprotes hasil pemilu?

Pertanyaan ini susah untuk dijawab karena akhirnya Polisi menemukan bahwa ternyata para perusuh yang ikut memicu kerusuhan itu merupakan orang-orang suruhan. Mereka dibayar dan dipersiapkan. Selain itu, ada alasan lain selain memprotes hasil pemilu yakni mereka merasa bahwa demo itu adalah perjuangan jihad. Jihad macam manakah? Semuanya masih serba samar, tetapi mendengar penuturan dari bapak seorang pendemo yang meninggal bahwa anaknya mati syahid, sungguh miris sebenarnya. Kenapa doktrin tentang mati syahid menjadi begitu konyol ketika jalan kekerasan yang dipilih. Bahkan dengan mengorbankan diri untuk membela sesuatu yang tidak jelas.


Para pendemo yang turun ke jalan melawan pihak kepolisian ini adalah orang-orang sederhana. Mereka melakukan itu demi mendapatkan rupiah atau karena didorong oleh keyakinan  tentang mati syahid yang telah dikumandangkan oleh para bos nya. Para bos itu bisa menggerakkan mereka karena mereka memiliki duit (uang) untuk membayar mereka dan juga memiliki doktrin tentang mati syahid. Tetapi apakah para bos itu ikut turun ke jalan dan berjuang? TIDAK. Mereka semua duduk diam di rumah, menyaksikan para pionnya bertumbangan diterjang kekerasan yang dibuat mereka sendiri. Bahkan pihak kepolisian sendiri menegaskan bahwa mereka tidak pernah menggunakan peluru tajam, karena pendemo itu merupakan warga negara yang dijamin haknya untuk menyampaikan aspirasi. Namun jika jalan kekerasan dipilih, maka kekerasan itu sendiri yang akan memakan korban dari para pelakunya. Dan ketika akhirnya para perusuh itu berhasil ditangkap oleh petugas kepolisian, mereka ditetapkan sebagai tersangka seturut hukum yang berlaku di negeri ini. Meski sebenarnya, aku merasa kasihan sungguh dengan orang-orang itu. Mereka hanyalah pion yang digerakkan oleh para bos. Mereka tidak layak untuk dihukum.

Harapannya, pemerintah segera bisa menguak dalang dari kerusuhan itu yang sebenarnya sangat membahayakan kehidupan berbangsa kita. Sebab hasutan oleh doktrin mati syahid yang konyol serta membayar orang untuk melakukan kekerasan sungguh mengancam dasar negara dan hukum kita. Para pendemo yang akhirnya tertangkap tersebut jangan dihukum, tetapi diberi pemahaman baru supaya tidak mudah terhasut serta mau dibayar untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan dasar negara dan hukum. Pihak yang harusnya dihukum adalah mereka para bos yang telah menghasut mereka serta membayar mereka. Siapakah itu? Tentu kita semua sebenarnya tahu, sebab di Indonesia ini semuanya serba terbuka. Ketika agama sudah berkolaborasi dengan kepentingan politik, maka agama itu mulai mengalami pembusukan. Dan itulah yang sebenarnya terjadi, maka orang dengan mudah menyatakan akan mati syahid meski yang dibuat justru bertentangan dengan nilai sejati agamanya. Ada hal yang harus segera diatasi bagi bangsa ini yakni meletakkan kembali Pancasila ke tempat sejatinya dalam setiap sanubari rakyat bangsa ini. Agama bukanlah sebuah alat untuk meraih kekuasaan tetapi sebagai penuntun kehidupan. Dan tentu saja tidak ada agama di dunia ini yang mengajak umatnya untuk menggunakan kekerasan dalam meraih kekuasaan.

Semoga peristiwa kerusuhan tanggal 22 Mei 2019 menjadi pembelajaran kita bersama sebagai bangsa bahwa jihad sebenarnya adalah perjuangan berdasarkan Pancasila, berdasarkan hukum yang adil, bukan karena hasutan doktrin irasional yang mengijinkan kekerasan, ataupun membayar orang untuk melakukan kekerasan demi merebut kekuasaan. Semoga peristiwa tanggal 22 Mei 2019 juga menyadarkan para bos untuk tidak lagi memperlakukan warganya hanya sekedar pion yang pantas untuk dikorbankan demi melenggangkan langkah mereka menguasai negeri ini. Dan semoga peristiwa 22 Mei 2019 ini menjadi pembelajaran bagi kita untuk semakin memahami kebenaran sejati tanpa harus ada jatuh korban lagi. Semoga mereka yang menjadi korban mendapatkan tempat yang sesuai dengan kasih Tuhan maha pengampun dan para bos itu berani mengakui diri secara ksatria sebagai pihak yang bertanggung jawab. Semoga peristiwa 22 Mei 2019 semakin menegaskan bahwa Pancasila benar-benar sakti, sebagai jalan jihad bagi setiap agama dan kepercayaan yang tinggal di negeri ini, dan bukan dengan menggantikannya. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar