Minggu, 16 Juni 2019

AGAMA: SEMACAM NARKOBA?


Pernah terlontar dari seorang Karl Marx, filsuf kebangsaan Jerman tentang agama yang disebutnya sebagai opium bagi masyarakat. Ia menulis gagasannya itu dalam sebuah tulisan berjudul: “A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right”. Ia menulis karyanya ini pada tahun 1843. Konteks tulisan Karl Marx ini adalah sebuah introduksi untuk sebuah buku kecil yang mengkritisi Filsuf Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang menulis Elements of The Philosophy of Right pada tahun 1820. Tulisan Marx ini awalnya tidak terkenal karena tidak diterbitkan hingga setelah kematiannya. Tulisan itu diterbitkan dalam sebuah jurnal yang hanya dicetak sebanyak 1000 salinan saja. Kutipan ini mulai terkenal setelah pemikiran Marx banyak diikuti pada sekitar tahun 1930-an.

Perlu dilihat lebih jauh, bahwa kutipan terkenal dari Karl Marx ini lebih sering diambil secara sepotong-potong tanpa menyertakan keseluruhannya. Dalam tulisannya tentang agama sebagai opium masyarakat, Marx sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa agama sebagai sebuah hal yang membuat manusia mengalami ketergantungan semacam candu, tetapi lebih melihat sebagai sebuah cara untuk melepaskan diri dari rasa sakit dan penderitaan sebagaimana cara kerja opium. Kutipan Marx ini secara lengkap berbunyi demikian: “



The foundation of irreligious criticism is: Man makes religion, religion does not make man. Religion is, indeed, the self-consciousness and self-esteem of man who has either not yet won through to himself, or has already lost himself again. But man is no abstract being squatting outside the world. Man is the world of man – state, society. This state and this society produce religion, which is an inverted consciousness of the world, because they are an inverted world. Religion is the general theory of this world, its encyclopaedic compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneur, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, and its universal basis of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human essence since the human essence has not acquired any true reality. The struggle against religion is, therefore, indirectly the struggle against that world whose spiritual aroma is religion.
Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.
The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions. The criticism of religion is, therefore, in embryo, the criticism of that vale of tears of which religion is the halo.

Dalam tulisan itu, menurut Marx, Agama adalah desah napas keluhan (sigh) dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah opium bagi masyarakat. Agama dipahami sebagai bagian dari usaha manusia untuk menemukan kebahagiaan di tengah situasi dunia yang penuh dengan penderitaan. Justru sebenarnya inilah kritik Marx terhadap agama yang seakan membuat manusia tidak berani berhadapan dengan realitas hidupnya. Dalam arti tertentu, opium/candu yang dimaksud oleh Marx bukanlah realitas agama yang membuat orang kecanduan atau ketergantungan, tetapi lebih sebagai bentuk pelarian untuk menemukan sebuah ilusi “kesempurnaan” di tengah dunia yang tidak sempurna ini. Mungkin maksud Marx menulis pernyataan itu adalah sebagai kritik atas posisi agama yang ditempatkan sebagai jalan pintas manusia untuk mengatasi realitas ketidaksempurnaannya.

Atau dengan kata lain, selama ini agama diciptakan untuk memberikan “tempat persembunyian yang nyaman” bagi manusia yang seharusnya berhadapan dengan realitas dunia yang penuh perjuangan ini. Dengan demikian, agama membuat daya juang seseorang menjadi lemah atas perjuangan kemanusiaannya. Berhadapan dengan rimba raya ketidakpastian dunia ini, manusia merasa menemukan kepastiannya melalui agama, dan itu menurut Marx hanyalah sebuah ilusi. Sama seperti kita mengkonsumsi opium untuk menghilangkan rasa sakit dan penderitaan yang keberadaannya sungguh-sungguh nyata. Opium memang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan, namun itu bersifat ilusi dan sementara

Jadi, menurutku, kritik Marx terhadap agama tidak ditujukan secara langsung tentang eksistensi agama, tetapi soal posisi agama. Kritik Marx tidaklah mempertanyakan tentang realitas agama tetapi soal fungsi agama yang lebih sebagai candu daripada sebagai sebuah  jiwa dari perjuangan ke arah kesempurnaan dunia.

Bagaimana menurutmu?

Sungguh menarik untuk kembali menggali pemikiran Karl Marx tentang agama yang disebutnya sebagai candu masyarakat. Tidakkah itu memang benar-benar nyata? Atau kata-kata Marx ini sekedar ilusinya karena candu itu sudah sedemikian memberangus kesadaran manusia atas dirinya di tengah dunia ini? Jika kita melihat secara global tentang kisah-kisah agama hingga zaman ini, tidakkah kita melihat kritik Marx terhadap agama ini masih relevan?
Memang agama-agama berkembang pesat hingga saat ini, tetapi keadilan apakah berkembang pesat? Ketika teknologi melaju secepat pesawat supersonic dalam membuka tabir keunikan manusia, apakah agama turut berkembang sebagai bagian dari perjuangan itu? Seringkali yang terjadi justru sebaliknya, kemanusiaan seringkali dihambat oleh agama karena perubahan ke arah eksistensi manusia yang begitu unik dan menakjubkan melalui sains dan teknologi menempatkan manusia berhadapan langsung dengan situasi penderitaan serta kesendirian. Manusia lebih suka berada dalam zona nyaman dan pasti sebagaimana ditawarkan dalam agama. Situasi ini persis seperti seorang yang lebih suka memandang agama seperti narkoba yang memberikan efek nyaman, energi yang pasti, daripada memandang agama sebagai daya alami manusia yang memungkinkannya untuk berada dalam ketidakpastian, penuh perjuangan, dan berhadapan langsung dengan ketidakberdayaan.

Ketika sains dan teknologi berevolusi maju menampakkan pancaran keunikan manusia tanpa apologi, agama justru sering membuat manusia lebih banyak protes dan menghakimi proses evolusi itu dengan dalil-dalilnya yang bernada apologi? Lalu apa yang sebenarnya dibela agama dengan dalil-dalilnya itu? Lalu kebenaran semacam apakah yang ditawarkan oleh agama ketika masing-masing mengklaim sebagai jalan lurus kepada kebahagiaan lalu menafikan lainnya, termasuk rasionalitas manusia?

Tidakkah sebenarnya agama berjalan seiring dengan rasionalitas? Tidakkah agama sebenarnya mengasah jiwa manusia hingga sampai kepada realitas kemanusiaannya yang paling sejati? Tidakkah agama sebenarnya berperan sebagai penunjuk jalan manusia untuk berani berhadapan dengan realitas sebagai manusia di tengah dunia. Tidakkah agama adalah sarana untuk memahami evolusi ke arah kemanusiaan yang sebenarnya? Tidakkah agama menuntun manusia untuk tidak menjadi pecundang dalam hidup ini, yang berani dengan fair berhadapan dengan segala kemajuan dan keprihatinannya?

Semoga kritik Marx ini membuat kita bermenung sejenak, supaya kita tidak mabuk agama, tidak menempatkan agama sebagai opium yang ilutif, sehingga kemanusiaan kita benar-benar mengalami kemerdekaan. Mungkin Marx berpesan: “sebelum jadi manusia beragama yang sempurna, jadilah manusia yang benar-benar manusia terlebih dahulu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar