Jumat, 07 Oktober 2011

Datanglah Kerajaan-Mu (Membaca Teologi Pembebasan Joao Batista Libanio)


Pengantar 
Dunia dan sejarah manusia senantiasa berubah. Titik-titik pencapaian usaha rasional manusia telah mempermak wajah dunia sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinan kontinuitasnya. Situasi ini selalu dilematis, disatu sisi perubahan itu menyatakan suatu kemajuan kemanusiaan namun di sisi lain, bersamaan dengan itu, muncul kelompok korban yang tak mampu berjalan di rel yang disebut sebagai kemajuan kemanusiaan itu. Anehnya, golongan ini justru mewakili sebagian besar wajah dunia yang sesungguhnya. Mereka, para korban itu terjepit dalam hingar bingar kejayaan manusia dengan kemajuan bidang-bidang kehidupan seperti ekonomi kapitalistik, politik utilitarian, sosialisme totaliter dan implosi kebudayaan global era teknologi informasi. Dengan kata lain, kemajuan-kemajuan itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga dunia. Selebihnya, para korban berjuang untuk survive di tanah sendiri yang telah menjadi ‘asing’. Culture of death menjadi ancaman langsung bagi pemaknaan atas hidup. Cita-cita keselamatan pun menjadi semacam utopia ketika dekadensi moral, kekerasan, hedonisme individualistik  dan kemiskinan struktural seolah laten mengakar pada setiap realitas hidup manusia. Penderitaan menjadi keniscayaan dalam hidup. Dalam situasi inilah, iman terhadap Allah Sang Sumber Hidup dan Keselamatan sejati ditantang dan dipertanyakan.  Apa arti beriman di tengah dunia  yang mulai ‘meminggirkan’ Allah dan menggantinya dengan ideologi, sistem, serta kebudayaan yang menempatkan konsumerisme, dominasi kapital, hedonisme dan kekuasaan monopolistik represif sebagai nilai tertinggi? Apakah yang dapat dijawab oleh iman ketika culture of death menjadi semacam narasi besar dalam perjalanan sejarah hidup manusia dewasa ini?

                Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa direfleksikan oleh Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II. Refleksi  teologis tentang wahyu dan iman tak akan pernah dilepaskan dari pemaknaan atas realitas dunia yang tengah bergulir[1]. Secara khusus, pergulatan teologis era ini lebih berfokus pada pergulatan untuk menemukan kehendak Tuhan di  jaman ini yang ditandai dengan begitu banyak persoalan. Gereja  mulai terbuka pada partikularitas persoalan dunia. Gereja mulai  merefleksikan kembali orientasi dasarnya sebagai sakramen keselamatan Kristus bagi dunia real di sepanjang waktu dan seluas dunia. Refleksi ini hanya bisa dilakukan dengan membuka diri untuk mengalami perjumpaan, perjuangan bersama ‘Yang lain/yang berbeda’ demi mencapai keselamatan universal saat ini dan di sini. Untuk itu, refleksi atas dunia dan realitasnya menjadi nafas hidup Gereja dalam mempertanggungjawabkan imannya akan Kristus dan Kabar Gembira-Nya yang adalah Kebenaran Sejati.
Konsekuensinya, Gereja harus mulai melibatkan diri dalam perjuangan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dunia bukan hanya dengan praktek-praktek religius ritual formal tetapi terlibat sungguh dalam praksis hidup sosial sehari-hari. Keterlibatan real ini sebagai bentuk perwujudan iman yang hidup akan janji Allah pada umat-Nya tentang keselamatan eskatologis yang telah dimulai sejak sekarang hingga akhir jaman seperti yang telah disabdakan oleh Kristus sendiri. At all events (scripture) it has no desire to be independent, but can only subsist within the spiritual reality of Jesus Christ, who remains with his own ‘always, to the close of the age’ (Mat 28:20) [2]. Keterlibatan umat beriman dalam menjawab persoalan-persoalan dunia ini juga merupakan wujud penyertaan  Allah dalam sejarah manusia. Dari titik ini pulalah berbagai dimensi/tema dalam refleksi teologis atas realitas dunia mulai bermunculan; salah satunya adalah Teologi Pembebasan.
Teologi  Pembebasan muncul sebagai konsekuensi dari refleksi umat beriman atas realitas penderitaan yang dialami rakyat dari Negara-negara dunia  Ke-3 serta kaitannya dengan cita-cita keselamatan eskatologis yang adalah janji  Allah bagi umat-Nya di sepanjang waktu dan segala tempat. Teologi Pembebasan hendak merefleksikan bagaimana karya Allah di tengah-tengah penderitaan umat-Nya di jaman ini (yang ditandai dengan  begitu banyak culture of death) sungguh hadir secara real dalam keterlibatan untuk bergerak demi pembebasan  dari kuasa dosa-dosa dunia modern.

Joao Batista Libanio seorang Teolog Pembebasan

                Dalam kerangka berpikir seperti yang telah dikemukakan diatas, tulisan ini hendak mencoba   membaca secara sederhana refleksi teologis seorang teolog modern dari Negara Dunia ke-3 yang berbicara tentang Teologi Pembebasan. Teolog tersebut adalah Joao Batista Libanio, SJ; seorang teolog berkewarganegaraan Brazil. Sebagai seorang teolog, Libanio mencoba merefleksikan realitas sosial Brazil serta kaitannya dengan hidup beriman sebagai Gereja partikular Amerika Latin. Joao Batista Libanio, SJ adalah Profesor di Universitas Katolik Rio de Janeiro, Brazil. Ia adalah anggota dari Institut Nasional Perencanaan Pastoral pada Konferensi Para Uskup Brazil dan penasihat bagi karya pastoral di banyak keuskupan di Brazil. Sebagai seorang teolog pasca Konsili Vatikan II, Libanio mendasarkan metode teologinya pada terang gerak  Gereja Konsili Vatikan II. Ia menggunakan metode interdisipliner dalam mendasari pergulatan refleksinya yakni: (1) analisis situasi; (2) Kajian tradisi Kristiani dan Spiritualitas; (3) Kajian tanggapan terhadap persoalan masyarakat dan Gereja; (4) Perumusan refleksi yang intelligible dan memberdayakan, serta (5) mengemukakan 5 prinsip edukatif: learn to know and think, learn to do, learn to live with others, learn to be, dan learn to discern God’s will [3]. Tema-tema tulisan hasil refleksi teologisnya berkisar tentang: kolegialitas hidup menggereja, pergulatan refleksi iman-wahyu, pertalian antara iman-akal budi, eskatologi, katekese, dan pembebasan.
Dari tema-tema tersebut, tampak bahwa Libanio adalah seorang teolog yang tidak mau menjadikan teologi sebagai sebuah refleksi hidup beriman yang abstrak dan formal tetapi sungguh real menyentuh hidup manusia. Dalam pandangannya, teologi tidak hanya menjadi ilmu yang selalu berbicara tentang hal-hal saleh dan melulu ilahi tetapi sungguh membumi dengan melibatkan diri untuk bergerak bersama dengan para korban dalam mengalami Kedatangan Kerajaan Allah yang nyata saat ini dan di dunia ini (mengungkap dimensi ilahi dan insani warta keselamatan Allah). Teologi  selalu berdimensi ‘membebaskan’ ketika berhadapan dengan realitas dunia yang dikuasai oleh begitu banyak penindasan karena mulai meninggalkan hakikat relasionalnya dengan Allah. Hal ini bercermin dari pengalaman para Nabi Israel dalam mewartakan misi keselamatan Allah yang berciri membebaskan dan berpuncak dalam diri Yesus Kristus Sang Pembebas. Bagi Libanio, warta keselamatan Allah yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus itu masih berlangsung hingga sekarang dengan realitas penindasan sosial yang berbeda-beda. Dengan demikian, refleksi teologis mempunyai tugas untuk melanjutkan karya keselamatan Allah yang berpuncak dalam diri Kristus itu bagi dunia saat ini.

Potret Masyarakat Brazil di mata Joao Batista Libanio

                Dalam artikelnya yang berjudul Brazil [4], Libanio merefleksikan realitas sosial Brazil serta kaitannya dengan hidup beriman dalam mewartakan Kerajaan Allah. Untuk memulai sebuah proses refleksi, Libanio menempatkan refleksinya dalam konteks dan analisis sosial tertentu. Konteks yang mendasarinya adalah refleksi Gereja Universal dalam Konsili Vatikan II tentang keterbukaan Gereja terhadap kebebasan hidup religius setiap manusia dan suatu kelompok bangsa/masyarakat partikular[5]. Dalam konteks ini, Libanio kemudian menarik refleksi atas realitas masyarakat Brazil, suatu masyarakat yang dihadapinya sehari-hari, serta kemungkinan mewartakan Kerajaan Allah dalam situasi tersebut.
Pertama-tama, ia berupaya mengenali problem dasar aktual yang menjadi identitas, dinamika, dan pergulatan hidup sosial masyarakat Brazil. Ia setidaknya menemukan tiga permasalahan fundamental yang ada dalam realitas kebebasan hidup religius masyarakat Brazil yakni: (1) dominasi klerus Katolik atas massa; (2) dominasi masyarakat Katolik kulit putih atas masyarakat kulit hitam; dan (3) Situasi konflik yang muncul karena pewartaan tentang keadilan sosial[6]. Mayoritas masyarakat Brazil adalah penganut Katolik. Ini berkaitan dengan sejarah ekspansi Portugis pada paruh kedua abad ke-19 yang datang ke wilayah Brazil dengan membawa juga tradisi Katolik. Sejak saat itu, kebebasan religius umat di Brazil dibatasi oleh institusionalisasi religius oleh pihak klerus. Inisiatif dan otonomi hidup religius mereka mulai diambil alih oleh golongan klerus. Realitas ini menyebabkan peran kaum awam dalam kehidupan menggereja tereduksi sedemikian rupa. Mereka akhirnya hanya menjadi konsumen dan bukan produsen (pencipta) dari ungkapan-ungkapan religius.[7] Hal ini menyebabkan munculnya rasa rendah diri bagi umat Brazil dalam mengembangkan dan mengungkapkan hidup religius otentik mereka. Gereja Brazil menjadi pastor-sentris dengan meminimalkan peran umat dalam kehidupan menggereja. Dalam konteks ini, Gereja Brazil justru menciptakan belenggu religius yang membatasi umat dalam mengungkapkan imannya secara otentik.
Problem kedua juga merupakan hasil dari sejarah kolonialisme Brazil.  Golongan kulit putih Katolik menciptakan penindasan religius bagi para budak kulit hitam Afrika yang kala itu mengikuti tuannya untuk datang ke Brazil. Para budak itu harus mengikuti agama dari tuannya yakni Katolik. Ungkapan religius otentik dari kaum kulit hitam di Brazil (yang adalah para budak dari Afrika) dimatikan oleh ‘penindasan’ ini. Akibatnya, hidup beriman Katolik dari golongan kulit hitam bukan merupakan pilihan bebas mereka sehingga muncul bentuk-bentuk resistensi terhadap tradisi Eropa dan Katolik. Kaum kulit hitam di Brazil (Afro-Brazilian) ini menyembunyikan budaya Afrika dan mitos-mitos mereka dibalik legitimasi ritus Katolik. Mereka akhirnya ‘berpura-pura’ beriman Katolik.
Problem ketiga yang dicatat oleh Libanio adalah kebebasan hidup religius di Brazil telah dimanipulasi sedemikian rupa oleh pihak penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya (status quo). Ia menggambarkan bahwa realitas masyarakat Brazil yang mayoritas penganut Katolik ini memungkinkan digunakannya praktik-praktik religius/iman Katolik oleh pihak penguasa dalam menarik simpati massa. Kenyataan ini lantas menjadi kritik bagi Gereja dalam hubungannya dengan negara. Gereja mulai kritis dengan segala praktek legitimasi yang dilakukan oleh negara dengan menggunakan simbol-simbol maupun doktrin Katolik. Pada sisi inilah Gereja di Brazil mulai masuk dalam situasi konflik dengan pemerintah. Konflik terjadi ketika pemerintah mulai menerapkan sistem pemerintahan represif pada umat dan ketika mereka mencoba meminta bantuan legitimasi Injil bagi intervensinya pada kehidupan sosial masyarakat. Konflik ini segera diikuti oleh peristiwa-peristiwa memilukan yang terjadi di Brazil, seperti: memfitnah orang yang mulai berjuang bagi HAM, penculikan terhadap aktivis kemanusiaan, menahan para  uskup, pastor, bruder dan seminaris yang berkotbah tentang kritik terhadap pemerintah, penyiksaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk tindakan represif lainnya kepada anggota Gereja yang mengkritik rezim pemerintah.
Ketiga problem fundamental masyarakat Brazil ini menjadi konteks hidup dimana Libanio berusaha mengungkapkan refleksi teologisnya dalam rangka mempertanggungjawabkan iman. Di samping ketiga problem dasar ini, Libanio juga mengungkap bahwa realitas sosial di Brazil saat ini lebih-lebih diwarnai oleh situasi meledaknya fenomena urbanisasi. Dalam tulisannya yang berjudul Pastoral Strategy in the Brazilian Mega-Cities, ia mengungkapkan adanya urbanisasi yang begitu dramatik di Brazil [8]. Fakta bahwa Brazil mulai menjadi Mega-Cities disebabkan karena pesatnya urbanisasi terjadi di negara ini. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan urbanisasi dari tahun ke tahun. Kota besar mempunyai daya tarik bagi para penduduk desa untuk meninggalkan desanya dan memutuskan untuk tinggal di kota. Ada sekitar 79% penduduk Brazil hidup di kota-kota besar, sementara 21% tetap tinggal di desa (rural place). Mengapa dan bagaimana terjadi urbanisasi yang demikian pesat di Brazil? Libanio memberikan beberapa alternatif analisis jawaban untuk memetakan situasi sosial yang tengah terjadi dan menjadi problem kehidupan di Brazil. Ia menemukan setidaknya ada 3 hal yang patut dicermati berkaitan dengan terjadinya urbanisasi di Brazil. Tiga hal itu adalah:
(1)     Seduction with a pinch of illusion (ketertarikan pada ilusi yang menyengsarakan). Pertama-tama, motivasi orang Brazil memilih untuk pergi dan hidup di kota adalah demi mendapatkan pekerjaan. Kota dilihat oleh sebagian besar orang dapat menyediakan pekerjaan yang dapat menopang kehidupannya. Banyak warga pedesaan tak  lagi memiliki pekerjaan karena mekanisme kapitalis dalam bisnis pertanian dan modernisasi pertanian telah membuat lemah daya saing petani kecil di desa. Hal ini memicu warga desa beserta generasinya untuk pergi ke kota demi pekerjaan yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Di samping itu, orang-orang memilih untuk pergi ke kota karena di kota, orang-orang akan menjadi anonim. Mereka  tidak akan dikontrol oleh budaya serta tetangga sekitar di lingkungan desanya sehingga mereka benar-benar menjadi diri mereka sendiri yang merdeka. Orang tertarik untuk berpindah ke kota demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Kesadaran bahwa pendidikan yang lebih baik akan meningkatkan status sosial serta kesejahteraan hidup telah menarik sedemikian banyak orang untuk beranjak meninggalkan desanya dan menetap di kota. Di samping itu, dalam hal kebudayaan dan gaya hidup, orang memilih tinggal di kota karena di kota menyediakan banyak hal yang tidak bisa dialami/didapatkan di desa. Orang memilih untuk tinggal di kota karena keinginan untuk meningkatkan taraf hidup dan kenyamanan. Di kota, orang merasa menemukan banyak kemudahan dan kenyamanan hidup bila dibandingkan dengan hidup di desa yang penuh dengan kerja keras dan kemiskinan. Orang tertarik untuk hidup di kota karena demi mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Di kota, orang dengan mudah mendapatkan layanan kesehatan yang jauh lebih baik daripada hidup di desa. Segera setelah orang-orang dari desa yang sederhana dan miskin ini datang ke kota, ilusi tentang indahnya hidup di kota berubah menjadi hal yang begitu menyakitkan dan mengecewakan. Orang-orang miskin itu tidak punya akses untuk mendapatkan segala kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kehidupan kota besar. Orang-orang miskin ini akan semakin frustasi dengan realitas yang terjadi.
(2)  Decadence (Kemiskinan dan Kemerosotan Kualitas Hidup). Orang-orang yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan segala kenyamanan yang ditawarkan oleh realitas kota besar tadi akhirnya hidup miskin sebagai gelandangan di kota besar. Banyak anak-anak dan orang dewasa di Brazil yang hidup di jalanan. Lalu muncul profesi baru di antara mereka yakni sebagai pemulung. Mereka hidup dari sisa-sisa yang dibuang oleh kota. Di jalan-jalan mulai ada begitu banyak tindakan premanisme, prostitusi, penyuapan polisi, dan berbagai macam tindakan melanggar hukum lainnya. Konsekuensi dari realitas ini adalah bertumbuhnya masyarakat kumuh perkotaan dan merosotnya kualitas hidup. Orang menjadi anonim dan tidak lagi memiliki relasi sosial yang mendalam karena hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja, berjalan, dan pulang. Relasi yang terjalin pun menjadi demikian kering. Demikian juga dalam hal hidup religius, orang-orang ini menjadi orang yang seakan tanpa jiwa dan kehangatan kasih antar sesama. Dalam hidup keluarga, relasi telah dirusak oleh kultur media yang hanya menyediakan pemenuhan hasrat luar manusia serta menghancurkan interioritas manusia.
(3)  Violence (Kekerasan). Realitas kemiskinan dan kemerosotan kualitas hidup kaum urban ini telah meningkatkan terjadinya tindakan-tindakan kekerasan. Rasa aman menjadi suatu hal yang amat mahal karena satu sama lain bersaing demi mendapatkan kenyamanan dan demi menjamin kehidupannya yang kian terdesak. Tindakan kriminal seperti merampok bank, penjarahan, dan pembunuhan menjadi ekspresi frustasi kaum urban karena mereka selalu menjadi korban dari realitas ketidakadilan di perkotaan. Tindakan kriminal/kekerasan ini juga mengancam kaum urban itu sendiri.

Datanglah Kerajaan-Mu: Teologi yang Membumi

                Untuk menjawab problem-problem dalam realitas hidup masyarakat tersebut, maka diperlukan suatu proses refleksi yang melibatkan ilmu-ilmu sosial rasional. Di sini, Libanio mulai mengkaitkan antara perjuangan iman dengan akal budi demi Kerajaan Allah. Sejauh mana akal budi diterangi iman dan iman dipertanggungjawabkan secara masuk akal mulai menerangi proses refleksi dalam menjawab setiap persoalan manusiawi tersebut. Ini dilakukan demi mendapatkan jawaban yang intelligible dan memberdayakan sehingga dapat diikuti dengan proses edukatif lebih lanjut. Salah satu tulisan Libanio yang berbicara tentang hubungan iman dan akal budi dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut adalah Spiritual Discernment and Politics [9]. Dalam tulisan tersebut, Libanio mengungkapkan pentingnya suatu proses discernment (penegasan roh) dalam hidup bermasyarakat (politis) demi mewujudkan Kerajaan Allah. Dikatakan olehnya bahwa setiap tindakan (iman) memiliki makna politis. Makna politis dari setiap tindakan ini akan menjadi keruh (mengalami disorientasi makna) apabila melegitimasikan ketidakadilan dan penindasan. Untuk itu, iman perlu menjadi kritis terhadap segala bentuk legitimasi tersebut. Dalam konteks inilah proses discernment dalam kehidupan politik menjadi penting karena iman dipertanggungjawabkan secara kritis oleh nalar demi menguak disorientasi makna tindakan politis[10]. Arah dari refleksi ini adalah historisasi Kerajaan Allah; Kerajaan Allah yang sungguh real hadir dalam sejarah. Maka diperlukan suatu proses discerment dengan syarat-syarat berikut: purifikasi, kemurahan hati dan doa. Discerment dengan syarat-syarat berikut akhirnya akan membuka pewahyuan baru tentang keselamatan real yang sungguh-sungguh hadir dalam hidup sosial masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip Injili.
Dalam Spiritual Discernment and Politics[11], Libanio mengungkapkan betapa pentingnya menyadari bahwa kita hidup dalam suatu masyarakat yang dikendalikan oleh pergerakan ideologis yang selalu mencari perubahan dan memiliki suatu kepentingan tertentu. Dengan demikian, masyarakat hidup dalam suatu lingkungan dimana ideologi dan praksis selalu berinteraksi. Oleh karena itu gerakan masyarakat akan selalu mengarah pada kedua hal tersebut. Masyarakat tidak lagi kritis dengan realitas hidupnya, termasuk dengan iman dan pewahyuan yang terjadi dalam realitas sosial. Untuk itu diperlukan adanya suatu ‘suspicion’ (suatu bentuk keraguan yang mempertanyakan tentang makna dari praksis dan teori (ideologi) serta kaitannya dengan interpretasi atas pewahyuan dan praktik religius).
Sumber dari ‘suspicion’ ini adalah pengalaman (experience). Pengalaman ini  terbentuk melalui  kontak dengan kelompok lain yang mempertanyakan setiap tindakan kita, menguji keyakinan kita dengan data yang kita miliki, dan yang membuka kedok ideologi kita. Dengan mengadakan kontak ini, maka perubahan sosial akan terjadi. Lalu, kita akan memiliki lingkungan baru dimana teori dan praksis memiliki kaitan dengan realitas serta pewahyuan. Hal ini tentu akan meruntuhkan segala keyakinan akan pemahaman realitas sosial sebagai suatu realitas sosio-mekanik. Tidak ada mekanisme sosial yang membawa masyarakat pada pertobatan yang sejati, sikap kritis terhadap realitas, analisis sosial yang jernih/jujur, dan pemahaman baru terhadap praksis sosial. Suspicion ini akan membawa suatu masyarakat ke arah keterbukaan (openness).
 Dalam dimensi teologis, keterbukaan ini selalu mengarahkan pada kesadaran akan ‘yang lain’ dalam pencapaian keselamatan individu. Dengan demikian, iman pun tidak lagi tinggal terpasung sebagai suatu realitas individual egoistik tetapi terbuka untuk mengenal, berelasi, dan berjuang bersama dengan ‘yang lain’, ‘yang berbeda’, ‘yang tersisih’ dalam rangka mencari makna keselamatan bersama. God is Other, the not-I. Dengan demikian, untuk mengkritisi ‘posisi sosial’ ini, segenap umat beriman hendaknya memiliki suatu sikap terbuka terhadap pengalaman baru, kecurigaan (suspicion) baru, reformulasi baru dalam praktik dan analisis sosialnya, serta interpretasi pewahyuan dan praktik iman yang baru. Keterbukaan ini merupakan suatu pilihan merdeka yang muncul dari pemahaman atas Injil sebagai warta keselamatan melalui perjumpaan dengan ‘Yang lain’.
Keterbukaan ini, sebagaimana dipesankan oleh Injil, menjadi kelanjutan dari proses pertobatan, pemurnian, dimana setiap orang dapat meneliti/mengoreksi/autokritik terhadap diri sendiri dan selalu mawas diri dengan selalu bertanya  tentang makna ketika berhadapan dengan pengalaman baru. Keterbukaan akan ‘Yang lain’ ini menjadi tuntutan dasar dari Jalan hidup sebagai seorang Kristiani. Sebagaimana Yesus sendiri juga terbuka terhadap orang-orang yang dinilai oleh masyarakat sebagai ‘yang lain’: orang-orang berdosa, tersisih, cacat, sakit, dll. Dengan sikap ‘terbuka’  terhadap ‘yang lain dan yang berbeda’ inilah kiranya pemurnian terhadap kehidupan sosial politik menjadi suatu ‘discernment Injili yang jujur, intelligible dan memberdayakan. Pada sisi ini, teologi akan sungguh-sungguh menyentuh realitas pembebasan manusia dari segala penindasan oleh permasalahan-permasalahan dunia demi hadirnya Kerajaan Allah.
Pada akhirnya, teologi hendaknya meneruskan refleksinya hingga ke taraf strategi pastoral. Dalam Pastoral Strategy in the Brazilian Mega-Cities, Libanio memberikan dua alternatif solusi untuk menjawab problem urbanisasi di masyarakat Brazil sebagai model strategi pastoral yang dapat dilakukan oleh Gereja[12]. Alternatif pertama adalah pastoral konsolasi (charismatic pastoral). Dalam menerapkan strategi pastoral karismatik ini, Gereja melayani secara konkret kerinduan religius umat dengan pelayanan sakramen dan praktek hidup religius. Pelayanan ini dimaksudkan untuk menjawab kerinduan hati umat akan kedamaian dan kesalehan. Ritus liturgi dan pelayanan rohani menjadi penting. Ini dapat dilakukan oleh Gereja dengan menggunakan begitu banyak sarana yang disediakan oleh dunia modern, termasuk salah satunya adalah media massa. Alternatif kedua adalah keterlibatan Gereja dalam kehidupan sosial masyarakat (social side pastoral). Pelayanan karitatif, edukatif, dan sikap kritis terhadap sistem sosial hendaknya tetap diperjuangkan oleh Gereja. Keterlibatan Gereja dalam hidup sosial ini dilakukan dengan mengembangkan kesadaran masyarakat untuk memiliki kemandirian dan kekritisan terhadap segala bentuk penindasan. Gerak umat menjadi demikian hidup dengan diawali oleh komunitas-komunitas basis gerejani yang mulai merenungkan Sabda Tuhan berdasarkan konteks hidup sosial mereka. Dengan kedua alternatif strategi pastoral ini, kiranya Gereja akan senantiasa hidup dalam kesetiaannya pada janji Allah akan  Kerajaan-Nya yang sungguh hadir di dunia.

Akhir Kata

                Usaha refleksi teologis Libanio lebih merupakan bentuk pertanggungjawaban iman dalam menjawab dan menghubungkan realitas iman dengan dunia real. Sebagai seorang teolog dari Negara dunia Ke-3, ia mencoba merefleksikan realitas penindasan dan kemiskinan masyarakat di Amerika Latin serta kaitannya dengan proses beriman akan datangnya Kerajaan Allah yang real. Kerajaan ini merupakan janji Allah oleh karena kebangkitan-Nya telah membuka hadirnya keselamatan real bagi sejarah manusia. Realitas keselamatan ini terhubung antara Utopia, harapan Kristiani dan bersumber dari kebangkitan Kristus sendiri[13]. Oleh karena itu, pewartaan wahyu yang ditanggapi oleh iman dalam refleksi teologis pun harus memiliki bahasa pembebasan manusia. Secara sederhana, ia menuturkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu usaha refleksi iman dalam rangka mencari kebenaran melalui pertobatan manusia hingga akhirnya mengenal kehendak Allah dalam sejarah. Teologi Pembebasan akhirnya menampakkan suatu kairos dalam sejarah manusia yang memutus segala bentuk konformisme gerejani dan membangkitkan suatu spiritualitas baru, meski penuh dengan konflik dan pertentangan[14]. Itu semua diupayakan agar realitas Kerajaan-Nya sungguh datang bagi manusia yang selalu membuka diri akan rahmat Pembebasan.

Daftar Bacaan

1.      Hartono Budi, SJ, Catatan Kuliah Capita Selecta Teologi Modern, Yogyakarta: FTW, 2007
2.      J.B. Libanio, “Hope, Utopia, Resurrection” dalam I. Ellacuria & Jon Sobrino, Mysterium Liberationis, New York: Orbis Books, 1993
3.      J.B. Libanio, “Pastoral Strategy in the Brazilian Mega-Cities”, dalam Concilium, 2002
4.      J.B. Libanio, “St. Ignatius and Liberation”, dalam Supplement to the Way, 1991
5.      J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politics, New York: Orbis Books, 1982
6.      J.B. Libanio,”Brazil” dalam Mary Motte FMM & J.R. Lang MM, Mission in Dialog, Orbis Books: New York, 1982
7.      Kung, Hans; “Is the Second Vatican Council Forgotten?” dalam Concilium, 2005
8.      Rahner, K/Ratzinger, J, Revelation and Tradition,  Freiburg, 1966
9.      Ratzinger, Joseph, Theological Highlights of Vatikan II, Paulist Press Deus Books: New York, 1966


GLORIA DEI HOMO VIVENS




[1] Ratzinger, Joseph, Theological Highlights of  Vatikan II, Paulist Press Deus Books: New York, 1966, hal.1-2.
[2]  Rahner, K/Ratzinger, J, Revelation and Tradition, Freiburg, 1966,  hal. 35-49
[3] Hartono Budi, SJ, Catatan Kuliah Capita Selecta Teologi Modern, Yogyakarta: FTW, 2007
[4]J.B. Libanio,” Brazil” dalam Mary Motte FMM & J.R. Lang MM, Mission in Dialog, Orbis Books: New York, 1982,   hal. 471-487
[5] Kung, Hans; “Is the Second Vatican Council Forgotten?” dalam Concilium, 2005 hal.108-111
[6] J. B. Libanio, Opcit, hal. 473
[7] J. B. Libanio, Ibid, hal. 474
[8] J.B. Libanio, “Pastoral Strategy in the Brazilian Mega-Cities”, dalam Concilium, 2002, hal. 61-70
[9] J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politics, New York: Orbis Books, 1982, hal. 7-18
[10] Hartono Budi, SJ, Catatan Kuliah Capita Selecta Teologi Modern, Yogyakarta: FTW, 2007
[11] J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politics, New York: Orbis Books, 1982, hal.7-18
[12] J.B. Libanio, “Pastoral Strategy in the Brazilian Mega-Cities”, dalam Concilium, 2002, hal.65-69
[13] J.B. Libanio, “Hope, Utopia, Resurrection” dalam I. Ellacuria & Jon Sobrino, Mysterium Liberationis, New York: Orbis Books, 1993, hal. 716-727
[14] J.B. Libanio, “St. Ignatius and Liberation”, dalam Supplement to the Way, 1991, hal.51-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar