Minggu, 16 Oktober 2011

Keagungan Cinta Seorang Ibu

Belum lama ini, saya menyaksikan sebuah film karya anak negeri yang berjudul ‘Perempuan Punya Cerita’. Saya terhenyak selepas menyaksikan film tersebut. Air mata ini hampir tertumpah karena rasa haru yang membuncah. Sesuai judul filmnya, saya menyaksikan cerita-cerita dari perempuan-perempuan yang sering menjadi korban dari kekuasaan kaum pria, yang mungkin merupakan cerita sehari-hari juga dalam hidup harian sekian wanita yang ada di negeri ini. Cerita dalam film itu begitu sederhana, lugas dan apa adanya, tentang penderitaan kaum perempuan yang hidup di bawah penindasan hasrat laki-laki.

Film itu sendiri dibangun oleh empat cerita perempuan dari tempat yang berbeda: Pulau Seribu, Yogyakarta, Cibinong, dan Jakarta. Cerita pertama, yakni Cerita dari Pulau Seribu menampilkan perjuangan seorang bidan muda yang mengidap kanker payudara di sebuah desa nelayan miskin. Bidan muda itu tidak memiliki anak, namun ia menaruh kasih yang besar terhadap seorang gadis remaja cacat mental yang adalah tetangganya. Suatu kali, gadis cacat mental itu diperkosa oleh para kuli angkut barang di pelabuhan. Di tengah perjuangannya melawan penyakit kanker payudara yang mulai stadium tiga, ia berusaha mendapatkan keadilan bagi gadis cacat mental yang diperkosa itu. Namun apa yang didapatnya tidak lebih dari sekedar penghinaan. Para pemerkosa hanya meminta maaf saja kepada nenek si gadis dengan memberi uang, maka urusan pun selesai. Bidan itu tidak bisa berbuat banyak karena jika ia masih mengungkit-ungkit masalah perkosaan itu, ia diancam akan diperkarakan juga karena masyarakat telah mengetahui aborsi yang dilakukannya, meski aborsi itu dilakukan demi menyelamatkan nyawa sang ibu. Gadis itu akhirnya hamil. Oleh karena situasi kemiskinan keluarga gadis cacat mental itu, dengan amat terpaksa, bidan muda itu mengaborsi janin dalam rahim si gadis sebelum ia pindah ke Jakarta. 


Ketiga cerita berikutnya kurang lebih menceritakan hal yang sama. Cerita dari Yogyakarta menampilkan tentang fenomena free sex di kalangan para pelajar yang akhirnya membuat mereka mengenal aborsi dan nikah muda. Sementara, Cerita dari Cibinong mengungkapkan tentang penderitaan seorang ibu muda yang miskin, tidak jelas suaminya, dan kehilangan putri remaja satu-satunya yang menjadi korban trafficking (perdagangan perempuan). Akhirnya, film ini diakhiri dengan Cerita dari Jakarta yang menampilkan seorang ibu muda yang harus kehilangan anak dan hartanya karena ia terjangkit virus HIV dari almarhum suaminya yang adalah seorang pecandu narkoba. Ia kehilangan hartanya karena terlilit hutang suaminya dan ia kehilangan anaknya karena orang tua suaminya tidak ingin cucunya hidup bersama ibunya yang telah terjangkit HIV.

Mungkin cerita-cerita perempuan dalam film tersebut tidak dialami oleh seluruh perempuan di seluruh negeri ini. Meski begitu, saya tidak bisa memungkiri bahwa cerita-cerita tentang penderitaan perempuan dalam film itu adalah cerita-cerita real yang benar-benar ada dalam masyarakat kita.Cerita-cerita dalam film itu seolah menampilkan bagaimana kejamnya dunia ini bagi perempuan yang selalu dijadikan korban oleh kekuasaan dan hasrat laki-laki. Cerita-cerita itu seolah menjadi semacam jeritan tak kentara dari para perempuan yang dengan mudah dijadikan objek pemuasan dan kekuasaan laki-laki. Apakah para perempuan itu memang sedemikian hina dan rendah hingga dengan mudah dapat dijadikan korban demi kesenangan laki-laki begitu saja?

Ketika merenungkan hal ini, saya jadi teringat dengan ibu saya. Bagi saya, ibu adalah seorang pahlawan. Melalui pengorbanan beliaulah, saya diperkenankan oleh Tuhan untuk menghirup nafas kehidupan dan tumbuh sebagai seorang manusia. Dan itu berlaku bagi perempuan manapun. Sebab dari penderitaan seorang perempuan, terbukalah pintu kehidupan bagi sekian manusia yang ada di bumi ini, bahkan nabi-nabi besar, dan pemimpin-pemimpin besar yang pernah hidup di dunia ini pun terlahir dari rahim seorang perempuan. Sembilan bulan penuh ia mengandung anaknya dan membesarkannya dengan penuh kasih, berbagi hidup melalui air susu dari tubuhnya, demi kehidupan dan pertumbuhan sang anak. Bukankah hal itu adalah sebuah sikap seorang pahlawan sejati?

Namun agaknya dunia kita saat ini belum mampu melihat sisi keindahan dan kemewahan dari jiwa para perempuan itu. Melalui media massa kita sering melihat, betapa seringnya TKW menjadi korban perkosaan, pembunuhan dan diperlakukan laiknya seorang budak. Hal yang sama juga terjadi pada para perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual akhirnya memilih untuk melacurkan diri, menjadikan diri mereka sebagai budak pemuas nafsu laki-laki. Dan ketika profesi mereka ditindak oleh aparat, amat jarang pihak aparat menjerat para lelaki hidung belang yang telah menggunakan jasa mereka. Oleh karena situasi dan karakter masyarakat seperti inilah, seringkali para perempuan itu tidak menyadari diri mereka sebagai korban dan justru menikmati peran itu sebagai bentuk ketidakberdayaan mereka. Cerita-cerita perempuan dalam film tersebut menjadi salah satu contoh dari sekian banyak peristiwa penderitaan perempuan yang menjadi ‘korban’ kejahatan masyarakat patriarki.

Salah satu pelajaran berharga yang dapat saya peroleh dari refleksi atas film ‘Perempuan Punya Cerita’ tersebut adalah pengalaman mencintai. Ketika seorang perempuan mencintai sesuatu, ia akan dengan rela mengorbankan dirinya demi sesuatu yang dicintainya itu, bahkan ketika harus menderita sedemikian dahsyat. Mereka sadar bahwa perlawanan yang mereka lakukan terhadap ketidakadilan ini seringkali menemui jalan buntu, namun cinta dalam diri mereka selalu membuat para perempuan itu penuh harapan dan tegar dalam menerima dan menjalani penderitaan. Penderitaan bukanlah sebuah kutukan yang harus dihindari dan diingkari tetapi menjadi jalan bagi perwujudan cinta mereka. Kekuatan untuk selalu tegar dalam menghadapi penderitaan menjadi semacam mutiara yang bersinar di tengah kegelapan karena keputusasaan. Hal ini tampak dalam diri bidan muda yang tidak menghiraukan penyakit kanker payudaranya demi memperhatikan dan merawat si gadis cacat mental, dalam diri seorang pelajar Yogyakarta yang memilih menikah muda daripada melakukan aborsi, dalam diri ibu gadis remaja korban trafficking yang dengan setia mencari anaknya, dan juga dalam diri ibu muda yang rela menyerahkan anak gadis kecil satu-satunya kepada mertuanya agar tidak terjangkit virus HIV dari dirinya. Hal yang sama tampak juga dalam perjuangan setiap ibu yang penuh kasih terhadap keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar