Rabu, 12 Oktober 2011

Kisah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang terjadi selama ini merupakan salah satu tantangan dari segenap warga bangsa dalam berproses menuju kesejahteraan sosial yang adil berdasarkan Pancasila. Masih terjadinya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sebagai bagian dari etnis yang turut memperkaya pluralitas Indonesia seolah telah menorehkan luka bagi segenap warga bangsa agar segera menyembuhkannya. Hal ini dapat dipahami karena bagaimanapun juga keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dalam sejarahnya telah turut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap lahirnya Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah berusia lebih dari 500 tahun. Meski demikian, entah kenapa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dianggap tidak memiliki akar budaya asli Indonesia terus menerus terjadi hingga saat ini. Bagaimana proses awal dari diskriminasi terhadap etnis Tionghoa itu terjadi?
Sejak awal keberadaannya di bumi Nusantara ini, etnis Tionghoa telah mengalami berbagai macam keterlibatan politik yang menjadikan mereka etnis khusus yang pantas mendapat perhatian dari pihak pemerintah[1]. Hal ini disebabkan oleh karakter khas mereka yang begitu kuat dalam persaudaraan, budaya dan juga kecakapan dalam bidang pengembangan ekonomi. Oleh karena kekhasan inilah pihak penguasa sering kali memanfaatkan mereka demi mempertahankan kekuasaan. Pemanfaatan kekhasan etnis Tionghoa bagi kepentingan penguasa di Indonesia ini telah bermula dari sejak pemerintahan kolonial Belanda dan memuncak saat Orde Baru berkuasa. Selama itu pula keberadaan etnis Tionghoa selalu menjadi polemik tersendiri dalam usaha konsolidasi sebagai satu bangsa Indonesia. Hingga akhirnya, sejak lahirnya Indonesia, etnis Tionghoa di Indonesia masih tetap dianggap sebagai suatu etnis ‘pendatang’ yang harus mengalami proses naturalisasi melalui asimilasi atau pembauran yang dipaksakan. Sejak saat itu, tepatnya lima tahun sebelum Orde berkuasa serta mulai menerapkan asimilasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, diskusi tentang proses pembauran etnis Tionghoa di Indonesia telah berjalan dengan seru. Diskusi dan perdebatan itu justru terjadi di kalangan etnis Tionghoa sendiri. Polemik itu sangat tampak antara lain dalam koran Star Weekly. Secara garis besar, ada tiga jenis pandangan yang berkembang sekitar tahun 1960 tersebut.[2]
Pandangan pertama adalah pandangan yang mendukung gerakan asimilasi. Gerakan ini memandang bahwa golongan minoritas harus meninggalkan eksklusivitasnya dan bergabung atau melebur dalam gerakan mayoritas. Dalam relasi antara kelompok minoritas dan mayoritas, akan selalu terjadi konflik. Kelompok mayoritas akan membangun pandangan-pandangan atau stereotipe bagi masyarakat minoritas. Stereotipe tersebut akan menimbulkan pertentangan dan konflik satu sama lain. Sebagai contoh, masyarakat mayoritas memandang bahwa etnis Tionghoa adalah pedagang yang tak selalu jujur dan mempunyai kebiasaan jelek dalam perdagangan.[3]
 Bisa jadi stereotip itu benar, tetapi tidak selalu tepat. Stereotip itu pada akhirnya akan membawa pada perasaan superior pada masyarakat mayoritas dan diskriminasi terhadap masyarakat minoritas. Untuk itu, cara yang paling baik untuk peleburan dan pembauran yang seratus persen adalah asimilasi. Orang-orang dari etnis Tionghoa itu harus lebur menjadi orang-orang Indonesia “asli”. Asimilasi berarti menghilangkan identifikasi sebagai anggota golongan minoritas.[4]
Kelompok kedua adalah kelompok yang lebih mendukung gagasan integrasi. Pandangan dari kelompok ini berseberangan dengan pandangan kelompok yang mendukung gerakan asimilasi sebagai satu-satunya usaha pembauran etnis Tionghoa di Indonesia. Integrasi itu “dalam arti mencapai kesatuan harmonis, seperti macam-macam bunga dalam karangan bunga sesuai dengan lambang negara kita ‘Bhinneka Tunggal Ika’, yang mengakibatkan kesediaan (kemauan) pada tiap orang warga negara tidak memandang asal keturunan apa dan suku apa, untuk hidup, bekerja, dan berjuang ke arah diperkokohnya perasaan senasib dan sepenanggungan jawab, yang menyebabkan mereka sebagai satu kesatuan yang harmonis sanggup mengatasi segala krisis penghidupan dengan tekad bulat dan memperkokoh keamanan kehidupan nasionalnya, kehidupan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, penuh.”[5]
 
Pandangan yang ketiga adalah pandangan yang berada pada titik tengah antara pandangan asimilasi dan pandangan integrasi. Pandangan ini dipromotori oleh Mr. Yap Thiam Hien. Dia mengkritik asimilasi karena mereka memandang bahwa asimilasi adalah satu-satunya cara untuk mengusahakan pembauran. Sejatinya, ada lebih banyak cara untuk mengusahakan pembaruan, bahkan tidak hanya asimilasi saja. Berhadapan dengan integrasi, Mr. Yap Thiam Hien mengkritik karena pandangan integrasi itu ingin membuat setiap orang menjadi sama rasa dan sama rasa. Ini adalah ideologi komunis yang justru akan meruntuhkan keragaman masyarakat dan membuat masyarakat menjadi semakin tertekan.


Politik Asimilasi pada Masa Orde Baru

Politik Asimilasi pada Periode 1966-1969: Periode Pembentukan

Periode ini adalah periode awal pembentukan berbagai macam peraturan yang terkait dengan etnis Tionghoa beserta dengan perumusan konsep asimilasi yang ingin dijalankan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pada tahap awal dan akhirnya menjadi dasar dari semua peraturan pemerintah adalah tiga keputusan yang ditetapkan oleh MPRS tahun 1966. Ada tiga jenis peraturan yang jelas ditujukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, Resolusi MPRS No. III/MPRS/1966 dengan jelas pada salah satu bagiannya menyatakan asimilasi sebagai satu-satunya jalan bagi etnis Tionghoa untuk meleburkan diri. Kedua, Resolusi MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudajaan secara tegas mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Undang-undang larangan terhadap sekolah-sekolah asing dan agar pemerintah membina kebudayaan-kebudayaan daerah. Ketiga, Resolusi MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers menyatakan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli pemerintah.[6]
Dengan dikeluarkannya Resolusi MPRS No. III/MPRS/1966, asimilasi telah ditetapkan dan dipastikan menjadi satu-satunya cara yang akan dipakai oleh pemerintah maupun etnis Tionghoa sendiri untuk melebur ke dalam negara kesatuan Indonesia. Untuk itu, dalam periode ini, ada beberapa hal yang dibuat dan dipilih sebagai cara untuk menjalankan asimilasi bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Cara-cara asimilasi yang terjadi pada periode ini adalah penggantian nama, pembentukan badan pengawas etnis Tionghoa, pembatasan praktik agama, kebudayaan, dan adat istiadat Tionghoa, serta pengaturan pendidikan asing.

Politik Asimilasi pada Periode 1969-1981: Periode Pemantapan

Setelah ditetapkan berbagai macam peraturan pada periode 1966 – 1969, ternyata masih banyak terdapat masalah di lapangan. Masih terdapat permasalahan di lapangan. Sementara itu, dua pokok yang menjadi pembahasan dan pergulatan utama pada periode ini adalah soal gerakan ekonomi pribumi dan pengawasan atas etnis Tionghoa lewat peraturan kewarganegaraan. Selain dua itu, masih juga diteruskan persoalan badan pengawas etnis Tionghoa dan asimilasi pendidikan.
Dari peraturan selama periode 1966-1969, tersisa banyak permasalahan di lapangan. Untuk itu, selama masa ini, ditetapkan banyak peraturan yang kiranya bisa mengatasi masalah-masalah teknis itu. Dalam hal ini adalah masalah: surat kabar Cina, aksara Cina, dan tata cara ibadat Cina. Surat kabar Cina akhirnya dibredel dan dilarang. Setelah itu berjalan, aksara Tionghoa juga dilarang untuk digunakan. Maka, surat kabar bagi orang Tionghoa mau tidak mau adalah surat kabar dari pemerintah dan mereka terputus dari akar budayanya. Represi terhadap budaya cina itu sebetulnya terkait erat dengan isu seputar 1974-1980 yaitu persoalan program “ekonomi pribumi”. Represi ini lebih untuk memperlancar program “ekonomi pribumi”.[7]
Stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi di Indonesia menyebabkan perasaan iri di antara masyarakat pribumi. Mereka mendesak pemerintah untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk berkembang, dan memberikan pembatasan-pembatasan kepada para pengusaha Tionghoa. Dari sudut pandang cauvinisme, pengusaha pribumi sangat diuntungkan dengan peraturan itu. Tetapi dari sudut pandang etnis Tionghoa, peraturan itu membatasi usaha mereka untuk semakin mengembangkan diri. Budaya mereka telah ditolak habis-habisan, dan sekarang dalam bidang ekonomi pun mereka mengalami diskriminasi.
 
Setelah masalah “ekonomi pribumi”, yang menjadi masalah berikutnya adalah pengawasan atas etnis Tionghoa lewat kewarganegaraan. Pengawasan dalam kelengkapan pemilikan dokumen kewarganegaraan dilakukan untuk pertama kali di DKI Jakarta dengan mewajibkan semua WNI keturunan asing, termasuk juga anak-anak yang tinggal di wilayah DKI. Kelengkapan dokumen itu adalah: Surat Keterangan Pelaporan WNI yang biasa disebut Formulir K-1.[8]
 Dari surat itu, baru bisa dibuat KTP untuk WNI keturunan Tionghoa. Formulir ini selanjutnya diterapkan untuk semua daerah. Untuk memantapkan pengawasan, suatu Instruksi Presiden mewajibkan setiap etnis Tionghoa Indonesia untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI).

Politik Asimilasi pada Periode 1981-1998

Secara garis besar, ada empat pokok yang menjadi titik perhatian pada periode ini. Yang pertama adalah pelarangan kembali budaya Cina. Perhatian yang kedua adalah pembauran ekonomi, yaitu ekonomi pribumi gaya baru. Yang ketiga adalah penciptaan sistem pengawasan kewarganegaraan yang terpadu. Dan yang keempat adalah “reorganisasi”, yaitu pemangkasan Bakom PKB.
Secara yuridis, segala budaya Cina telah ditolak dan dilarang oleh pemerintah dalam segala bentuknya. Warisan budaya Cina itu dianggap berbahaya karena dapat menghambat proses asimilasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah.[9]
 Lebih lanjut, tidak hanya aksara Cina yang dilarang. Semua teks yang memakai tulisan mandarin dilarang. Bahkan, surat yang sedikit saja mengandung tulisan mandarin ditolak dan tidak akan dikirimkan oleh Kantor Pos Indonesia. Penayangan film maupun video yang menggunakan bahasa Cina dilarang. Segala hal yang berafinitas dengan budaya Cina dilarang.[10] Meskipun demikian, di sana-sini masih saja terdapat berbagai macam budaya Cina yang masih dijalankan meski tidak dalam skala yang meriah dan nasional. Sebagai contoh, budaya Imlek masih dijalankan meski sejak tahun 1993 telah dilarang. Pemerintah seolah diam saja dengan kenyataan itu semua. Pemerintah menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan yaitu pungutan-pungutan bagi mereka yang terang melanggar peraturan dari pemerintah. Peraturan pemerintah menjadi senjata untuk merampok orang-orang Tionghoa. Ini pertama-tama untuk menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya memiliki kuasa. Dari semua pelarangan budaya tersebut, motif di balik semua pelarangan adalah motif ekonomi. Aturan-aturan hukum budaya tersebut memiliki basis ekonomi. Pemerintah ingin menunjukkan kekuatannya dalam melakukan tawar menawar ekonomi.[11]
Berlakunya Keppres No. 14A tahun 1980 dan Keppres no. 18 tahun 1981 menjadi pilar utama dari kemenangan pengusaha pribumi. Meskipun demikian, ternyata pengusaha nonpribumi yang besar bisa menyediakan barang dan jasa bagi pemerintah, tanpa harus berpartner dengan pengusaha pribumi. Ekonomi pribumi yang ditetapkan tahun 1969–1981 ternyata tidak berhasil. Untuk itu, perlu dibentuk sebuah “ekonomi pribumi gaya baru”. Stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi masih diterapkan dan dijalankan. Untuk itu, berbagai macam larangan budaya digiatkan untuk memaksa mereka turut menjalankan program “pembauran di bidang ekonomi.”[12]
Hal ketiga yang terkait dengan peraturan dalam asimilasi pada periode ini adalah penciptaan pengawasaan kewarganegaraan yang lebih terpadu. Pada periode sebelumnya, etnis Tionghoa harus memiliki formulis K-1 dan KTP yang memiliki tanda “O”. Untuk memperoleh formulir K-1 tersebut, mereka terlebih dahulu harus memiliki SKBRI yang proses untuk memperolehnya sangat lama dan mahal. Pada periode ini, persyaratan itu coba dilunakkan. Tanda “O” pada KTP dihilangkan karena KTP lebih mudah untuk dipalsukan. Sementara itu, SKBRI dihilangkan karena semua etnis Tionghoa diandaikan sudah memiliki SKBRI, apalagi proses untuk memiliki SKBRI cukup lama dan mahal. Etnis Tionghoa hanya harus memiliki formulir K-1 yang lebih bersifat individual dan murah. Dengan demikian, pengawasan dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Normalisasi ini berjalan dengan lebih mudah seiring dengan membaiknya hubungan antara Indonesia dengan RRC.[13]
Persoalan asimilasi yang keempat adalah keberadaan Bakom PBK. Bakom PKB ini menjadi kelanjutan dari LPKB. Akan tetapi, badan ini sudah tidak memiliki taring dan sering hanya dijadikan alat untuk melaksanakan program-program yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembauran. Untuk itu, Bakom PKB akhirnya dibubarkan. Maka, semakin jelas bahwa etnis Tionghoa tidak dilibatkan dalam memutuskan masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia.[14]

Stereotip dan kerusuhan Anti Cina

2.1. Stereotip yang dikenakan kepada etnis Tionghoa

Kalau kembali merunut apa yang telah dibuat pada masa pemerintahan Orde Baru, ada beberapa stereotip yang dikenakan kepada etnis Tionghoa. Berikut ini adalah beberapa stereotip yang bisa ditangkap. Dari peristiwa bahwa etnis Tionghoa mulai dikejar dan diasingkan semenjak peristiwa G-30S, kita bisa melihat bahwa etnis Tionghoa dikaitkan dengan komunis. Cina dekat dan mendukung komunisme. Ini terjadi karena dalam kenyataannya RRC memang sering mendukung partai-partai komunis di beberapa negara Asia Tenggara. Pada zaman Soekarno menjadi Presiden, Soekarno begitu dekat dengan partai komunis sehingga mengeluarkan gagasan NASAKOM. Selain itu, Soekarno juga membangun poros Jakarta-Peking. Partai komunis itu didukung oleh RRC. Maka, muncul pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah komunis, atau minimal dekat dengan komunisme.
Etnis Tionghoa juga disebut sebagai orang asing. Mereka bukan menjadi salah satu suku atau bagian dari bangsa Indonesia. Mereka bukan pribumi. Pribumi diartikan sebagai kelompok yang memiliki daerah mereka sendiri.[15]
 Sebagai contoh, kita bisa menyebut orang Batak, dan kita bisa menunjukkan di manakah tanah Batak itu. Kita menunjuk orang Bugis, dan orang Bugis itu berasal dari sebuah daerah Bugis. Orang Cina bukanlah tuan rumah di Indonesia. Nasion Indonesia dimiliki oleh orang pribumi, sementara mereka bukanlah orang pribumi. Dengan demikian, meskipun mereka adalah WNI, mereka tetaplah orang asing. Supaya mereka bisa menjadi satu bagian, mereka harus betul-betul membaur. Dalam kenyataannya, mereka dituntut untuk berasimilasi secara total.
Di kalangan orang pribumi, berkembang stereotip bahwa etnis Tionghoa adalah penguasa dalam bidang ekonomi. Etnis Tionghoa dipersepsi sebagai kelompok yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi.[16]
 Ini menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha pribumi. Karena kecemburuan itu, para pengusaha pribumi mengusulkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa. Pemerintah kemudian juga mengeluarkan keputusan atau larangan bagi etnis Tionghoa untuk bergerak dalam bidang ekonomi.
Pada persoalan agama, budaya, dan ada istiadat, pemerintah melihat bahwa semua hal itu memiliki afinitas dengan tanah leluhur mereka. Karena RRC mendukung komunisme, maka segala yang mengarah pada tanah leluhur yaitu Cina adalah hal yang berbahaya bagi pembauran (asimilasi). Oleh karena itu, dapat dilihat adanya berbagai macam peraturan yang isinya adalah melarang perkembangan budaya, adat, dan agama Cina.
Sebagai warga masyakarat, etnis Tionghoa dikenal dan dipahami sebagai orang yang hidup bergerombol di dalam kelompok dan daerah tersendiri. Mereka tidak tinggal bersama dengan masyarakat pribumi kebanyakan. Mereka biasanya dikenal tinggal di kawasan elit bersama dengan etnis-etnis tionghoa lainnya. Sementar itu, kalau mereka tinggal dimasyarakat, mereka dikenal sebagi orang yang tidak pernah keluar dan tidak aktif dalam kegiatan masyarakat. Akibat dari politik enclave yang diterapkan oleh Belanda, etnis Tionghoa lebih sering ditemukan tinggal di daerah pecinan. Ini menimbulkan perasaan keterasingan antara etnis Tionghoa dengan pribumi.

2.2. Berbagai kerusuhan anti Cina

Sikap anti Cina sebetulnya sudah beredar sejak lama. Bukan baru-baru ini saja. Sikap anti Cina itu muncul karena berbagai stereotip yang telah digemborkan dan akhirnya menguasai pemikiran masyarakat. Di sini, kita akan mencoba melihat berbagai kerusuhan anti Cina yang terjadi selama periode Orde Baru. Dengan melihat itu semua, kita bisa melihat konstelasi antara peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan stereotip yang berkembang dari masyarakat terhadap etnis Tionghoa.

2.2.1. Kerusuhan Ujung Pandang 15-19 September 1997[17]

Seorang anak wanita bernama Anni dibunuh oleh Benny yang adalah orang gila. Benny kemudian dikeroyok massa. Tetapi, massa mulai bergerak dan kemudian memporak-porandakan toko-toko serta pasar yang ada di kota. Komnas Ham menyimpulkan bahwa kerusuhan Ujungpandang terjadi bukan semata oleh pembunuhan Anni, tetapi akibat kesenjangan antargolongan dalam masyarakat. Kerusuhan ini berlangsung selama empat hari. Sasaran dari amuk masa adalah toko-toko atau pusat perdagangan milik etnis Tionghoa.

2.2.3. Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta)
 [18]

Kerusuhan terjadi dengan pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik orang Cina. Tetapi, kerusuhan itu juga memakan korban yaitu para wanita dari etnis Tionghoa. Wanita itu dilecehkan dan dirampas kewanitaannya dengan cara yang paling biadab. Wanita menjadi sarana untuk meneror.[19]Ini menimbulkan trauma tersendiri karena mereka akan sangat ketakutan untuk melaporkan kekejian semacam itu. Di sini, diduga bahwa konflik ini pertama-tama terjadi karena kepentingan politik. Akhirnya, banyak etnis tionghoa yang kemudian lari ke luar negeri.

2.2.4. Kerusuhan Bagansiapiapi – Riau, Selasa, 15 September 1998[20]

Awalnya Zulkifli, 17 tahun, yang berboncengan dengan temannya, Budi Hartono, disenggol oleh dua pengendara sepeda motor, masing-masing Supardi alias A Can, 17 tahun, dan Munir alias A Bok, 18 tahun. A Can dan A Bok tidak kalah gesit. A Can dan A Bok langsung menyerang dengan menggunakan kayu dan mengenai wajah Zulkifli hingga dia tersungkur tidak sadarkan diri. Untuk antisipasi hal-hal yang tidak diharapkan, muspika dan camat mengupayakan perdamaian. Terjadilah perdamaian di antara dua belah pihak. Sehari kemudian, terdengar isu bahwa Zulkifli mati. Akibatnya, senin 14 September 1998, sekitar dua ratus warga bergerak ke pusat kota dan menuntut agar A Bok dan A Can ditangkap dan diproses secara hukum. Selasa malam, massa kembali berkumpul di pusat kota dan mulai merusak toko-toko, menjarah, membakar, dan sebagainya. Konflik seperti ini juga dulu pernah terjadi yaitu pada 12 Maret 1946.

2.3. Akibat dari berbagai stereotip dan kerusuhan anti Cina

Berbagai macam stereotip dikenakan pada etnis Tionghoa. Stereotip itu semakin lama justru membuat mereka menjadi semakin terdesak. Ketika mereka merasa terdesak, mereka akan saling mendukung. Dalam kondisi itu, relasi antara sesama etnis Tionghoa justru akan semakin kuat. Mereka akan semakin takut untuk keluar dari kepompong mereka. Akibatnya, sikap eksklusif mereka justru akan semakin menguat. Dan sebagai counter-nya, mereka akan berusaha bangun dengan sekuat tenaga. Sering kali, setelah mereka bisa bangun, mereka kemudian bisa jadi balik menyerang dengan berbagai macam sarana dan kesempatan yang mereka punyai. Dengan kata lain, asimilasi total justru membawa pada perasaan tertekan. Asimilasi tidak boleh dipaksakan. Asimilasi adalah sebuah proses wajar. Asimilasi bisa berjalan dengan baik jika mereka diberi rasa aman. Tanpa rasa aman, asimilasi tidak akan terjadi. Yang terjadi justru adalah eksklusifitas yang semakin tinggi. Ketika eksklusivitas semakin tinggi, kerusuhan menjadi tak tertanggungkan.
Setelah kerusuhan itu, banyak orang tionghoa yang kehilangan segala-galanya. Mereka kehilangan harapan, harga diri sebagai manusia, harga diri sebagai wanita, dan juga harta mereka. Dalam situasi itu, tidak dipungkiri bahwa banyak warga etnis tionghoa yang kemudian lari ke luar negeri. Bahkan, menjelang kampanye pemilu 1999, mereka banyak yang mengantisipasi dengan pergi ke luar negeri. Mereka trauma dengan peristiwa Mei 1998 di mana mereka menjadi korban.

Wajah Etnis Tionghoa Indonesia di Era Reformasi

Sikap politik para presiden RI mempengaruhi kehidupan orang Tionghoa, dengan kebijakan yang mereka keluarkan. Kehidupan orang Tionghoa sebenarnya banyak mengalami perubahan. Sebagai perbandingan di era pemerintahan presiden Suharto, ada kebijakan yang melarang segala hal yang berkaitan dengan Tionghoa, mulai dari penggunaan nama, bahasa dan koran mandarin, sekolahan dengan berbahasa mandarin , dsb[21].
 
Apalagi etnis ini masih dianggap sebagai orang asing, yang secara politik dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia. Saat presiden Suharto sering beruilang-ulang dikatakan golongan minoritas Tionghoa mesti melakukan pembauran Suharto sebenarnya menganggap masyarakat Indonesia harmonis. Jika terjadi kesenjangan kaya-miskin karena ada kapitalis Tionghoa. Kalau pembangunan kurang lancar karena kurang partisipasi warga Tionghoa yang kurang sadar sebagai warga negara. Di lain sisi konglomerat Tionghoa dipandang sebagai etalase yang menampilkan wajah ekonomi Indonesia yang maju, namun sekaligus sebagai kambing hitam politik. Ada pula pandangan ekstrem mengatakan, yang bikin kacau ekonomi juga konglomerat yang dapat fasilitas dari pejabat karena kedekatan mereka, misal mendapat kemudahan kredit perbankan[22].
 
Kenyataannya, di kalangan para muda Tionghoa sebenarnya banyak mahasiswa yang terjun di bidang politik, misalnya Ulung Rusman dengan gagah berani berdiri dibaris depan sebagai mahasiswa angkatan Reformasi dalam era pergerakan reformasi tahun 1998. Ester Indahyani Yusuf dan Surya Candra menggeluti profesi advokad gratisan/tanpa bayaran di LBH Jakarta[23]. Mahasiswa yang terlibat dalam pergerakan mahasiswa tahun 1998-1999 itu mendirikan Jaringan Tionghoa Muda (JTM) yang terdiri dari berbagai elemen seperti peneliti, pengusaha, mahasiswa, LSM[24].
 
Pada pemerintahan transisi Presiden Habibie, etnis Tionghoa mulai sedikit demi sedikit diakui keberadaannya sebagai warga bangsa yang sama dengan warga lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan mulai dihapuskannya kebijakan yang berbau stigma terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah penggunaan kata Tionghoa untuk mengganti sebutan ’cina’[25]. Meski demikian, tetap saja ada beberapa menteri pada era Habibie seperti Menteri Koperasi, Adi Sasono yang menggulirkan semangat ekonomi kerakyatan, dituduh anti-Tionghoa. Kebijakannya membuat kalangan Tionghoa was-was, karena berimplikasi munculnya sentimen anti-Tionghoa dan terjadinya dikotomi antara kaum pribumi dan non pribumi. Agar isu ini tidak membangkitkan sentimen anti-Tionghoa yang memicu tindak kekerasan terhadap etnis cina seperti di pra reformasi, maka dikeluarkanlah Inpres no 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dibutuhkan lagi.
Pada era pemerintahan Presiden Gus Dur pun kran demokrasi dan kesetaraan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang sama dengan etnis lainnya pun terbuka lebih lebar lagi bagi etnis Tionghoa, yakni misalnya: memasukkan penanggalan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Meski kadang masih dipahami fakultatif, kebudayaan Barongsai kembali marak. Bahkan naga Cap Go Meh Kalimantan Barat dapat memecahkan rekor Muri (Kompas 5 Maret 2007). Di era pemerintahan Presiden Megawati, terdapat politisi dalam kabinet Mega yang berasal dari warga Tionghoa, seperti Kwik Kian Gie. Keterlibatan generasi muda Tionghoa dalam kancah politik juga tidak disangsikan lagi misal Wahyu Effendi dan Suma Mihardja yang terlibat aktif sejak awal dalam penyusunan Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 23 tahun 2006.
Di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul dua Undang-Undang yang makna keberadaan Undang-Undang itu begitu penting bagi warga Tionghoa. Pada bulan Julii 2006, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia disahkan DPR. Pada Pasal 2 dan penjelasannya didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan ini kemudian disusul dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 106 Undang-Undang tersebut terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman kolonial Belanda. Salah satu contoh lain bagaimana era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai mengakui keberadaan etnis Tionghoa sebagai warga bangsa secara penuh adalah anjuran tegas beliau pada suatu saat perayaan hari Imlek bahwa perkawinan umat Konghucu agar dicatatkan Oleh Kantor Catatan Sipil. Ini adalah sikap positif dan kebangsaan era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono[26].
Meski begitu, tetap saja ada kebijakan-kebijakan ambigu yang diberlakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Republika 25 Februari (tahun?) presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan Imlek menandaskan dihapusnya diskriminasi antara Indonesia asli dan bukan asli. Status kewarganegaraan Tionghoa di kedua Undang-Undang ini agak berbeda. Di Undang-Undang Kewarganegaraan, warga etnis Tionghoa disebut sebagai warganegara Indonesia asli, namun untuk urusan administrasi, warga Tionghoa tidak termasuk dalam rumusan” asli”. Secara politik inilah yang disebut dengan pasal-pasal karet, misalnya suatu aturan Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional masih harus dijelaskan dengan Keppres dan PerMen. Kebijakan Kewarganegaraan etnis Tionghoa dalam UU Kewarganegaraan Juli 2006 sudah cukup bagus namun dalam UU Administrasi Kependudukan yang keluar setelahnya, terdapat pasal yang seolah-olah memberi definisi” warganegara asli” yang berbeda bagi etnis Tionghoa. Dalam bingkai demokrasi, produk UU ini sudah mengalami perubahan dibandingkan era Orde Baru, semangat anti-Tionghoa sebenarnya sudah berkurang.
Pasca Reformasi, warga Tionghoa pun mulai memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk terjun dalam kancah kehidupan sosial ekonomi politik. Salah satu contoh keterlibatan mereka dalam kehidupan politik bangsa ini tampak dalam diri para politikus seperti Kwik Kian Gie dari Partai PDI yang sempat jadi Menteri dan Alvin Lie dari partai Demokrat. Mungkin inilah saatnya bagi warga Tionghoa untuk membuktikan diri dalam memberi kontribusi positif bagi semua aspek kehidupan seperti Ignatius Haryanto, Robertus Robert yang sering menulis diberbagai media, misalnya di majalah Mingguan Hidup tanpa harus secara langsung mereka menulis tema tentang Tionghoa, ataupun Christoper Nugroho yang dipercaya menangani urusan sumber daya manusia di partai Demokrat. Sistem Multi Partai setelah reformasi juga memberi peluang warga Tionghoa untuk berkecimpung dalam partai politik misalnya: dengan munculnya partai Tionghoa. Kesadaran baru akan partisipasi sosial, ekonomi dan politik akan membuka wawasan berpikir seluruh warga Tionghoa. Untuk itu, sebuah transformasi nilai–nilai hidup yang radikal amat diperlukan agar warga Tionghoa mendapatkan kesejahteraan dan kepuasan batin yang adil/setara dengan warga yang lain

Wajah Etnis Tionghoa Indonesia Pasca Reformasi: Menyembuhkan Luka Sejarah

Salah satu strategi budaya yang dapat dilakukan untuk semakin mendukung terjadinya asimilasi positif etnis Tionghoa sebagai bagian penuh dari bangsa Indonesia adalah dengan menyembuhkan luka sejarah. Hal ini menjadi strategi lanjut atas pengakuan simbolik formal yang telah dicetuskan oleh pemerintah pasca Reformasi terhadap eksistensi etnis Tionghoa Indonesia sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Meski diakui bahwa pengakuan simbolik dengan menghapus keputusan-keputusan diskriminatif Pemerintah pra-Reformasi terhadap etnis Tionghoa merupakan sebuah kebijakan yang penting, namun kebijakan itu hanya akan berhenti sebagai sebuah strategi politik baru yang tidak akan banyak memberi makna bagi pembentukan kebangsaan Indonesia dimana etnis Tionghoa adalah salah satu bagian esensial di dalamnya. Stigma terhadap etnis Tionghoa sejak era kolonial Belanda hingga saat ini telah begitu mengakar dalam hidup masyarakat umum. Untuk itulah, luka sejarah itu harus disembuhkan dengan mulai mengakui eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, terlepas dari segala kesalahan masa lalu akibat pengkambinghitaman dari politik rezim penguasa. Sejarah bangsa Indonesia yang telah diwarnai dengan luka-luka atas kekejaman politik ini harus mulai disembuhkan dengan menegaskan serta mengakui eksistensi etnis serta pihak-pihak yang terdiskriminasi.
Salah satu luka sejarah yang telah ditorehkan oleh strategi ’pengkambinghitaman’ dari elit penguasa pra-reformasi di negeri ini adalah peristiwa G 30 S dan berbagai kerusuhan rasial yang muncul selama pergantian rezim. Tak dapat dipungkiri, peristiwa G 30 S merupakan salah satu luka batin bagi etnis Tionghoa sekaligus sebuah strategi politik untuk memelihara primordialisme kelompok yang mudah sekali memicu konflik antar ras dan golongan. Konsolidasi sebagai bangsa yang plural telah ternoda dengan adanya luka batin sejarah ini. Pada peristiwa G30 S tersebut, dimana Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai dalang peristiwa tersebut telah menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis yang pantas ’dimusuhi’ karena telah menjadi pendukung utama Partai tersebut. Meski sebenarnya dalam peristiwa tersebut Partai Komunis Indonesia lebih berperan sebagai ’kambing hitam’, hal ini turut membawa konsekuensi digabungkannya etnis Tionghoa sebagai bagian dari ’kambing hitam’ ini. Stigma dan stereotip terhadap etnis Tionghoa ini semakin kuat ketika rezim Orde Baru akhirnya mengeluarkan keputusan yang diskriminatif terhadap mereka. Secara politis, strategi pengkambinghitaman ini amat berhasil dengan adanya sentimen rasial yang menyebabkan krisis identitas etnis Tionghoa dengan politik asimilasi Orde Baru. Segala keputusan diskriminatif dari pihak penguasa ini sebagai ’hukuman’ atas etnis yang dijadikan ’kambing hitam’ sebuah pertikaian politik telah menimbulkan kekosongan berpikir dari setiap warga bangsa dengan selalu menempatkan etnis Tionghoa sebagai ’pesakitan’ di negeri ini yang tidak memiliki identitas khas Indonesia. Stigma dan stereotip ini begitu mengakar dalam benak setiap warga yang merasa dirinya ’pribumi’ hingga muncul kerusuhan-kerusuhan yang selalu mengkambinghitamkan etnis Tionghoa. Puncak kerusuhan yang terjadi karena kekosongan berpikir dari warga pribumi ini terjadi saat kerusuhan Mei 1998 meletus.
Penyembuhan luka batin sejarah bagi segenap warga bangsa atas peristiwa G 30 S dan juga kerusuhan-kerusuhan yang selalu mengkambinghitamkan etnis Tionghoa selama Orde Baru ini sebagai langkah dari rekonsiliasi sosial yang hendaknya mulai digulirkan sejak era Reformasi. Era Reformasi yang ditandai dengan bangkitnya angkatan muda rasional kritis dalam diri para mahasiswa ketika berhasil melengserkan kekuasaan Orde Baru menjadi harapan baru bagi kehidupan bangsa Indonesia yang lebih demokratis. Bagi etnis Tionghoa yang selama ini selalu dijadikan ’kambing hitam’ pun mulai mendapatkan harapan baru dengan kebijakan-kebijakan yang baru dari rezim Reformasi berkaitan dengan penegasan identitas diri mereka (etnis Tionghoa) sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pasca Reformasi, etnis Tionghoa mulai mendapatkan pengakuan simbolik dari pemerintah bahwa keberadaan mereka di negeri ini adalah sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Berbagai macam keputusan pemerintah Orde Reformasi yang menghapus keputusan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa era Orde Baru menjadi semacam usaha dalam merajut kembali konsolidasi sebagai bangsa Indonesia yang plural. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, kini etnis Tionghoa mulai menegaskan kembali identitas khas mereka sebagai etnis Tionghoa Indonesia, sebagaimana juga terjadi bagi etnis-etnis yang lain. Kebudayaan mereka pun mulai diakui sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan mulai diberlakukannya Hari Raya Imlek sebagai hari libur Nasional sebagaimana Muharam dalam Jawa, agama Konghucu serta falsafah Tionghoa mulai diakui dalam hidup masyarakat, serta terbukanya keterlibatan politik praktis bagi warga etnis Tionghoa dalam proses demokrasi pemerintahan Indonesia[27].

Konsolidasi sebagai Satu Bangsa Indonesia: Sebuah Usaha Terus Menerus

Meski pemerintah pasca Reformasi telah menampakkan usaha-usaha konkret yang mendukung integrasi etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan memberikan pengakuan simbolik terhadap eksistensi etnis Tionghoa, namun usaha ini baru merupakan sebuah permulaan. Konsolidasi masyarakat sebagai sebuah bangsa yang plural harus terus menerus diupayakan. Selain menggunakan strategi pengakuan simbolik secara politis, pendekatan kebudayaan hendaknya menjadi salah satu agenda integrasi dan konsolidasi yang mutlak diperlukan. Proses integrasi dan konsolidasi dengan menggunakan pendekatan budaya ini bertujuan agar transformasi sosial budaya sebagai sebuah bangsa yang plural akan semakin relevan dan signifikan. Hal ini dimaksudkan pula sebagai sebuah usaha untuk menyembuhkan luka-luka batin atas sejarah bangsa yang telah begitu sering dilanda pertikaian politik dan konflik etnis/golongan. Adapun pendekatan kebudayaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.       Pendidikan mulai berorientasi pada pembentukan kesadaran etis sebagai bangsa Indonesia yang multikultural. Proses ini sebagai usaha konsientisasi terhadap realitas bangsa Indonesia yang plural dan kesadaran untuk bekerja sama dengan tulus dengan ’yang lain’. Selain itu, pendidikan yang berorientasi pada kesadaran etis akan realitas bangsa yang pluriform ini akan memungkinkan setiap orang untuk kritis terhadap adanya bentuk-bentuk diskriminasi dan strategi ’kambing hitam’ yang mungkin terjadi akibat dari kepentingan elit politik/golongan tertentu.
2.      Pemerintah menjamin kebebasan ekspresi khas dari suatu realitas budaya etnis tertentu atau golongan tertentu yang disebut sebagai kaum ’minoritas’. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah usaha untuk mengikis sikap primordialisme dan sektarianisme yang mulai muncul pula di era pasca reformasi.
3.      Memberlakukan diskriminasi secara positif bagi setiap entitas budaya yang dinilai sebagai budaya minoritas. Diskriminasi secara positif ini bertujuan untuk mengangkat dan memberikan keadilan bagi kaum/kelompok tertentu yang selama ini dipandang sebagai ’minoritas’. Hal ini dilakukan untuk memberdayakan etnis minoritas, termasuk di dalamnya etnis Tionghoa agar lebih banyak terlibat dalam dinamika hidup masyarakat.
4.      Meminimalisasi peran keterlibatan elit pemerintah dan militer hanya dalam pelayanan publik masyarakat Indonesia yang plural. Usaha ini dimaksudkan agar setiap kelompok masyarakat tertentu tidak terjebak dalam primordialisme yang terjadi atas kepentingan politik elit tertentu. Hal ini merupakan sebuah usaha untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa Indonesia yang sebagian besar disebabkan oleh pertikaian kepentingan elit politik tertentu dengan menggunakan militer sebagai alat kekuasaan untuk merepresi golongan tertentu.
5.      Revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Hal ini menjadi agenda strategi integrasi budaya yang amat signifikan dan relevan bagi realitas masyarakat Indonesia pasca reformasi. Hal ini diperlukan demi menunjang proses demokratisasi yang lebih etis serta memberi jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang hidup di negara ini.
Menghindari euforia atas kebebasan terhadap etnis Tionghoa yang telah mulai digulirkan. Euforia ini dapat menyebabkan munculnya rasa superior yang berlebihan dan primordialisme dalam bentuk lain. Mulai terbukanya kran demokrasi dan kesejajaran bagi etnis Tionghoa era pasca reformasi ini harus ditanggapi secara positif oleh orang Tionghoa sendiri dengan semakin berjuang bagi kemajuan bangsa secara umum, tanpa harus menyembunyikan ataupun mengagung-agungkan identitas ke-Tionghoa-an mereka.

Demikianlah, integrasi bangsa Indonesia dengan menggunakan pendekatan budaya ini diusahakan sebagai sebuah wujud rekonsiliasi sosial yang relevan serta signifikan dengan realitas bangsa ini beserta sejarah yang telah membentuknya. Secara khusus lagi, bagi etnis Tionghoa, perlu
diadakan penyadaran yang berkelanjutan tentang posisi serta eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian yang sama dan sejajar dengan etnis-etnis yang lainnya dalam satu bangsa Indonesia. Dalam hal ini, luka-luka sejarah hendaknya tidak menjadikan primordialisme kelompok semakin kental tetapi semakin membuka ke arah rekonsiliasi sosial yang memerdekakan. Realitas pluriformitas lantas menjadi kekayaan yang melengkapi Indonesia sebagai sebuah bangsa; sementara luka sejarah atas diskriminasi dan konflik sosial yang terjadi dipandang sebagai proses pembelajaran ke arah tercapainya konsolidasi kebangsaan yang berkarakter multikultur nan adil, meski perlu disadari pula bahwa usaha itu tidak dapat sekaligus memberikan hasil yang tampak. Usaha untuk mendukung konsolidasi sebagai satu bangsa Indonesia ini harus terus menerus dilakukan, terlebih bagi kaum minoritas seperti etnis Tionghoa.


DAFTAR PUSTAKA

_______, Etnis Tionghoa di Indonesia, dalam Wikipedia Indonesia, www.wikipedia.com.
Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta 2000.
Amri Marzali, “Kesenjangan Sosial-Ekonomi Antar Golongan Etnik, Kasus Cina-Pribumi di Indonesia”, dalam Prisma 12 (1994), hal. 57-71.
Budi Susetyo, DP., Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia,
 www.unika.ac.id.
Centre for the Study of the Chinese Southern Diaspora (CSCSD), Workshop Chinese Indonesians: The Way Ahead, 15-16 February 1999 Coombs Lecture Theatre, RSPAs, ANU.
Dahana, A., Tionghoa atau Cina, di Era Reformasi,
 www.ceritanet.com.
Harlem Siahaan, “Konflik dan Perlawanan Kongsi Cina di Kalimantan Barat, 1770-1854”, dalam Prisma 12 (1994), hal. 41-56.
Ju Lan, Thung, Tinjauan Sosiologis Etnis Tionghoa dalam Kancah Politik Indonesia, www.id.inti.or.id.
Leo Suryadinata, “Kwee Kek Beng: Dilema Peranakan Berhaluan Nasionalisme Tionghoa”, dalam Prisma 10 (1984), hal. 83-93.
Leo Suryadinata, “Liem Koen Hian Peranakan yang Mencari Identitas”, dalam Prisma 3 (1983), hal. 71-85.
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, LP3ES, Jakarta 1999.
Suryomenggolo, Jafar, Hukum Sebagai Alat Kekuasaan: Politik Asimilasi Orde Baru, Galang Press, Yogyakarta, 2003.
Yusmar, Yusuf, “Baba Tauke dan Awang Melayu”, dalam Prisma 12 (1994), hal. 23-40.






[1]
 Ivan Wibowo (ed), Cokin? So What Gitu Loh!, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hal.iv
[2]
 H. Junus Jahya, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, Jakarta: Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran, 1999.
[3]
 Ibid., hal. 24.
[4]
 Ibid.
[5]
 Ibid., hal. 47.
[6]
 Ibid., hal. 77.
[7]
 Ibid., hal. 118-125.
[8]
 Ibid., hal. 148-149.
[9]
 Ibid., hal. 173.
[10]
 Ibid.
[11]
 Ibid., hal. 179.
[12]
 Ibid., hal. 185.
[13]
 Ibid., hal. 194-195.
[14]
 Ibid., hal. 198-204.
[15]
 Leo Suryadinata, “Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan Antaretnis”, www….., hal. 2.
[16]
 Ibid., hal. 2.
[17]
 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000, hal. 12-22.
[18]
 Ibid., hal. 22-28.
[19]
 Karlina Leksono, “The May 1998 Tragedy”, dalam Centre for the Study of the Chinese Southern Diaspora (CSCSD), Workshop Chinese Indonesians: The Way Ahead, 15-16 February 1999 Coombs Lecture Theatre, RSPAs, ANU.
[20]
 Ibid., hal. 28-30.
[21]
 Ivan Wibowo (ed), Cokin? So What Gitu Loh!, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hal.v
[22]
 Ibid; hal. 436
[23]
 Ibid; hal.xii
[24]
 Ibid; hal.xv
[25]
 Ibid; hal. v
[26]
 Ibid; hal. 366
[27]
 Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP (http://www.ranesi.nl/ tema/masyarakat/etnis_tionghoa_reformasi080731)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar