Jumat, 13 Januari 2012

Mencintai Hingga Sakit

Aku berjanji, aku akan mulai menulis lagi. Tulisanku ini untuk meredam segala luka hati yang entah untuk kesekian kalinya mesti kualami. Aku bersyukur atas itu semua karena dulu aku pernah meminta kepada Tuhan bahwa biarkanlah penderitaanku terus ditambah. Jika Tuhan mengabulkan, mengapa sekarang aku justru mengingkarinya? Aku mau menerimanya dan membiarkan rasa sakit ini menyatu di dalam seluruh realitas diriku. Aku punya harapan, untuk boleh merasakan cinta sejati, seperti Tuhan yang rela disakiti karena kasihNya. Dan meski aku merasa sakit, aku tidak akan pernah melihatnya sebagai akibat dari seseorang ataupun hal yang aku cintai itu, aku akan melihatnya sebagai konsekuensi dari mencintai.

Mencintai hingga sakit. Aku sering mendengar kata-kata ini, namun aku tak sungguh-sungguh mengerti maknanya, hingga aku sendiri mengalaminya. Mencintai hingga sakit itu seperti halnya kasih ibu. Seorang ibu rela menderita demi kehidupan dan pertumbuhan anak-anaknya. Itu yang bisa kulihat, selain itu aku belum tahu.

Saat ini aku benar benar merasa sakit, atas segala kenyataan yang kuhadapi. Ketika perjuangan dan keinginan tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan. Perasaan kesia-siaan itu muncul dan ini amat menyakitkan. Aku tak akan pernah merasa bahwa cinta yang hadir dalam perjuangan ini berakhir sia-sia. Tidak sama sekali. Sebab justru ketika aku belajar untuk tidak lagi memikirkan keinginan diri sendiri, dan membiarkan kesia-siaan menyambutku, aku tengah menemukan dan berjumpa dengan makna cinta yang sesungguhnya. Sebagaimana salib pun akhirnya  dipilih dan dijadikan tahta Sang Kasih, Yesus Kristus. Segala macam perjuangan dan cita-cita dunia seolah berakhir sia-sia di atas salib, namun salib pula yang menjadi wujud suatu keagungan cinta. Di saat pengharapan itu seolah menguap tak berbekas, aku justru dihadapkan pada suatu keyakinan bahwa itulah cinta yang abadi, ketika kita bahkan sampai berani mengorbankan pengharapan kita demi cinta. Dan itulah arti ‘kehilangan nyawa’ untuk memperoleh kembali ‘nyawanya’.

Secara manusiawi, hal ini amat sulit untuk dimengerti dan diterima. Sebab manusia itu rapuh dan berdosa. Ia selalu lekat dengan keinginan-keinginan, dan itu pula yang mencambuknya untuk kesekian kali. Setiap keinginan itu akan meninggalkan bekas luka yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Namun aku percaya, pengorbanan ini bukanlah suatu kesia-siaan. Itulah arti mencintai hingga sakit. Dan jika kita hanya berfokus pada kesakitan diri sendiri, itu juga belum merupakan kasih yang sempurna karena kita masih mementingkan diri sendiri. Mencintai hingga sakit berarti harus berani pula untuk merasakan serta memahami penderitaan orang yang dicintainya itu, dan berjuang untuk membasuh luka mereka tanpa memperdulikan penderitaan diri sendiri. Dan dengan demikian, mencintai hingga sakit tidaklah berkesudahan. Ia tidak akan pernah menyerah untuk selalu mencinta karena satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah mencinta. Mencintai hingga sakit selalu jujur dengan kenyataan dan berusaha menerima kenyataan itu dengan hati terbuka. Dan mencintai hingga sakit itu, tidak pernah kehabisan pengharapan. Ia akan menerima mati raga itu seperti korban bakaran yang dipersembahkan untuk Tuhan bagi keselamatan jiwa-jiwa. Ia seperti jembatan yang merelakan dirinya diinjak-injak orang agar orang sampai ke tujuan kebahagiaannya. Dan di dalam penderitaannya, ia akan selalu bahagia. Sebab dengan begitu, ia bisa selalu setia dalam alur panggilannya yang sejati. Marilah kita berani mencintai hingga sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar