Rabu, 27 Februari 2019

Agama Bukanlah Sebuah Alat Penghakiman


Setiap orang yang pernah hidup di dunia ini pasti pernah berbuat salah. Semua orang mengakuinya. Dan kesalahan itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Oleh karena kesadaran akan kesalahan itu pula, orang kemudian mencoba untuk tidak jatuh dalam lubang yang sama. Orang terdorong untuk bergerak ke arah kesempurnaan. Atau dalam bahasa spiritual, manusia selalu bergerak ke arah pencerahan. Berbagai macam cara dilakukan untuk memperoleh pencerahan itu, atau paling tidak hidupnya tidak lagi mudah jatuh ke dalam kesalahan. Apabila ada seseorang yang telah mencapainya, kemudian banyak orang berbondong-bondong mengikuti agar dirinya semakin mendekati kesempurnaan itu.


Ketika pencerahan demi pencerahan itu terungkap, lahirlah agama yang kemudian diteguhkan dengan berbagai ajaran atau petunjuk bagi langkah laku manusia agar sampai pada pencerahan. Orang-orang yang terlebih dahulu memperoleh pencerahan atau mengalami pencerahan itu pun diangkat sebagai nabi atau bahkan Tuhan. Memang demikianlah cara berpikir manusia. Sesuatu yang berada jauh lebih tinggi dan sempurna dari dirinya akan diperlakukan sebagai nabi atau  Tuhan. Ketika pemahaman itu muncul, lantas tersusun pula aturan-aturan yang mesti dijalani agar manusia mampu mencapai kesempurnaan itu. Ketika aturan-aturan berlaku, maka ada pula dogma-dogma yang baku dan tegas tentang arah ke arah kesempurnaan. Dogma atau aturan itu berlaku secara mutlak dan pasti, sehingga barangsiapa yang berlaku berseberangan dengan dogma atau aturan itu, dapat dipastikan pula dia tengah berjalan menjauh dari kesempurnaan. Bahasa agama mengatakan itu adalah dosa. Memang demikianlah manusia, lebih mudah berpikir soal hitam-putih, benar-salah, neraka-surga, sempurna dan tidak sempurna. Dengan sendirinya, agama atau aturan-aturan itu berdiri sebagai hakim atas tingkah laku manusia. Bukankah begitu?

Jika demikian halnya, tidakkah agama justru menjauhkan manusia dari pencerahan. Sebab pencerahan itu bukan soal penghakiman, tetapi soal pemurnian. Pemurnian tetap saja menyertakan bagian-bagian dari kesalahan atau ketidaksempurnaan. Berhadapan dengan kesalahan, agama tidak berdiri sebagai hakim, tetapi sebagai penuntun menuju kepada kemurnian. Pengampunan selalu ada di dalam ajaran agama, agama apapun itu. Dan apabila dari diri manusianya sudah tidak bisa dimurnikan, bukanlah agama yang bertindak sebagai penghukum, tetapi lebih pada diri manusia itu sendiri yang menempatkan diri di jalur yang tidak searah dengan kesempurnaan. Dengan demikian, sebenarnya agama tidak bisa digunakan untuk menghakimi manusia, baik yang berada di luar agama itu atau pun mereka yang berada  di dalam agama yang sama. Sebab manusia itu lebih luas, lebih unik, lebih misterius dari agama. Bahkan para nabi dan rasul pun mendirikan agama pertama-tama bukan demi agama, tetapi demi manusia. Jadi, bukankah agama itu ada bagi manusia dan bukan manusia bagi agama. Semoga kita mampu untuk memahami lebih jauh, dan tidak hanya menempatkan agama sebagai hakim yang siap menjatuhkan hukuman kepada mereka yang bergerak menjauh dari jalur ke arah kesempurnaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar