Kamis, 28 Februari 2019

INDONESIA ITU TOLERAN TAPI DISKRIMINATIF


Mungkin judul tulisan ini terlalu provokatif dan menghakimi. Tetapi pemikiran tentang situasi diskriminatif dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia ini terus mengusikku dan tak tahu harus diungkapkan seperti apa. Memang untuk mengatakan bahwa bangsa ini masih tinggi situasi diskriminasinya tentu memerlukan berbagai data. Sebenarnya tidak tega juga untuk mengatakan hal itu atau menyusun satu persatu data yang mengungkapkan adanya diskriminasi di negeri ini. Nyesek rasanya, karena menyaksikan itu dari waktu ke waktu tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti. Apabila hanya melontarkan penilaian, tentu juga akan sangat menyesakkan jika tanpa disertai dengan data konkret tentang yang terjadi.


Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi. Ambil contoh saja soal perbincangan tentang mayoritas-minoritas. Ada sebagian yang tidak setuju jika frame mayoritas dan minoritas itu digunakan untuk melihat situasi bangsa Indonesia. Dengan alasan bahwa kita adalah sesaudara, sebangsa, maka tidak ada lagi itu kelompok mayoritas dan minoritas. Namun pada prakteknya, bahkan di tingkat yang paling kecil, frame ini seringkali dipakai untuk menentukan kebijakan-kebijakan terkait dengan hidup bersama. Hasil akhirnya akan selalu sama, kelompok minoritas tentu paling lirih terdengar suaranya dan akan menerima begitu saja dengan dalih toleransi dan demokrasi. Mungkin para intelektual dan para tokoh yang telah sadar tentang hidup bersama yang adil tanpa frame minoritas mayoritas bisa terus mengumandangkan tentang keadilan, tentang toleransi, tapi realitas yang ada, itu semua hanya tataran idea, wacana, konsep. Seringkali pula masyarakat tidak suka konsep yang diluar kenyataan dan diluar adat kebiasaan. Maka tetap saja, frame mayoritas minoritas ini seakan mengendap di alam bawah sadar masyarakat kita. Dan tentu saja, kelompok minoritas semakin sembunyi karena merasa berhadapan dengan tembok tinggi yang tak mungkin bisa ditembus atau dilewati.

Itu baru soal mayoritas minoritas, masih ada soal lain lagi, seperti soal kebijakan pemerintah, kepentingan bisnis, keadilan gender, perlindungan anak, hukum yang bisa dibeli, politik dinasti, dsb. Indonesia ini memang negeri toleran. Dengan Pancasila sebagai dasar negara dan juga Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan utamanya, selama ini, keanekaragaman suku, bahasa, agama, ras dapat terjalin dengan baik. Tapi apa yang baik itu belum tentu adil. Keadilan yang selama ini terjadi lebih karena ada pihak yang bersedia menjadi pendengar dan obyek penerima. Atau paling tidak, membuat arena sendiri yang tidak langsung bersinggungan dengan kelompok yang memiliki wewenang, kekuasaan, ataupun kelompok mayoritas. Sebab apabila menerapkan keadilan yang benar-benar fair, selalu saja ada gesekan yang lalu menimbulkan gangguan atas stabilitas serta keamanan bangsa. Ibaratnya, kelompok yang lemah diberi obat penenang agar tidak membikin kegaduhan, demi kepentingan keamanan dan keharmonisan, meski sebenarnya dari frame keadilan, belum benar-benar fair.

Masih ada satu lagi persoalan tentang diskriminasi yang membuatku terkadang nyesek karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini dialami oleh mereka kelompok minoritas dalam negeri ini, yakni soal pengakuan pernikahan. Bagi orang-orang dari kelompok minoritas, perkawinan harus dicatatkan dicatatan sipil, setelah menikah secara agama. Tetapi bagi kelompok mayoritas, hal ini tidak perlu dilakukan, karena secara otomatis, hukum agama mayoritas menyatu dengan hukum pencatatan sipil negara. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Kenapa negara yang dasarnya Pancasila tetap menyisakan pembedaan ini dari tahun ke tahun? Kenapa agama dan juga situasi mayoritas serta minoritas membuat hak sipil serta dinamika hidup sebagai warganegara dibedakan sedemikian rupa? Lalu jika ada yang mempersoalkannya, muncul ungkapan bahwa hal itu sudah sangat baik untuk kelompok minoritas, tetap masih ada perhatian pemerintah untuk mengakuinya meski dengan “jalan yang tidak biasa”. Di Indonesia, yang sering dikatakan sebagai negara dengan tingkat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sedemikian tinggi, hal-hal itu masih saja terjadi. Tapi itulah kenyataannya. Diskriminasi itu masih ditemukan di negeri yang amat indah ini.

Semoga, cita-cita luhur para pendiri bangsa ini dapat dilanjutkan oleh anak cucunya, dan tidak justru terbelenggu oleh piciknya kenyamanan oleh dogma-dogma kelompok mayoritas, mereka yang punya modal kekuasaan berlimpah, dan mitos-mitos usang yang membungkus ketidakadilan. Indonesia adalah sebuah keluarga besar, apakah kita tidak malu jika dengan saudara sendiri kita justru berlaku tidak adil dan menganggap saudara sendiri sebagai “ALIEN”??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar