Kamis, 05 September 2019

ORANG JAWA MESTI BELAJAR DARI ORANG DAYAK

              Wacana dari Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 ini tentang perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia ke Pulau Kalimantan sempat menyita perhatian banyak pihak. Tentu Presiden dan stafnya tidak asal saja melontarkan wacana tersebut, dan tentu bukan hanya akan berhenti sebagai wacana tetapi merupakan program pemerintah untuk diwujudnyatakan pada tahun-tahun mendatang. Aku pribadi tidak begitu heran dengan wacana tersebut dan mendukung sepenuh hati jika ibu kota negara benar-benar dipindahkan dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Untuk persisnya di provinsi dan kota mana, hal itu belum benar-benar diketahui secara pasti oleh segenap rakyat Indonesia. Namun, di luar adanya pro dan kontra atas wacana tersebut, tentunya segenap bangsa ini akan menyambut baik kebijakan pemerintah tersebut.


                Hanya saja, lantas terlontar pertanyaan dari benakku terkait dengan rencana perpindahan ibu kota negara itu. Kenapa Pulau Kalimantan yang dipilih dan bukan pulau lainnya? Tentu pemerintah telah melakukan banyak kajian tentang dipilihnya Pulau Kalimantan sebagai tempat ibu kota negara yang baru. Aku berusaha berhipotesis tentang jawaban itu. Menurutku, benar pilihan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan. Sebab Pulau Kalimantan dengan segenap penghuninya dapat dianggap sebagai penjaga keutuhan NKRI. Kenapa Jawa tidak? Meski tidak secara langsung dapat dikatakan juga bahwa Jawa tidak mampu menjaga keutuhan NKRI, namun semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, Jawa yang menjadi tempat ibu kota NKRI belum begitu berhasil menyatukan Indonesia seturut dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Yang terjadi di Jakarta justru adalah pertarungan kekuasaan di antara sesama saudara sebangsa. Kita ingat, peristiwa kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru, begitu banyak intrik politik dan perebutan kekuasaan di antara sesama anak negeri. Setelah rezim Orde Baru berkuasa pun, cita-cita Pancasila dan UUD 1945 belum begitu diperjuangkan dengan baik, karena yang terjadi justru munculnya sosok penguasa tunggal yang akhirnya ditumbangkan oleh Rezim Reformasi. Dan setelah bergulir Reformasi, lagi-lagi, pertikaian tentang kekuasaan itu terus berlanjut. Beberapa anak terbaik negeri ini pun menjadi korban dari drama perebutan kue kekuasaan itu. Sungguh miris kan?
                Memang Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia, namun anak bangsa ini semuanya mengamini bahwa kota yang paling mengerikan di negara ini adalah Jakarta. Di Jakartalah bergelut segala macam persaingan anak bangsa ini untuk sekedar menyambung hidup. Di Jakarta orang bisa meraih kesejahteraan, namun di Jakarta pula orang bisa menjadi pemangsa bagi sesama warga bangsa. Tidak mudah untuk hidup di Jakarta. Ada banyak kepentingan yang saling bertubrukan di Jakarta. Biang segala kepentingan itu adalah kekuasaan dan pundi-pundi uang semata. Jakarta telah begitu renta untuk menanggung segala tingkah polah anaknya yang tak tahu hormat pada ibu pertiwi. Dan Jakarta itu letaknya di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Pulau Jawa adalah orang Jawa, meski terbagi dalam berbagai sub suku seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda, Baduy dan Betawi. Di tangan mereka, ibu kota negara tidak lagi menjadi ibu kandung, tapi lebih mirip ibu tiri yang kejam.
           
     Lalu kenapa Kalimantan? Nah ini menarik. Menurutku, orang Kalimantan lebih bisa menjaga keutuhan NKRI. Dengan memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan, Indonesia akan dijaga dari segala tingkah polah anak-anaknya yang licik dan penuh kepentingan. Selama ini, kita semua tahu bahwa segala kekayaan alam Indonesia yang tersebar di beribu-ribu pulau semuanya mengalir ke Pulau Jawa. Jika cita-cita Pancasila di Sila ke-5 tentang  Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia telah berhasil diwujudkan, tentunya tidak hanya Jawa yang bergelimang pundi-pundi kekayaan dan pembangunan. Namun kenyataannya tetaplah pulau-pulau di luar Jawa dan orang-orangnya tidak mengalami suplai sumber daya seperti di Jawa.
                Lalu kenapa ibu kota negara ini dipindahkan di Pulau yang sebagian besarnya dihuni oleh orang Dayak? Menurutku, orang Dayak adalah penjaga NKRI yang benar-benar bisa diandalkan. Tidak seperti orang Jawa yang penuh intrik dan kepentingan, orang Dayak selalu bangga dengan tradisi, budaya dan identitasnya sebagai bangsa Dayak yang adalah bagian dari orang Indonesia. Ketika sumber daya alam mereka dieksploitasi untuk kepentingan ibu kota di Jawa, mereka dengan lapang dada menerima dan mendukung demi kemajuan Indonesia. Mereka tidak ingin terlibat langsung dalam pertarungan kekuasaan yang disadari akan merugikan bangsa. Sementara itu, orang Jawa sibuk dengan berbagai perbenturan kepentingan, mulai dari kepentingan kekuasaan, bisnis, dan juga agama. Dimanakah terjadinya serentetan serangan teroris karena latar belakang kepentingan golongan tertentu, dimanakah terjadinya pertentangan kekuasaan yang seringkali ricuh dan menimbukan korban jiwa? Dimanakah muncul ormas-ormas garis keras yang melawan Pancasila? Dimanakah timbul gagasan tentang  ideologi negara yang berambisi untuk menggantikan Pancasila? Itu semua terjadi di Jawa, dan pelakunya sebagian besar orang Jawa.
                Dewasa ini, orang-orang Jawa terlalu terlena dengan kepentingan dirinya sendiri sehingga melupakan identitas asali sebagai orang Jawa. Orang Jawa lebih suka dengan tradisi dan budaya orang luar sehingga lupa terhadap nilai luhur masyarakatnya. Meski di Jawa terdapat banyak tradisi dan warisan budaya yang luhur, namun mereka lebih memilih meninggalkan itu dan menggantikannya dengan tradisi budaya lainnya yang dianggap bisa membuka pintu surga yang entah dimana. Aksara Jawa pun ditinggalkan dan diganti dengan huruf-huruf lain yang diyakini sebagai penanda kebenaran. Dan anehnya, orang Jawa dengan mudahnya menerima itu sebagai kebenaran absolut. Orang Jawa jatuh pada sebuah situasi “kedangkalan dan kegamangan identitas”. Mereka tidak lagi bangga terhadap nilai nilai tradisi, aksara Jawa, Seni budaya Jawa, dan falsafah Jawa. Bahkan nama-nama Jawa pun dianggapnya sebagai hal yang kuno dan kampungan, lalu mengganti nama dengan nama yang entah diambil dari tradisi mana. Tentu boleh belajar dari tradisi dan budaya lain, ataupun ajaran dari budaya lain, namun meninggalkan tradisi sendiri dan menggantikannya dengan hal itu bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana. Para bijaksana orang Jawa dahulu pun tentu sudah meramalkan, bahwa ketika orang Jawa kehilangan Jawa-nya, saat itu juga orang Jawa tidak mampu lagi menjaga NKRI ini. Maka sudah selayak dan sepantasnya tugas itu diberikan kepada saudara mudanya, dan aku setuju jika tugas itu diberikan tanggungjawab lebih kepada saudara kita orang Dayak.

        Tentu aku tidak mau membuat perbandingan budaya antara orang Jawa dan orang Dayak. Aku tidak pernah bisa menilai tentang masing-masing kebudayaan sebab setiap kebudayaan dan karakter itu unik, tidak pernah bisa diperbandingkan. Namun jika melihat situasi seperti yang telah aku gambarkan di atas tadi, tentu orang Jawa hendaknya bisa belajar dari orang Dayak. Jika menurutku, orang Jawa tengah berada dalam situasi “kedangkalan dan kegamangan identitas” sebagai orang Jawa, orang Dayak justru tengah berbangga dengan identitasnya sebagai Dayak. Semboyan “hidup beradat dan mati pun beradat” tetap dipegang oleh orang Dayak sampai kapanpun dan dimanapun. Apabila terdapat kelunturan tentang falsafah itu, aku bisa mengatakan bahwa pengaruh orang luar Dayak mulai meracuni mereka. Orang Dayak selama ini tetap bangga dengan identitas mereka. Mereka tidak malu mengakui diri sebagai orang Dayak dengan segala situasinya. Kebudayaan lain memang menggempur mereka dari segala sisi, terutama budaya penguasa yang adalah orang Jawa, namun mereka bisa berbaur tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang Dayak. Mereka bisa menerima budaya dari luar tanpa harus menggantikan budaya mereka dengan budaya baru itu. Bahkan soal ajaran-ajaran tentang surga pun, mereka bisa menyesuaikan dengan kebudayaan mereka. Menerima ajaran itu tanpa harus meninggalkan identitas asalinya. Mereka menghormati kebudayaan mereka dengan menempatkan kebudayaan dan identitas di atas segala kepentingan pribadi.
             
   Orang Dayak tidak pernah mengalami masa feodalisme seperti orang Jawa, bahkan dalam hal bahasa pun, mereka tetap hanya memiliki satu bahasa, meski tersebar di antara ratusan sub suku yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula. Namun jika mangkuk merah telah terbang, bahasa mereka menjadi sama, yakni bahasa Dayak. Lain halnya dengan orang Jawa, bahasanya satu tersebar dalam bentangan Jawa bagian barat hingga ujung timur, namun terbagi dalam kepentingan dengan adanya bahasa yang digunakan untuk sehari-hari, dan juga bahasa yang digunakan untuk penguasa atau orang yang lebih tua. Bahasa yang melestarikan feodalisme ini mudah sekali disusupi dengan kepentingan, dan mudah sekali dikacaukan dengan berbagai maksud yang tidak lagi menempatkan identitas asali. Meski orang Dayak tidak memiliki aksara sendiri, namun mereka dengan bangga menggunakan aksara Indonesia. Pakaian orang Dayak pun adalah pakaian orang Indonesia, mereka bangga dengan pakaian mereka, tidak seperti orang Jawa yang justru bangga dengan pakaian dari luar Indonesia.
                Mungkin tulisanku ini berbau SARA, namun setidaknya aku sebagai orang Jawa sangat merindukan kembalinya orang Jawa sebagai sejatinya orang Jawa. Untuk itu aku mengungkapkan rasa hormatku kepada saudaraku Orang Dayak dan juga orang-orang di luar Jawa, termasuk Papua. Semestinya, orang Jawa sekarang ini belajar dari mereka dalam menjaga NKRI. Sebagai orang Jawa, aku memohon maaf kepada saudara-saudariku di luar Jawa, yang karena kerakusan orang Jawa, pembangunan dan juga pemerataan Indonesia belum terlaksana dengan baik. Itu semua terjadi karena orang Jawa tidak lagi bangga sebagai orang Jawa, tidak seperti saudara-saudariku di luar Jawa. Semoga dengan perpindahan ibu kota NKRI di luar Jawa, orang Jawa mulai menyadari bahwa sudah saatnya tugas menjaga NKRI ini dilanjutkan secara estafet kepada saudara-saudari di luar Jawa. Sebagai kakak tertua, sudah sepantas dan selayaknya orang Jawa kembali kepada ke-Jawa-annya. Melepaskan segala kepentingan, bahkan kepentingan yang mengatasnamakan surga, demi tegaknya NKRI tercinta yang begitu kaya dengan berbagai macam budaya, identitas suku, dan sumber daya alamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar