Senin, 05 September 2011

Eklesiologi Persekutuan sebagai Dasar Gerakan Ekumenisme

Pengantar
Pada tanggal 18-20 Juli 2006, di Uiwang, 25 kilometer selatan kota Seoul, Korea Selatan diadakan seminar tentang persatuan umat Kristen. Seminar ini diselenggarakan oleh Dewan Kepausan Untuk Peningkatan Persatuan Umat Kristen (Vatikan) dan Konferensi-konferensi Wali Gereja Asia (FABC). Adapun tema seminar tersebut adalah: The Search for Christian Unity: Where We Stand Today. Para peserta seminar itu berasal dari delapan Konferensi Waligereja nasional di Asia: Bangladesh, Filipina, Hong Kong, India, Indonesia, Korea, Macau, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Meski seminar ini diselenggarakan dan dihadiri hanya oleh Gereja Katolik, namun tema serta semangat yang diangkat dalam seminar tersebut adalah semangat ekumenisme yang telah bergulir sejak Konsili Vatikan II. Secara khusus, seminar tersebut merupakan penggalian lebih lanjut mengenai spiritualitas ekumenis dari pihak Gereja Katolik Roma dalam mengusahakan persatuan umat Kristen.[1]
Pada kesempatan yang istimewa tersebut, Kardinal Walter Kasper, pemimpin Dewan Kepausan untuk Peningkatan Persatuan Umat Kristen menekankan tentang posisi unik Gereja Katolik dalam Ekumenisme. Kardinal mengatakan bahwa Gereja yang benar adalah Gereja Kristus, yang secara konkret ditemukan di dalam Gereja Katolik.  Pernyataan Kardinal Kasper ini berdasar pada Perjanjian Baru dan Kredo yang meyakini bahwa Gereja itu satu, kudus, katolik dan apostolik. Meski pernyataan ini tampak ekslusif dan terkesan berpusat pada Gereja Katolik Roma, namun ia menegaskan kembali bahwa persekutuan yang penuh dari tujuan segala kegiatan ekumenis hendaknya tidak dipahami sebagai kembalinya Gereja-Gereja dan umat Kristen yang terpisah ke pangkuan Gereja Katolik, namun adalah suatu peziarahan bersama menuju ke-katolik-an sepenuhnya yang diinginkan Yesus Kristus bagi Gereja-Nya. Kardinal Kasper menambahkan bahwa semakin dekatnya pada Kristus, Gereja Kristen semakin erat, yang pada akhirnya menjadi benar-benar satu dalam Kristus. Untuk menggalang persatuan dalam Kristus itu, diperlukan sebuah spiritualitas persekutuan (communio). Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II memperdalam konsep ekumenisme dengan menggunakan istilah persekutuan dan mengembangkan eklesiologi persekutuan (communio).

Sungguh menarik untuk memperdalam lebih lanjut pernyataan Kardinal Kasper ini berkaitan dengan eklesiologi persekutuan sebagai dasar ekumenisme. Pernyataan dari Kardinal ini setidaknya menyisakan suatu tugas lanjut untuk membangun gerakan ekumenis dengan pijakan pokok dari refleksi biblis tentang Gereja. Dengan pijakan biblis yang mendalam, niscaya persatuan umat Kristen di dalam Gerakan Ekumenisme akan semakin menghasilkan banyak buah bagi Kerajaan Allah yang telah dinyatakan oleh Kristus sendiri dalam hidup, sengsara, wafat serta kebangkitan-Nya sebagai pokok iman Kristen. Pokok iman inilah yang telah mempersatukan Gereja sebagai persekutuan yang berciri ekumenik.

Unitatis Redintegratio: Visi Baru Gereja Katolik Roma tentang Ekumenisme
            Dalam Gereja Katolik Roma, perubahan paradigma dalam memahami Gerakan ekumenisme baru muncul sejak konsili Vatikan II. Sebelum Konsili vatikan II, Gereja Katolik Roma memahami bahwa persatuan umat Kristen hanya dapat dicapai apabila komunitas-komunitas Kristen yang terpisah sejak era perpecahan dengan Gereja Katolik Ortodok Timur, hingga era reformasi Gereja pada abad ke-16, bersatu kembali ke Gereja Katolik Roma. Sementara itu, di kalangan komunitas-komunitas Kristen di luar Gereja Katolik Roma memulai gerakan ekumenisme ini sebagai suatu kesadaran untuk bersatu karena keterpisahan dengan Gereja Katolik dan adanya persaingan dalam mewartakan Kabar Keselamatan Yesus Kristus. Kesadaran ini muncul pada awal abad ke-20. 50 tahun sebelum Konsili Vatikan II, organisasi-organisasi misionaris Kristen di luar Gereja Katolik berkumpul di Edinburgh pada bulan Juni 1910 untuk mempromosikan persatuan antara gereja-gereja. Dari pertemuan ini, terbentuk dua organisasi internasional, Faith and Order, dan Life and Work. Gerakan ini akhirnya melahirkan World Council of Churches pada tahun 1949, meski Gereja Katolik Roma masih juga mengambil jarak dari perkembangan ini.
            Perkembangan pemahaman tentang ekumenisme dalam Gereja Katolik mulai muncul sekitar pasca  Perang Dunia II dimana banyak uskup dan teolog yang tertarik untuk mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas Kristen dan juga mulai mempertanyakan pendekatan tradisional Gereja Katolik yang tetap menganggap bahwa persatuan itu harus dicapai dengan kembalinya komunitas-komunitas Kristen itu ke dalam Gereja Katolik. Pada tahun 1952 Konferensi Katolik tentang Ekumenisme dibentuk oleh 24 teolog dibawah kepemimpinan Uskup Charriere dari Lausanne, Jenewa, dan Fribourg. Profesor Karl Rahner dan teolog Yves Congar turut serta dalam Konferensi ini.[2] Konferensi ini berperan besar dalam memunculkan pemahaman baru tentang ekumenisme di kalangan Gereka Katolik hingga berpuncak dalam Konsili Vatikan II dengan Dekret Unitatis Redintegratio-nya.
            Dekrit tentang ekumenisme, Unitatis Redintegratio ini membuka harapan baru tentang perkembangan Gerakan Ekumenisme. Bahkan Pemimpin Metropolitan Ortodoks Ioannis dari Pergamon menyebutnya sebagai dokumen terpenting pada abad ke-20, tidak hanya untuk Gereja Katolik Roma namun bagi seluruh Kristianitas. Profesor Methodist Geoffrey Wainwright pun menyatakan bahwa Unitatis Redintegratio ini adalah salah satu dokumen terpenting ekumenisme selain Baptist, Eucharist and Ministry (BEM) yang dikeluarkan oleh Faith and Order Commision (1982), Ut Unum Sint (Paus Yohanes Paulus II, 1995), dan Joint Declaration yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik Roma dan Lutheran World Federation pada tahun 1999.[3]
            Inti dari Unitatis Redintegratio sendiri adalah pengakuan tentang realitas keanekaragaman di dalam kesatuan Gereja Kristus. Dasar teologis dan doktrinal pengakuan ini bukan terletak pada pemahaman ekumenisme pasca Konsili Trente yang menekankan tentang otoritas uskup namun terletak pada cara pandang terhadap Gereja (eklesiologi). Uskup Metropolit John Zizioulas menyatakan bahwa kunci pendekatan Konsili Vatikan II terhadap ekumenisme terletak pada pembaharuan visi/pemahaman tentang Gereja yang terungkap dalam Lumen Gentium:
Dekrit tentang ekumenisme menunjuk pada konsep tentang Gereja yang baru, yang berbeda dari eklesiologi Gereja Katolik Roma tradisional yang ekslusif dengan batasan hukum kanonik Gereja Katolik Roma. Di dalam Lumen Gentium, Gereja dipahami sebagai misteri. Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa Gereja secara hakiki adalah realitas ilahi yang hadir di dalam sejarah. Oleh karena itu, Gereja lebih besar daripada wujud historis dan institusionalnya[4].
            Selain dipahami sebagai misteri,  dalam Lumen Gentium Gereja juga dimaknai sebagai ‘Umat Allah’ yang sedang berziarah untuk menuju kepenuhan realisasinya dalam Kerajaan Allah. Dengan demikian, Gereja pun tetap terbuka bahwa selama peziarahannya, ia bisa salah dan terus menerus mencari kepenuhan itu, termasuk juga realitas keanekaragaman yang ada di dalamnya. Hal senada juga di ungkapkan oleh Yves Congar bahwa perkembangan pemahaman Gereja Katolik Roma tentang ekumenisme ini berdasar pada pemahaman baru tentang Gereja sebagai komunitas/persekutuan yang dihasilkan dari misteri campur tangan Allah dan merupakan benih Kerajaan Allah. Pemahaman tentang Gereja ini meninggalkan konsep Gereja pasca Konsili Trente yang menyebutkan bahwa Gereja Katolik adalah societas inaequalis, hierarchica et perfecta (masyarakat dan hirarki sempurna) dari dimensi eskatologisnya. Saat ini, dimensi eskatologis Gereja dipahami sebagai komunitas umat Allah yang tengah berziarah di tengah dunia dengan misi membagikan karya Kristus dalam mewartakan Kerajaan Allah di dalam daya Roh Kudus. Tugas mewartakan karya keselamatan Kristus ini diperluas untuk seluruh umat beriman, dalam menjelaskan katolisitas Gereja dengan merayakan keanekaragaman sebagai refleksi karya Roh Kudus bagi banyak bangsa, ras dan kebudayaan.
            Lebih lanjut, dalam  Decree on Ecumenism: Read A New after Forty Years, Kardinal Walter Kasper menjelaskan bahwa Konsili merangkul gerakan ekumenisme karena gerakan ekumenisme dipahami sebagai gereja dalam keseluruhan gerakannya, yang dipahami sebagai umat Allah yang tengah berziarah. Konsili memunculkan relevansi baru dari dimensi eskatologis Gereja  dan mendeskripsikan Gereja bukan sebagai entitas yang statis namun dinamis, sebagai umat Allah yang tengah berziarah diantara ‘sedang’ dan ‘belum’. Konsili mengintegrasikan gerakan Ekumenisme ke dalam dimensi eskatologis Gereja ini.[5] Dengan demikian, hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ut Unum Sint bahwa ekumenisme adalah jalan hidup Gereja. Konsekuensinya, Gereja pun tidak hanya terdiri dari satu warna dan institusi, namun dipahami sebagai kesatuan dalam keanekaragaman. Mengenai realitas keberanekaragaman dalam kesatuan, Kardinal Kasper menegaskan bahwa  kesatuan di dalam pemahaman komunitas/persekutuan tidak dimaknai sebagai uniformitas namun kesatuan dalam keanekaragaman dan keanekaragaman dalam kesatuan (unity in diversity dan diversity in unity). Di dalam satu Gereja terdapat berbagai macam mentalitas, tradisi, ritus, tata tertib gerejawi, teologi dan spiritualitas.[6] Esensi dari kesatuan dipahami sebagai komunio (persekutuan) dalam katolisitas, bukan dalam denominasi tertentu. Dengan demikian, munculnya Unitatis Redintegratio ini dipengaruhi oleh pandangan baru Gereja Katolik tentang Gereja. Semenjak Konsili Vatikan II, Gereja dipandang sebagai persekutuan umat Allah yang tengah berziarah menuju ke kepenuhannya yakni bersatu dengan Allah melalui Kristus dan di dalam Roh Kudus. Di dalam persekutuan inilah dipahami tentang keanekaragaman dan realitas karya Roh Kudus yang telah mempersatukan segenap umat beriman yang berbeda-beda dalam iman akan Kristus yang menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia.

Eklesiologi Komunio dan Unitatis Redintegratio
Di dalam bukunya yang berjudul Church of Churches: The Eclesiology of Communion, J.M.R. Tillard mengungkapkan bahwa Roh Kudus yang hadir dalam peristiwa Pentekosta mempersatukan kelompok orang-orang di sekitar para rasul yang percaya ke dalam satu bahasa dalam bersaksi tentang wafat dan kebangkitan Kristus, dimana Allah telah membuat Yesus yang tersalib itu menjadi Kristus dan Tuhan (Kis 2:36). Peristiwa Pentekosta ini menyatukan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya, bahasa, dan bangsa ke dalam satu iman akan misteri Paskah Kristus. Peristiwa Pentekosta dimaknai sebagai peristiwa penyelamatan Allah bagi seluruh dunia (tidak hanya kepada satu kelompok saja- bangsa Yahudi). Komunitas Pentekosta sebagai sel dasar Gereja dibangun oleh realitas ephipani Allah dengan tiga elemen: (1) Roh Kudus; (2) Kesaksian Apostolis tentang Yesus Kristus; (3) Kesatuan/ Komunio dari keanekaragaman orang-orang yang percaya kepada Kristus oleh Roh Kudus. Ketiga elemen dasar yang membangun komunitas Pentekosta ini menjadi tiga elemen dasar terbentuknya Gereja. Dengan peristiwa Pentekosta itu, seluruh bangsa dipersatukan di Yerusalem (Kis 2:5). Mereka semua dipersatukan untuk, secara simbolis, memberikan kesaksian tentang datangnya Roh Kudus dan untuk mendengar Sabda Allah. Semua orang itu setelah menerima pewartaan (kerygma) dipersatukan dalam  satu baptisan karena imannya akan Yesus Kristus (Kis 2:41). Peristiwa Pentakosta merupakan peristiwa bersatunya seluruh bangsa oleh Roh Kudus dalam bersaksi atas imannya kepada Kristus. Realitas ini merupakan keterbukaan ke arah universalitas pewartaan keselamatan Allah dalam Kristus. Pewartaan kabar keselamatan itu, sejak peristiwa Pentekosta, tidak lagi ditujukan bagi umat Yahudi namun juga ditujukan bagi seluruh umat manusia dari berbagai bangsa dan bahasa.
Roh Kudus dalam peristiwa Pentekosta mempersatukan orang-orang yang percaya dalam  iman akan Yesus Kristus yang berpuncak pada misteri paskah dan memampukan mereka untuk bersaksi tentang kabar keselamatan ini ke dalam suatu komunitas yang disebut Gereja.  Gereja diterjemahkan dari kata Yunani: ‘Ekklesia’ yang digunakan dalam Septuaginta untuk menerjemahkan kata ‘Qahal’ dalam Ulangan 4:10; 9:10; 10:4; 18:16; 23:2-9. Qahal dalam Ulangan itu menunjuk pada komunitas umat Israel yang berkumpul karena  Allah yang menampakkan diri dalam perjanjian (teophani). Dengan demikian secara khusus, Qahal berarti  sebuah ‘Komunitas Perjanjian’. Peristiwa Pentekosta dipandang memiliki kesamaan dengan peristiwa Perjanjian dalam Kitab Ulangan itu meski mendapat makna baru tentang isi perjanjiannya. Pentakosta menjadi teophani dari Perjanjian Baru (New Covenant) dan Gereja (Ekklesia) sebagai komunitas (assembly) dari orang-orang yang percaya kepada Kristus menjadi penggenapan dari Qahal yang dipersatukan oleh Perjanjian di Sinai[7].
Ekklesia terlahir dalam Pentekosta oleh dinamisme Roh Kudus yang mencipta manusia secara baru. Roh Allah memiliki kekuatan untuk membebaskan manusia dari jaringan ketidakadilan, persaingan, iri hati yang memenjarakan manusia dan kemudian menyatukan mereka satu sama lain dalam ikatan kebersamaan di dalam komunio (communion)[8]. Dengan demikian, Gereja sebagai communion of communities ini menunjuk pada realitas kemanusiaan yang telah dibebaskan dari penjara kesempitan cinta diri individualistik dan diangkat ke arah kesatuan komunitas berdasarkan kasih kebersamaan untuk saling memberikan diri bagi sesama meski berbeda-beda. Dalam Pentakosta sendiri, Gereja sebagai communion of communities ditunjukkan dengan beranekaragamnya bangsa dan bahasa orang-orang yang percaya serta mendapatkan curahan Roh Kudus. Realitas persatuan dari orang-orang yang berasal dari beranekaragam bangsa dan bahasa ini memunculkan suatu komunio dari komunitas-komunitas yang berbeda. Apa yang menyatukan mereka adalah  iman akan Yesus Kristus karena Roh Kudus. Dalam Kisah Para Rasul 2: 8-11, orang-orang yang disebutkan dari berbagai latar belakang wilayah dan bahasa ini menjadi wakil dari komunitas bangsa dan bahasa itu. Keanekaragaman bangsa dan bahasa ini menunjuk adanya komunitas-komunitas yang telah menjadi tempat tinggal dan hidup dari orang-orang itu. Oleh karena Roh Kudus, iman akan Yesus Kristus ini membentuk Gereja sebagai communion of communities, komunio dari komunitas-komunitas yang beranekaragam dan khas tersebut.
Peristiwa Pentekosta ini juga menjadi dasar dari gerakan ekumenisme sendiri yang pertama-tama digerakkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus yang dijanjikan Kristus sebagai Roh Penolong setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga adalah dasar sekaligus daya gerak iman umat Gereja akan misteri Paskah Kristus. Persatuan Gereja sebagai communion of communities  terjadi dalam peristiwa Pentekosta. Peristiwa Pentekosta inilah dasar dari lahirnya Gereja sebagai komunio (persekutuan) komunitas-komunitas yang beranekaragam di dalam satu iman akan kebangkitan Kristus. Persekutuan inilah dasar dari setiap gerakan ekumenisme demi keselamatan seluruh umat manusia dan dunia.
Peristiwa Pentekosta mempersatukan umat beriman dalam satu bahasa yang mampu dipahami juga oleh orang-orang asing. Mengenai bersatunya umat dari berbagai bahasa menjadi satu bahasa ini, oleh beberapa ekseget mendukung para Bapa Gereja abad pertama bahwa peristiwa Pentekosta memiliki hubungan dengan peristiwa Babel. Pada peristiwa Babel hanya ada satu bahasa yang merupakan simbol dari kesatuan utuh dari manusia, tanpa adanya keanekaragaman. Adanya kesatuan bahasa ini hendak dipertahankan oleh manusia dengan membangun menara yang puncaknya sampai ke langit dan mereka mulai mencari nama agar jangan sampai terserak ke seluruh bumi (Kej 11: 4). Namun karena kesombongan manusia ini pulalah mereka justru terserak ke seluruh bumi dengan  bahasa yang berbeda-beda. Hingga akhirnya, oleh karena Roh Kudus, peristiwa Pentekosta dimaknai sebagai reunifikasi  atas terseraknya manusia ke berbagai bangsa dan bahasa. Peristiwa Pentekosta menyatukan manusia-manusia yang beranekaragam bangsa dan bahasa ini ke dalam satu iman yakni iman akan misteri Paskah Kristus. Meski orang-orang itu berasal dari berbagai bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda, namun Roh Kudus menyatukan mereka sebagai komunitas-komunitas yang diutus untuk bersaksi tentang  Kristus[9].
Mengenai peran Roh Kudus dalam mempersatukan umat beriman dalam Kristus sebagai prinsip kesatuan Gereja, Unitatis Redintegratio mengungkapkan dengan tegas bahwa Roh Kudus yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan (communio) umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja.[10] Dengan demikian, jelas bahwa prinsip  kesatuan Gereja adalah iman akan Kristus yang digerakkan oleh Roh Kudus di dalam persekutuan.
Dalam pernyataan Unitatis Redintegratio, persatuan ini akan mengalami kepenuhan di dalam Kristus sendiri oleh dorongan Roh Kudus, maka gerakan ekumenis yang menjadi upaya persatuan umat Kristen itupun merupakan suatu dinamika peziarahan menuju kepenuhan persekutuan di dalam Kristus dan bukan dalam Gereja/denominasi-denominasi tertentu. Dalam hal ini Unitatis Redintegratio mendorong segenap umat beriman Katolik untuk mengenali tanda-tanda zaman dan secara aktif berperan serta dalam kegiatan ekumenis: usaha-usaha berupa doa-doa, pewartaan, dan kegiatan untuk menuju kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus.[11] Dasar dari persatuan di dalam Kristus ini mengalir dari realitas Gereja sebagai communion of communities sebagaimana dikembangkan oleh eklesiologi Konsili Vatikan II. Dalam Lumen Gentium terungkap: “Sebab Ia telah mengumpulkan saudara-saudara-Nya dari segala bangsa, dan dengan mengaruniakan Roh-Nya Ia secara gaib membentuk mereka menjadi Tubuh-Nya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa umat beriman dalam Kristus itu laksana tubuh, yang memiliki banyak anggota-anggota tubuh berbeda-beda namun membentuk satu tubuh.[12]

Eklesiologi Koinonia dalam Ekumenisme
            Perkembangan pemahaman terhadap ekumenisme ini didasari oleh pemahaman baru tentang Gereja  (eklesiologi). Baik World Council of Churches dan Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II meletakkan koinonia (persekutuan, kemuridan) sebagai fokus refleksi teologis tentang Gereja. Dalam sidang World Council of Churches  di Canberra pada tahun 1991, muncul refleksi teologis tentang Gereja sebagai koinonia:[13]
Kehendak Allah berdasarkan Kitab Suci adalah untuk mempersatukan semua ciptaan di bawah kuasa Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus dibawa pada perseketuan dengan Allah (Ef 1). Gereja adalah manifestasi persatuan dengan Allah dan umat beriman lainnya. Rahmat Tuhan Yesus Kristus, cinta kasih Allah, dan persekutuan dalam Roh Kudus memampukan satu Gereja untuk hidup sebagai tanda Kerajaan Allah dan pelayan pertobatan kepada Allah yang telah dijanjikan dan disediakan bagi semua ciptaan. Tujuan dari Gereja adalah untuk mempersatukan umat beriman dengan Kristus di dalam Roh Kudus untuk menyatakan persekutuan di dalam doa dan karya untuk menuju persekutuan yang penuh bersama Allah, manusia, dan segala ciptaan di dalam kemuliaan Kerajaan-Nya”.
            Sementara itu, Dalam Gereja Katolik, pemahaman baru tentang Gereja sebagai koinonia ini meletakkan dasar pemahaman baru terhadap komitmennya atas ekumenisme. Di dalam Directory for The Application of Principles an Norms on Ecumenism (1993) dinyatakan:
Persatuan di dalam iman, hidup sakramental dan pelayanan hirarkis bagi segenap umat beriman muncul dari tradisi iman semenjak Perjanjian Baru yang seringkali disebut sebagai koinonia (komunio/persekutuan). Hal ini adalah konsep kunci pemahaman eklesiologi dari Konsili Vatikan II dan merupakan ajaran magisterium yang amat penting. Persekutuan di antara orang Kristen dan setiap pengharapan mereka, di dalam realitas terdalamnya adalah persekutuan mereka dengan Allah melalui Kristus dan dalam Roh Kudus. Semenjak Pentekosta, mereka diberi dan menerima Gereja, komunitas para kudus. Persekutuan ini secara sempurna berada di surga, namun disadari bahwa persekutuan ini juga tengah berlangsung di dalam Gereja  yang tengah berziarah di dunia menuju kepada kepenuhannya. Barangsiapa yang hidup di dalam persatuan iman, harapan dan kasih, di dalam pelayanan satu sama lain, di dalam ajaran dan sakramen, di bawah kepemimpinan gembala-gembala mereka, adalah bagian dari komunitas/persekutuan di dalam Gereja Allah. Persekutuan ini hadir secara konkret di dalam gereja-gereja partikular yang berkumpul di sekitar uskupnya. Di dalam setiap persekutuan ini, Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik sungguh hadir dan hidup. Persekutuan ini secara natural bersifat universal”.
            Dari dua pernyataan ini setidaknya terungkap bagaimana pemahaman refleksi teologis tentang Gereja mempengaruhi pemahaman tentang ekumenisme. Masing-masing gereja memahami diri sebagai komunitas murid-murid Kristus yang dicurahi oleh Roh Kudus untuk berziarah ke dalam persekutuan  Bapa. Pemahaman tentang Gereja sebagai persekutuan ini  membuka babak baru bagi persatuan umat Kristen. Dasar refleksi teologis tentang Gereja ini pun berakar pada tradisi Gereja awal sejak zaman para rasul. Harapannya, pemahaman baru tentang Gereja ini semakin membuka jalan yang lebih lapang bagi persatuan umat Kristen di dalam satu Tubuh Kristus demi pewartaan Kerajaan Allah di tengah dunia.

Perkembangan Ekumenisme Dewasa ini
             Semenjak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mulai terlibat dalam mengembangkan gerakan ekumenisme. Secara khusus, Paus Johanes XIII mendirikan Dewan Untuk Peningkatan Persatuan Umat Kristen yang berjuang dalam mengembangkan ekumenisme demi persatuan umat Kristen. Ekumenisme menjadi bagian yang esensial dalam misi Katolik. Pada era Paus Paulus VI dan Johanes Paulus II, ekumenisme menjadi salah satu komitmen Gereja Katolik dalam mewartakan kabar keselamatan Kristus. Di banyak tempat di seluruh dunia, komunitas lokal Kristen mulai bersama-sama berdoa untuk persatuan umat Kristen ini dalam  Pekan Doa Sedunia, selama Prapaskah, Adven, dan secara khusus pada Jumat Agung.
            Selain berkembangnya doa bersama demi persatuan umat Kristen, sebagaimana diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Ut Unum Sint bahwa ekumenisme dibangun oleh pilar doa bersama, kesaksian hidup Kristen dan juga dialog teologis, perkembangan ekumenisme dewasa ini juga mulai tampak dalam kebersamaan menjadi saksi Kristus dan adanya dialog teologis antar Gereja-gereja. Hingga kini mulai tumbuh komunitas-komunitas ekumenis yang berjuang bersama demi mewartakan kabar sukacita Kristus seperti: Komunitas Taize, Komunitas San Egidio, Komunitas Focolare, dan komunitas-komunitas lokal yang mulai terbentuk sebagai sesama umat Kristen yang bersaksi tentang Kristus. Selain itu, dialog-dialog teologis juga mulai terbuka dan terjalin. Selama hampir 40 tahun setelah Dekrit Unitatis Redintegratio dipromulgasikan, telah terjalin dialog teologis antara Gereja Katolik dan gereja-gereja lainnya seperti: Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks, Gereja Anglikan, Federasi Lutheran Sedunia, Persatuan Gereja Methodist Sedunia, Aliansi Gereja Reformed Sedunia, dan beberapa gereja lainnya. Dokumen-dokumen penting tentang ekumenisme pun terlahir dalam rangka persatuan umat Kristen yang semakin dekat ini. Dokumen-dokumen tersebut adalah: Baptist, Eucharist and Ministry, Joint Declaration, dan juga  ensiklik Paus tentang ekumenisme seperti Ut Unum Sint dari Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1995. Perkembangan ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya perubahan paradigma umat beriman dalam memandang visi tentang Gereja sebagai komunio (persekutuan umat Allah).

Penutup
            Kiranya eklesiologi komunio yang mulai direnungkan dalam memahami Gereja secara lebih dalam telah menjadi salah satu dasar bagi gerakan ekumenisme antar gereja-gereja sebagai sesama murid Kristus. Kesadaran teologis ini membuka babak baru bagi pencapaian persatuan umat Kristen secara lebih nyata. Gerakan ini semata-mata demi semakin memuliakan Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus yang membawa keselamatan bagi semua ciptaan. Menjadi tugas segenap umat beriman Kristen untuk memelihara dan mengembangkan persatuan ini dalam satu iman akan Kristus, Sang Gembala Agung, Pemersatu Abadi.

Kentungan, Sehari menjelang Hari Raya Pentekosta, 2010
Daftar Pustaka
1.      Dokumen Konsili Vatikan II
2.      Ensiklik Ut Unum Sint
3.      http://www.ewtn.com/library/CURIA/PCCUR40Y.HTM, diunduh tanggal 20 Mei 2010
4.      http://www.mirifica.net,  diunduh tanggal 26 Juli 2006
5.      Jeffrey Gross, dkk, Introduction to Ecumenism, New York: Paulist Press, 1998
6.      Jurnal Gregorianum, Vol.88, Tahun 2007
7.      Tillard, J.M.R, Church of Churches. The Ecclesiology of Communion, translated  by R.C. De Peauc, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1992


[1] http://www.mirifica.net,  diunduh tanggal 26 Juli 2006
[2] Edward Cassidy, “ Unitatis Redintegratio: Forty Years after The Council” dalam Gregorianum 88, 2  (2007), hal. 312
[3] William Henn, “At The Heart of Unitatis Redintegratio” dalam Gregorianum 88, 2  (2007), hal. 329
[4] William Henn, “At The Heart of Unitatis Redintegratio” dalam Gregorianum 88, 2  (2007), hal. 333
[6] ....Semoga dengan memelihara kesatuan dalam apa yang sungguh perlu semua anggota Gereja, sesuai dengan tugas kewajiban masing-masing, dalam aneka bentuk hidup rohani dan tata tertib gerejawi, maupun dalam kemacamragaman tata upacara liturgi, bahkan juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang diwahyukan, tetap memupuk  kebebasan yang sewajarnya.... (Unitatis Redintegratio, art. 4)
[7]Tillard, J.M.R, Church of Churches. The Ecclesiology of Communion, translated  by R.C. De Peauc, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1992, hal.10
[8]Tillard, J.M.R, Church of Churches. The Ecclesiology of Communion, translated  by R.C. De Peauc, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1992, hal.12
[9]Tillard, J.M.R, Church of Churches. The Ecclesiology of Communion, translated  by R.C. De Peauc, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1992, hal.8
[10] Unitatis Redintegratio, art. 2
[11] Unitatis Redintegratio, art. 3
[12] Lumen Gentium, art. 7
[13] Jeffrey Gross, dkk, Introduction to Ecumenism, New York: Paulist Press, 1998, hal. 58-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar