Jumat, 23 September 2011

Keluarga sebagai Basis Hidup Beriman

Latar Belakang: Beriman di tengah tantangan dunia masa kini

       Dalam hidup harian kita saat ini, kita seringkali berjumpa dengan kenyataan yang membuat hati terasa getir.  Dalam berita-berita yang ada di media cetak maupun elektronik  seringkali kita menjumpai berita-berita yang  mengungkap tentang penderitaan dalam hidup saat ini. Mulai dari permasalahan seputar kemiskinan, gizi buruk, korupsi, skandal  para pejabat pemerintah, kekerasan dan kriminalitas,  krisis lingkungan hidup, hingga naiknya bahan bakar minyak yang menyebabkan semakin mahalnya harga bahan-bahan pokok lainnya. Berita-berita itu sungguh menampakkan kecemasan yang mengancam segenap warganegara kita saat ini. Masih ditambah lagi dengan kemelut keluarga dari para artis yang memilih untuk bercerai dengan pasangannya karena kedapatan berselingkuh. Setiap hari, kita berhadapan dengan dunia yang tidak sempurna. Ada begitu banyak penderitaan di sana. Itu juga diakibatkan oleh karena manusia sendiri yang tidak mampu bertanggungjawab terhadap hidupnya.


            Meski demikian, tetap ada pula kabar baik yang dapat kita jumpai di sela-sela begitu banyaknya penderitaan yang ada dalam masyarakat kita. Beberapa kemajuan dalam memperjuangkan nilai-nilai hidup pun mulai tampak dari kegigihan beberapa orang dan kelompok yang dengan setia berjuang demi keadilan, seperti yang dilakukan oleh para mahasiswa yang memprotes kenaikan harga BBM, hingga para pejuang kemanusiaan yang dengan  gigih memperjuangan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Ternyata, dalam dunia ini masih tersimpan secercah harapan untuk selalu terarah kepada hal yang lebih baik.
            Dalam situasi dunia yang demikianlah kita hidup, bekerja dan bercita-cita. Sebagai umat yang beriman pada Kristus dan hidup di tengah dunia saat ini dengan berbagai macam peristiwa yang  ada di dalamnya, kita semua dipanggil untuk mewartakan Kristus bagi masyarakat kita. Dengan demikian, iman kita bukanlah iman yang mati, tetapi iman kita sungguh merupakan wujud jawaban atas panggilan untuk mewartakan Kristus di  masyarakat kita zaman ini. Dengan demikian, beriman merupakan suatu tindakan aktif untuk mau terlibat dalam karya Kristus sendiri berdasarkan cinta kasih dan penuh harapan demi semakin indahnya dunia. Beriman berarti berani untuk menjadi garam dan terang bagi masyarakat kita.

Mengapa Keluarga sebagai Basis Hidup Beriman?
           
            Hidup beriman selalu melibatkan kerjasama dengan yang lainnya. Beriman selalu mensyaratkan adanya pertobatan batin demi perubahan sosial yang lebih baik. Dengan demikian, hidup beriman selalu berawal dari diri pribadi yang mau memberikan diri bagi kebaikan sesamanya dan lingkungannya. Hal ini dapat dimulai dalam ruang lingkup terdekat kita yakni dalam keluarga. Keluarga merupakan basis dasar dalam hidup  beriman. Kita dapat belajar dari Kitab Suci mengenai hal ini. Mulai dari Abraham hingga keluarga kudus Nazareth, kita menjumpai contoh-contoh hidup beriman yang dikembangkan mulai dari keluarga. Dalam cerita Abraham, Allah memberikan janji kepada Abraham beserta keturunannya. Bermula dari janji Allah tentang keturunan Abraham yang akan lestari sebanyak pasir di lautan yang dimulai dengan lahirnya Iskak. Hal yang sama juga dialami oleh keluarga Hana dengan kelahiran Samuel. Oleh karena ketaatannya kepada Tuhan, keluarga-keluarga dalam Kitab Suci ini mampu menjadi garam dan terang bagi masyarakat dan kehidupan dunia. Contoh yang paling pokok dalam hidup beriman melalui keluarga tampak dalam keluarga kudus Nazareth. Kita semua dipanggil untuk  beriman seperti keluarga-keluarga dalam Kitab Suci, secara khusus seperti keluarga kudus Nazareth yang menjadi keluarga dari Tuhan kita Yesus Kristus, Sang Juru Selamat dan Terang Dunia.
            Keluarga sebagai basis hidup beriman ini mendapat perhatian khusus dari para pemimpin Gereja dalam melanjutkan pewartaannya akan kasih Allah dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus. Panggilan hidup berkeluarga menjadi sebuah panggilan yang istimewa, sebab dari keluarga juga panggilan untuk hidup sebagai pelayan Gereja sebagai kaum religius yakni imam, biarawan dan biarawati  hidup dan tumbuh. Keluarga menjadi seminari dasar dan seminari kecil bagi hidup dan tumbuhnya benih panggilan, sebagaimana terjadi dalam keluarga Hana dan keluarga kudus Nazareth.
            Untuk itulah, Gereja memiliki perhatian khusus bagi pembangunan iman dalam keluarga. Bermula dari Gereja sejak para rasul hingga saat ini, para Bapa Gereja memiliki perhatian khusus dalam pembangunan iman keluarga. Perkawinan yang merupakan cikal bakal lahirnya sebuah keluarga dikuduskan sedemikian rupa karena menggambarkan cinta kasih Allah kepada manusia. Dengan demikian, cinta kasih dalam keluarga pun merupakan perwujudan cinta kasih Allah kepada manusia. Hal ini ditegaskan dalam Konsili Vatikan II khususnya dalam Gaudium et Spes artikel 47 dan 48. Dalam kedua artikel ini, Gereja menekankan tentang Martabat dan Kesucian Perkawinan serta keluarga. Dikatakan bahwa Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan. Ini semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Keluarga merupakan sel Gereja dan masyarakat.

Apa yang bisa kita lakukan?

            Sebagai seorang kristiani, hidup kita berpusat pada diri Kristus Sang Kebenaran sejati yang telah menganugerahkan keselamatan melalui hidup, sabda, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Kita semua dipanggil untuk menyerupai Dia sesuai dengan jalan hidup dan panggilan kita. Secara khusus, keluarga kita pun dipanggil untuk ikut serta dalam kasih dan keselamatan-Nya. Untuk memahami lebih dalam mengenai tugas dan panggilan hidup kita sebagai umat beriman, terlebih dalam lingkup keluarga, marilah kita mendalami teks-teks Kitab Suci berikut ini: Yak 2: 14-22 dan Mat 5: 13-16. Teks KS dari Santo Yakobus menekankan tentang iman tanpa perbuatan hakikatnya mati, sedangkan teks Matius menulis tentang panggilan umat beriman sebagai garam dan terang dunia. Kedua teks ini berkaitan dalam hal mewujudkan iman yang sungguh berdaya bagi kehidupan sehari-hari.
            Dalam konteks keluarga, Paus Yohanes Paulus mengungkapkan dalam Familiaris Consortio 1981 tentang tugas keluarga untuk ikut dalam hidup dan misi Gereja serta ikut ambil bagian dalam tugas membangun masyarakat. Keterlibatan keluarga Katolik dalam pembangunan masyarakat merupakan aktualisasi iman (Yak 2: 17). Sebenarnya tugas ini adalah tugas seluruh umat yang telah dibaptis. Karena dengan baptisan orang bertugas mewartakan Injil dan ikut dalam tugas Kristus sebagai nabi, iman dan raja.
            Sebagai nabi, keluarga juga wajib menyuarakan kebenaran. Maksudnya, keluarga bertugas menjadi keluarga yang misioner yang membantu keluarga-keluarga yang belum beriman untuk menemukan warta gembira yang dibawa Yesus. Disinilah keluarga Katolik menunjukkan fungsi sebagai garam dunia (Mat 5: 13). Selain itu, juga dengan menjadi saksi keselamatan Allah ke seluruh dunia, baik secara implisit maupun eksplisit melalui tingkah laku dan teladan hidup keluarga yang baik (mis: kesetiaan perkawinan, pendidikan anak secara kristiani,  aktif terlibat dalam hidup bermasyarakat, dsb).
            Keluarga Katolik bersatu dengan Allah dalam dan lewat doa, ibadat, dan juga sakramen-sakramen. Keluarga dipanggil kepada kesucian dan ikut menyucikan Gereja dan dunia seluruhnya. Sakramen perkawinan yang dianugerahkan Allah kepada keluarga adalah tindakan liturgis yang memuliakan Allah dalam Yesus Kristus dan dalam Gereja. Suami Istri dalam sakramen itu memenuhi tanggung jawab menerjemahkan misteri cinta kasih Kristus kepada umatnya lewat hidup saling mencintai setiap hari. Dengan cara inilah hidup keluarga menjadi ibadah, sukacita dan saksi kebaikan Allah.
            Tugas imamat dalam keluarga ini dilaksanakan juga dengan sakramen Tobat, dan juga dengan doa keluarga yang bercirikan kebersamaan. Ungkapkanlah suka duka hidup berkeluarga sehingga akan menjadi sebuah sharing dari hati ke hati. Ingatlah bahwa doa keluarga menjadi persiapan bagi anggotanya untuk ibadat Gerejanya.Usahakanlah pergi ke Gereja bersama di hari minggu. Tugas rajawi keluarga adalah pada pokoknya melayani sesama seperti Kristus Raja (Roma 6:12). Keluarga harus melihat orang lain sebagai pribadi yang harus dikasihi dan diperhatikan. Keluarga melihat Kristus dalam diri sesama yang menderita.
            Tugas utama yang  khas dalam keluarga adalah urusan duniawi. Keluarga Katolik bukanlah keluarga yang ekslusif terpisah dari masyarakat. Keluarga Katolik adalah keluarga yang bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Caranya? Dengan mengamati kemudian terlibat dalam masyarakat setempat dan kalau mungkin partisipasi bagi daerah atau malah bangsa. Keluarga Katolik mempunyai tanggungjawab mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera, demokratis, merdeka, dan manusiawi. Nampak makin jelas bahwa fungsi keluarga Katolik sebagai terang dunia. Ia cahaya terang yang menghalau kegelapan (Mat 5:14; Luk 8: 16-18). Inilah perwujudan iman yang disebut oleh santo Yakobus dalam bacaan tadi.
            Jadi perutusan pasangan suami istri dan anak-anaknya adalah terutama membela kaum miskin, mewartakan kegembiraan, pengharapan, terutama bagi mereka yang miskin dan terlantar. Kegembiraan dan pengharapan, kesedihan dan kecemasan mereka adalah juga kegembiraan, kecemasan dan pengharapan Kristus. Tunjukkanlah sikap ramah tamah sebagai sikap dasar keluarga yang merasul. Kita bisa membuka diri pada dunia luar keluarga kita dengan sikap itu. Kita juga menunjukkan sikap adil dan penuh kasih pada semua orang. Inilah keluarga yang merasul yang sungguh menjadi berkat bagi lingkungan sekitarnya. Dasarnya adalah menjadikan Allah sebagai sumber kehidupan dan sumber pewartaan keselamatan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar